TATAGUNA BIOLOGI
“Role Of
Bioindicator in Development”
Makrobentos
sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Sungai Citarum
Disusun
Oleh :
Pinandita
Mufqi 140410100022
Tiara
Agustine 140410100024
Maulidiyah
Utami 140410100041
Fuji
Aprianti 140410100057
Karlina
Sulistiyani 140410100088
Jurusan
Biologi
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas
Padjadjaran
2013
ABSTRAK
Sungai
Citarum merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Beban pencemaran terhadap
Sungai Citarum melebihi daya dukungnya. Pencemaran tersebut disumbang dari
sektor pertanian, pemukiman, industri dan perikanan di DAS Citarum.
Bioindikator berperan penting dalam penentuan kualitas perairan Sungai Citarum.
Penggunaan Makrobentos sebagai bioindikator pencemaran menunjukkan tingkat
pencemaran Sungai Citarum pada musim kemarau didaerah hulu sungai mengalami
pencemaran sedang menuju rendah, dibagian tengah daerah sungai mengalami
pencemaran sedang menuju tinggi dan pada akhir sungai di Waduk Sagulig
mengalami pencemaran sedang. Pada musim
hujan didaerah hulu sungai mengalami pencemaran rendah, dibagian tengah daerah
sungai mengalami pencemaran sedang dan pada akhir sungai di Waduk Saguling
mengalami pencemaran rendah menuju sedang. Makrobentos yang mendominasi Sungai
Citarum adalah Oligochaeta dan Molusca. Pada umumnya daerah tengah Sungai
Citarum mengalami pencemaran paling buruk dibandingkan daerah hulu dan akhir di
Waduk Saguling. Hal ini disebabkan tingkat pembangunan dan industri yang tinggi
di sepanjang DAS Citarum bagian tengah.
Kata
Kunci : DAS, Sungai Citarum , makrobentos, bioindicator
DAFTAR ISI
ABSTRAK
..............................................................................................................
i
|
DAFTAR
ISI ..........................................................................................................
ii
|
BAB
I.
PENDAHULUAN...................................................................................... 1
|
1.1 Latar Belakang ............................................................................................
1
|
1.2 Maksud dan Tujuan
.....................................................................................
1
|
1.3 Identifikasi Masalah
....................................................................................
2
|
BAB
II. TINJAUAN PUSTAKA
........................................................................... 3
|
2.1 Bentos
..........................................................................................................
3
|
2.2 Bioindikator
.................................................................................................
4
|
2.3 Ekosistem Akuatik (Perairan)
..................................................................... 6
|
2.4 Pencemaran Perairan
...................................................................................
7
|
BAB
III. PEMBAHASAN
...................................................................................
14
|
3.1 Makrobentos sebagai Bioindikator
Pencemaran Air ................................. 14
|
3.2 Kelebihan dan Kekurangan Makrobentos
sebagai Bioindikator ............... 15
|
3.3 Makrobentos sebagai Bioindikator
Kualitas Perairan Sungai Citarum ..... 15
|
BAB
IV. KESIMPULAN
.....................................................................................
19
|
DAFTAR
PUSTAKA
..........................................................................................
20
|
LAMPIRAN
..........................................................................................................
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sungai merupakan salah satu
ekosistem perairan yang berperan penting dalam menunjang kehidupan
disekitarnya. Sungai tak hanya memiliki fungsi dari segi ekologis dan ekonomis
tetapi juga dari segi pembangunan. Namun, belakangan ini pencemaran sungai
terutama dikota-kota besar meningkat drastis. Salah satu sungai yang mengalami
pencemaran dengan tingkat sedang sampai parah tersebut adalah sungai Citarum
yang merupakan sungai terluas di Jawa Barat.
Sungai Citarum sangat berperan dalam
pembangunan terutama di Jawa Barat. Sungai ini merupakan sumber air minum,
pemanfaatan listrik, perikanan, hingga irigasi. Mengingat statusnya yang
tercemar, diperlukan perhatian khusus untuk mengatasi masalah tersebut yang
salah satunya adalah dengan menguji kualitas air di sungai Citarum menggunakan indikator biologi yaitu
makrobenthos. Makrobenthos merupakan hewan invertebrata yang biasa terdapat
didasar perairan atau hidup menempel pada bebatuan. Makrobenthos memiliki peran
penting dalam penentuan kualitas air atau tingkat pencemaran yang terjadi di
ekosistem perairan. Untuk mengetahui kualitas perairan di sungai Citarum
dilakukan uji kualitas air dengan menggunakan indikator biologi, terutama
dengan makrobenthos yang terdapat di sungai Citarum tersebut. Dengan mengetahui
kelebihan dan kekurangan dari makrobenthos yang terdapat di sungai Citarum,
dapat diketahui peran dari makrobenthos tersebut dalam pembangunan sungai atau
mengurangi dampak pencemaran di sungai Citarum.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan makalah ini
adalah agar dapat lebih memahami tentang penggunaan indikator biologi dalam
pembangunan terutama makrobenthos serta kelebihan dan kekurangan makrobenthos
tersebut dan perannya dalam penentuan kualitas perairan melalui studi literatur
yang ada. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana kualitas
perairan Sungai Citarum berdasarkan bioindikator Makrobentos.
1.3 Identifikasi
Masalah
1.
Bagaimana peran makrobenthos sebagai bioindikator kualitas perairan di sungai
Citarum
2.
Apa kelebihan dan kekurangan penggunaan makrobenthos dalam penentuan kualitas
perairan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan dengan Menggunakan Sumber Daya Air
Air merupakan salah
satu sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup. Seorang
ahli kualitas air dari Universitas Birmingham berpendapat bahwa air adalah sumber
daya alam yang sangat penting di dunia karena tanpa air kehidupan tidak akan
pernah ada dan kebanyakan industri tidak akan berjalan. Air merupakan faktor
pembatas dalam kehidupan dan menentukan kualitas hidup manusia dan mahluk hidup
lainnya.
Sumber
daya air digolongkan sebagai sumber daya alam yang sifatnya dapat mengisi lagi
(replenishable), tetapi sumber daya
ini juga digolongkan sebagai sumber daya yang dapat habis (depleteable) apabila dikelola secara tidak benar dan tidak
bijaksana. Oleh karena itu, sumber daya air dapat digolongkan kedalam sumber
daya alam yang mempunyai potensi untuk dapat diperbaharui (potentially
renewable). Jadi sesungguhnya sumber daya air dapat habis dalam jangka
waktu pendek apabila dalam penggunaannya dilakukan pengelolaan yang tidak
bertanggung jawab dan tidak terencana. Mahluk hidup mempunyai peranan yang
penting dalam banyak aspek pengendalian kualitas air. Ketersediaan air dan
kualitas air yang baik dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat
(Tjokrokusumo, 2006).
Air
merupakan salah satu sumber daya yang penting digunakan untuk menunjang
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan sangat
memperhatikan optimalisasi manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia
dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam
untuk menopangnya.
Tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermutu adalah
tercapainya standar kesejahteraan hidup manusia yang layak, sehngga tercapai
taraf kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga
kelestarian lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang
diperlukan. Air memiliki peranan yang penting untuk menunjang kehidupan
beberapa diantaranya dapat digunakan sebagai sumber pembangkit listrik, saluran
irigrasi untuk mendukung ketersediaan air bagi masyarakat, dapat digunakan
sebagai jalur transportasi, dan sebagai habitat berbagai biota perairan yang
dapat digunakan sebagai sumber makanan protein hewaani dan memiliki nilai
ekonomis bagi masyarakat (Rullihandia, 2010).
Pengelolaan
sumber daya air menurut undang-undang No.7 tahun 2004 dilakukan dengan cara
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya
rusak air, pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat, dunia usaha, dan
pemerintah, serta perbaikan data dan informasi yang ketersediaan dan
transparansi secara menyeluruh, terpadu, dan
berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya
air yang berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat (Rullihandia, 2010).
2.2 Bentos
Bentos adalah organisme yang
hidupnya di dasar perairan (Hutabarat dan Evans, 1985) yang dapat dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu:
1.
Fitobentos : bentos yang bersifat
tumbuhan, meliputi makrifita akuatik dan alga penghuni dasar perairan
2.
Zoobentos : bentos yang bersifat hewan ,
meliputi protozoa, coloenterata, Rotifera, nematoda, Gastropoda, dan
sebagainya.
Bentos merupakan hewan yang sebagian
atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap
maupun menggali lubang. Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam
perairan seperti :
1.
Melakukan proses mineralisasi dan daur ulang bahan organik (Lind, 1979).
2.
Sebagai bagian dalam rantai makanan detritus dalam sumber daya perikanan (Odum,
1971).
3.
Sebagai bioindikator perubahan lingkungan (Hawkes, 1976).
Hewan bentos, terutama yang bersifat
herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun
yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan
yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi
nutrien bagi produsen perairan. Berbagai jenis bentos berperan sebagai konsumen
primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang
menempati tempat yang lebih tinggi.
Berdasarkan ukuran hewan Bentos
dibagi menjadi 4 jenis, yaitu (Mulyanto, 1992):
1.
Megalobentos, merupakan bentos yang memiliki ukuran > 4,7 mm
2.
Makrobentos, merupakan bentos yang memiliki ukuran 1,4 – 4,7 mm
3.
Meiobentos, merupakan bentos yang memiliki ukuran 0,5 – 1,3 mm
4.
Mikrobentos, merupakan bentos yang memiliki ukuran 0,15 – 0,5 mm
Sedangkan berdasarkan tempat
hidupnya hewan makrobenthos dibedakan dua kelompok, yaitu (Mulyanto, 1992) :
1.
Epifauna, merupakan makrobentos yang hidupnya di permukaan dasar perairan dan
bergerak dengan lambat di atas permukaan substrat yang lunak atau menempel pada
substrat yang keras dan melimpah di daerah intertidal. Contoh: bintang laut,
bulu babi, siput laut.
2.
Infauna, merupakan makrobentos yang hidupnya terpendam di dalam substrat
perairan dengan cara menggali lubang, sebagian hewan tersebut hidup secara
sesil dan tinggal di suatu tempat. kelompok ini sering mendominasi pada
substrat lunak dan melimpah pada daerah subtidal. Contoh : tiram, kerang,
cacing, remis.
Berdasarkan cara makannya
makrobentos dapat dibedakan menjadi :
a.
Filter Feeder : bentos yang
mengambil makanannya dengan cara menyaring air banyak terdapat pada substrat
berpasir
b.
Deposit Feeder : bentos yang
mengambil makanannya dari dalam substrat dasar banyak terdapat pada substrat
berlumpur
Berdasarkan daya toleransi benthos
terhadap pencemaran bahan organik dapat dibedakan menjadi (Wilhm, 1975) :
a.
Jenis Intoleran : memiliki kisaran
toleransi yang sempit terhadap pencemaran dan tidak tahan terhadap tekanan
lingkungan, sehingga hanya hidup dan berkembang pada perairan yang belum atau
sedikit tercemar.
b.
Jenis Toleran : mempunyai daya
toleran yang lebar sehingga dapat berkembang mencapai kepadatan yang tinggi
dalam perairan yang tercemar berat.
c.
Jenis Fakultatif : dapat bertahan
hidup pada lingkungan dengan toleransi yang agak lebar, antara perairan yang
belum tercemar sampai dengan tercemar sedang dan masih dapat hidup pada
perairan yang tercemar.
2.3 Bioindikator
Pencemaran yang terjadi pada suatu badan
air terjadi akibat dari adanya pemasukan bahan organik maupun anorganik, dari
substansi lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai macam dampak.
Sumber pencemaran dapat berupa logam berat, bahan beracun, pestisida, tumpahan
minyak, sampah, dan lain-lain. Demikian pula halnya dengan organisme perairan
yang ada akan mengalami perubahan jumlah.
Apabila lingkungan berada di bawah
suatu tekanan maka keanekaan jenis akan menurun pada suatu komunitas.
Pencemaran kualitas air dapat diketahui dari kondisi komunitas biota akuatik di
dalam badan perairan tersebut. Hal ini berarti biota akuatik dapat dijadikan
sebagai indikator biologi, karena memiliki sifat sensitif terhadap keadaan
pencemaran tertentu sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis
pencemaran air. Keuntungan yang didapat dari indikator biologi adalah dapat
merefleksikan keseluruhan kualitas ekologi dan mengintegrasikan berbagai akibat
yang berbeda, memberikan pengukuran yang akurat mengenai pengaruh komunitas
biologi dan pengukuran fluktuasi lingkungan.
Biota yang dapat dijadikan sebagai
petunjuk keadaan lingkugan umum kita sebut sebagai bioindikator atau indikator
biologis. Bioindikator dibedakan dalam tiga organisme, yaitu :
1.
Organisme indikator, dengan melihat keberadaan spesies tertentu pada
lingkungan, misalnya dengan indeks diversitas sebagai organisme penentu
kualitas lingkungan.
2.
Organisme pemantau, baik secara aktif maupun pasif, dengan menempatkan atau
mengukur tingkat kerusakan yang dialami oleh suatau organisme
3.
Organisme uji, yaitu organisme yang digunakan untuk menguji akumulasi dan
reaksi suatu substansi kimia baik dalam laboratorium maupun di lapangan.
Syarat-syarat suatu organisme
sebagai indikator ekologis diantaranya adalah (Munif, 2012) :
1.
Harus mudah diidentifikasi
2.
Mudah dijadikan sampel
3.
Mempunyai distribusi yang kosmopolit
4.
Mempunyai nilai ekonomis
5.
Mudah menghimpun bahan pencemar
6.
Mudah dibudidayakan di laboratorium
7.
Mempunyai keberagaman jenis yang sedikit
8.
Mempunyai respon terhadap pencemaran yang spesifik
Hewan
makrobenthos menurut Hellawel (1977) dan Odum (1998) dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran, karena hidupnya relatif menetap di dasar perairan
dengan siklus hidup yang cukup panjang. Perubahan- perubahan yang terjadi atas
lingkungannya sangat memengaruhi kehidupannya, apabila terjadi pencemaran air
atau perubahan kualitas air maka hewan makrobenthos akan sulit untuk
menghindarkan diri. Hal tersebut berpengaruh terhadap komposisi, kelimpahan,
dan keanekaragaman jenisnya.
Lebih
lanjut Hellawel (1977) mengungkapkan bahwa apabila ada tekanan dari lingkungan,
misalnya terjadi peningkatan bahan organik di perairan, maka akan cepat
terlihat adanya dua hal yang saling berhubungan pada hewan makrobenthos, yaitu
:
1. Berkurangnya
keragaman komunitas makrobenthos yang menyukai air bersih, yang pada awalnya
terdapat banyak species dengan jumlah individu relatif sedikit. Adanya polusi
tersebut, maka hewan makrobenthos menjadi stress atau tertekan, sehingga
species tertentu menjadi sedikit tetapi jumlah individu masing-masing species
melimpah.
2. Semakin
berkurangnya species tertentu sebagai indikator sehingga hanya tinggal sedikit
species yang tersisa dan tempat mereka digantikan oleh species yang sebelumnya
tidak ada atau sedikit jumlahnya atau keberadaanyatidak melimpah (species
oportunitik).
Mudah
diterapkan karena analisa identifikasinya jauh lebih mudah dibandingkan
oragnisme mikroskopis (Wilhm, 1975).
2.4 Ekosistem Akuatik
(Perairan)
Ekosistem
atau sistem ekologi adalah satu kesatuan yang terbentuk oleh interaksi antara
unsur-unsur hayati dan nonhayati dalam suatu wilayah. Suatu ekosistem terdiri
dari unsur-unsur hayati (tumbuhan, hewan, mikroorganisme dan manusia) serta
nonhayati (unsur fisik dan kimia), seperti tanah, batuan, air, udara, sinar
matahari, curah hujan, suhu atau temperatur. Interaksi yang terjadi antara
unsur-unsur tersebut bersifat dinamis dan seimbang sehingga tercipta keadaan
lingkungan yang mendukung kehidupan makhluk hidup di wilayah tersebut (Manik,
2007).
Perairan adalah suatu kumpulan massa
air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau
mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang) seperti danau.
Perairan ini dapat merupakan perairan tawar, payau maupun asin (laut). Dari
ketiga ekosistem perairan tersebut, air laut dan air payau merupakan bagian
yang terbesar, yaitu lebih dari 97%. Sisanya adalah air tawar dengan jumlah
terbatas yang justru dibutuhkan oleh manusia dan banyak jasad hidup lainnya
untuk keperluan hidupnya
(Hendri,
2010).
Suatu perairan merupakan suatu
ekosistem yang kompleks dan merupakan habitat dari berbagai jenis makhluk
hidup, baik yang berukuran besar seperti ikan dan berbagai jenis makluk hidup
yang berukuran kecil. Ekosistem air terdiri dari perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan,
perairan lepas pantai (off-shore water)
dan perairan laut (sea water)
(Nugroho, 2006).
Inland
water secara umum dibagi menjadi dua yaitu
perairan lentik (letik water) yang berarti perairan tenang contohnya danau,
rawa, waduk, telaga dan sebagainya dan perairan lotik (lotik water) yang
berarti perairan yang berarus deras misalnya, kali, kanal, parit dan
sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lotik (lotic) dan lentik (lentic)
adalah dalam kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang
lambat serta terjadi akumulasi massa air yang berlangsung dengan cepat. Danau
Siais termasuk perairan lentik (Lentic
Water) atau disebut juga perairan tenang (Barus, 2004).
2.5 Pencemaran Perairan
Pencemaran
air adalah masuknya bahan yang tidak diinginkan ke dalam air, dapat berasal
dari kegiatan manusia dan atau secara alami yang mengakibatkan turunnya
kualitas air tersebut sehingga tidak dapat digunakan sesuai dengan
peruntukannya. Ditinjau dari segi ketahanannya di suatu lingkungan, pencemaran
dibagi menjadi (Manik, 2007) :
a.
pencemar yang tidak permanen, stabil selama kurang dari satu bulan
b.
pencemar sedang, stabil selama 1-24 bulan
c.
pencemar cukup permanen, stabil selama 2-5 tahun
d.
pencemar permanen, stabil selama lebih dari 5 tahun.
Indikator
bahwa air telah tercemar adalah adanya perubahan yang dapat diamati yang
digolongkan menjadi (Warlina, 2004) :
-
Pengamatan
secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan
air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan
rasa.
-
Pengamatan
secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang
terlarut, perubahan pH.
-
Pengamatan
secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme
yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri patogen.
Indikator
yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau konsentrasi
ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemical
Oxygen Demand) serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand).
1. pH
pH
adalah cerminan dari derajat keasaman yang diukur dari jumlah ion hydrogen
menggunakan rumus umum pH=-log(H+). Air murni terdiri dari ion H+dan
OH- dalam jumlah berimbang hingga pH air murni biasanya 7. Air limbah dan bahan buangan industri akan mengubah
pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik. Pengaruh pH pada
komunitas biologi perairan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Nilai pH
|
Pengaruh Umum
|
6,0 – 6,5
|
Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun,
kelimpahan total, biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan
|
5,5 – 6,0
|
Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos
semakin tampak, kelimpahan total, biomassa dan produktivitas masih belum
mengalami perubahan yang berarti, algae hijau berfilamen mulai tampak pada
zona litoral
|
5,0 – 5,5
|
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis
plankton, perifiton dan bentos semakin besar, terjadi penurunan kelimpahan
total dan biomassa zooplankton serta bentos, algae hijau berfilamen semakin
banyak, proses nitrifikasi terhambat
|
4,5 – 5,0
|
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis
plankton, perifiton dan bentos semakin besar, penurunan kelimpahan total dan
biomassa plakton dan bentos, algae hijau berfilamen semakin, proses
nitrifikasi semakin terhambat
|
Sumber : Modifikasi Baker et al., dalam Effendi, 2003
2. DO
Air
yang sangat dingin mengandung kurang dari 5% O2 dan akan menurun
jika suhu air bertambah. Berkurangnya O2 karena respirasi dan
dekomposisi. Perairan dengan O2 tinggi, keragaman organisme
biasanya tinggi. Jika O2 menurun,hanya organism yang toleran
saja yang dapat hidup di tempat tersebut. Variasi O2 danau
oligotroph biasanya rendah, sebaliknya danau eutroph tinggi. Sumber-sumber O2:
Atmosfer : difusi, angin dan Fotosintesis (Arfiati, 1989).
Menurut
Sudaryati (1991)
di perairan alam konsentrasi oksigen terlarut dalam fungsi dari proses biologi
seperti proses fotosintesa dan respirasi dan proses fisika seperti pergerakan
air dan suhu. Di permukaan air konsentrasi oksigen rendah, dikedalaman tertentu
di daerah fotik mencapai maksimum, dan di dasar perairan konsentrasinya menurun
lagi, selama stratifikasi panas, konsentrasi oksigen terlarut di dasar perairan
rendah karena pengambilan oleh mikroba untuk respirasi.
3. Kebutuhan Oksigen
Biokimia (BOD)
BOD
adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan
air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada dalam air
menjadi karbondioksida dan air. Pada dasarnya, proses oksidasi bahan organik
berlangsung cukup lama. Menurut Sawyer dan McCarty, 1978 (Effendi, 2003) proses
penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme
atau oleh bakteri aerobik adalah :
CnHaObNc
+ (n + a/4 – b/2 – 3c/4) O2 → n CO2
+ (a/2 – 3c/2) H2O + cNH3
Bahan
organik
oksigen
bakteri aerob
Untuk kepentingan praktis, proses
oksidasi dianggap lengkap selama 20 hari, tetapi penentuan BOD selama 20 hari
dianggap masih cukup lama. Penentuan BOD ditetapkan selam 5 hari
inkubasi, maka biasa disebut BOD5. Selain memperpendek waktu
yang diperlukan, hal ini juga dimaksudkan untuk meminimumkan pengaruh oksidasi
ammonia yang menggunakan oksigen juga. Selama 5 hari masa inkubasi,
diperkirakan 70% - 80% bahan organik telah mengalami oksidasi. (Effendi,
2003).
4. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air
dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara
biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tersebut akan
dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing
agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumLah ion
chrom. Reaksinya sebagai berikut (Nybakken, 1988) :
HaHbOc
+ Cr2O7 2- + H + →
CO2 + H2O + Cr 3+
Jika pada perairan terdapat bahan
organik yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya tannin, fenol,
polisakarida dan sebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD daripada
BOD. Kenyataannya hampir semua zat organik dapat dioksidasi oleh oksidator kuat
seperti kalium permanganat dalam suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan
organik dapat dioksidasi (Nybakken, 1988).
Seperti pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi
kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak
tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat
lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L
(Nybakken, 1988).
Pencemaran
air tidak hanya menimbulkan dampak negatif terhadap makhluk hidup, tetapi juga
mengakibatkan gangguan secara estetika, seperti air yang mengandung minyak atau
bahan lain yang mengapung di atas permukaan air. Bahan pencemar yang masuk ke
suatu perairan biasanya merupakan limbah suatu aktifitas. Menurut bentuknya,
limbah dibedakan menjadi limbah padat, limbah cair, limbah gas dan campuran
dari limbah-limbah tersebut. Selain itu, jenis limbah menurut susunan kimianya
terdiri dari limbah organik dan limbah anorganik, sedangkan menurut dampaknya
terhadap lingkungan dibedakan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun dan
limbah yang tidak berbahaya dan beracun. Menurut sumbernya, limbah dibedakan
menjadi (Manik, 2007) :
1. Limbah domestik (limbah rumah tangga, perkantoran,
pertokoan, pasar dan pusat perdagangan).
2. Limbah industri, pertambangan dan transportasi
3. Limbah laboratorium dan rumah sakit
4. Limbah pertanian dan peternakan
5. Limbah pariwisata
Menurut
Manik (2007) pencemaran air dapat juga terjadi karena erosi serta oleh logam
berat. Pencemaran air oleh erosi banyak terjadi di kawasan hutan yang telah
rusak dan daerah pertanian lahan kerng pada kemiringan lereng lebih besar dari
8%, tanpa tindakan konservasi tanah. Selain penurunan kesuburan tanah di tempat
terjadinya erosi, partikel tanah dan bahan organik yang terangkut berikut senyawa
yang terkandung di dalamnya akan mengendap menjadi lumpur. Lumpur tersebut
mengakibatkan pendangkalan perairan dan perairan menjadi keruh. Perairan yang
keruh memberikan dampak berkurangnya oksigen dalam air. Pencemaran air oleh
logam berat yang telah banyak dipublikasikan adalah pencemaran oleh Hg
(Merkuri), Cd (Cadmium) dan Pb
(Timbal). Selain itu logam berat yang dapat menyebabkan pencemaran perairan
adalah Cr (Chromium), Ni (Nikel), Cu (Cuprum), Zn (Zinkum,
seng), Fe (Ferum, besi).
Dalam
upaya mengendalikan pencemaran air, Pemerintah telah membuat peraturan antara
lain UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; UU No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air; dan PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Selain itu juga dilakukan pendekatan kelembagaan,
hukum, teknis dan program khusus. Pendekatan kelembagaan dilakukan dengan
membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), dan Dinas-dinas Lingkungan Hidup (Puslitbang,
2013).
Untuk
mengendalikan pencemaran air, mutu air dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelas, yaitu (Manik, 2007) :
a. Kelas satu, yaitu air yang diperuntukan untuk air
baku air minum.
b. Kelas dua, yaitu air yang dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air
untuk mengairi pertanaman
c. Kelas tiga, yaitu air yang dapat digunakan
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
d. Kelas empat, yaitu air yang dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman.
Pencegahan
dan penanggulangan pencemaran air yang diakibatkan oleh kerusakan hutan dan
kegiatan pertanian dapat dilakukan dengan (Manik, 2007) :
a. Meningkatkan usaha reboisasi dan penghijauan di
lahan kritis
b. Mencegah perambahan hutan dengan pengawasan dan
penerapan sanksi hukum yang tegas
c. Menerapkan sistem pertanian konservasi
d. Menggunakan pupuk dan pestisida seperlunya
e. Menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
pada setiap pemanfaatan lahan.
Pencemaran
air oleh limbah domestik dan industri atau kegiatan lainnya dapat dicegah atau
diminimalkan dengan cara (Manik, 2007) :
a. Mengumpulkan limbah padat domestik sehingga tidak
masuk ke perairan umum
b. Memanfaatkan limbah padat domestik untuk keperluan
lain, seperti pengomposan untuk limbah bahan organik dan sistem daur ulang bagi
limbah lainnya.
c. Memproses limbah padat domestik dengan sistem
landfill sanitary (sistem penimbunan berlapis)
d. Memisahkan limbah padat dari limbah cair sehingga
limbah padat tidak tercampur dengan limbah cair
e. Mengolah limbah cair industri sehingga dapat
digunakan kembali (sistem daur ulang)
f. Membangun instalasi pengolahan limbah cair (IPLC)
sehingga kualitas limbah cair yang dibuang ke perairan umum tidak melampaui
baku mutu yang berlaku
g. Mengurangi atau mengganti bahan kimia dalam proses
produksi sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan
h. Mengumpulkan limbah bahan berbahaya dan beracun dan
diolah secara khusus.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Makrobentos sebagai
Bioindikator
Pengkajian kualitas
perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika
dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa
fisika dan kimia air saja kurang memberikan gambaran kondisi kualitas
sesungguhnya pada suatu perairan, dan dapat memberikan
penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai
perubahnya sangat
dipengaruhi keadaaan sesaat. Oleh karena itu analisis (bentos) yang dipadu
dengan analisa fisika dan kimia air dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang kualitas suatu perairan.
Penggunaan bentos terutama
makrobentos sebagai indikator biologi kualitas perairan bukanlah merupakan hal
yang baru. Beberapa sifat hidup hewan bentos ini memberikan keuntungan untuk
digunakan sebagai indikator biologi diantaranya mempunyai habitat relatif
menetap. Dengan demikian, perubahan-perubahan kualitas air tempat hidupnya akan
berpengaruh terhadap komposisi dan
kelimpahannya.
Komposisi/kelimpahan makrobentos bergantung kepada toleransi ataupun
sensitifitasnya terhadap perubahan lingkungan. Beberapa organisme makrobentos
sering digunakan sebagai spesies indikator kandungan bahan organik dan dapat
memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian fisika dan kimia
(Sastrawidjaya, 1991).
Makrobentos adalah organisme yang
paling menderita terkena dampak lingkungan perairan karena adanya faktor
preferensi habitatnya dan juga mobilitasnya yang relative rendah menyebabkan
mahluk hidup ini dapat digunakan sebagai mahluk hidup yang keberadaannya sangat
dipengaruhi secara langsung oleh semua bahan yang masuk kedalam lingkungan
lahan perairan. Oleh karena itu, struktur komunitas makrobentos merupakan
indikator yang baik untuk menilai tingkat pencemaran lingkungan perairan.
3.2 Kelebihan dan
Kekurangan Makrobentos sebagai Bioindikator
Kelebihan dari menggunakan Makrobentos
sebagai bioindikator kualitas perairan adalah karena sifat hidup hewan bentos
yang relatif menetap memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena perubahan-perubahan
kualitas air tempat hidupnya akan berpengaruh langsung terhadap komposisi dan kelimpahannya.
Keuntungan yang lain adalah bentik makroinvertebrata juga sangat mudah untuk
diidentifikasi dan diamati dengan mata telanjang tanpa bantuan alat mikroskop,
dianalisa, dan diawetkan atau disimpan (preserve) dari pada jasad renik lainnya. Makroinvertebrata (bentos) memiliki
jumlah yang cukup banyak di dalam lingkungan lahan perairan. Selain itu
makroinvertebrata mempunyai siklus hidup berjangka waktu yang sesuai untuk
pengamatan musiman yang sangat singkat maupun untuk pengamatan yang bersifat
setahun sekali (Tjokrokusumo, 2006).
Penentuan
kualitas air dengan menggunakan makrobentos juga memiliki kekurangan. Dalam
penentuan kualitas perairan apabila tidak ditemukannya makrobentos belum tentu
mencerminkan suatu perairan tersebut tidak tercemar. Kondisi lingkungan fisik
perairan yang kurang mendukung untuk keberlangsungan hidup makrobentos dapat
menyebabkan makrobentos tersebut tidak terdapat di suatu perairan.
Beberapa negara
di dunia telah banyak menggunakan makroinvertebrata untuk mengevaluasi kualitas
air. Sebagai contoh negara Amerika Serikat menggunakan istilah nilai EPT untuk
mengevaluasi kualitas badan airnya, sedangkan Negara Australia menggunakan
istilah “streamwatch” atau “bugwatch” untuk mengevaluasi
perairan sungainya dari indeks polusi yang dihitung berdasarkan dari angka
sensitivitas makroinvertebrata terhadap bahan polusi. Demikian
juga Negara Inggris menggunakan BMWP (British) dan Negara Afrika Selatan
menggunakan SASS (South Africa Scoring System). Namun demikian Indonesia
belum menetapkan untuk mengadopsi system yang akan digunakan untuk menentapkan
kualitas sungai, dan juga belum melakukan kajian yang tepat dan cepat dalam
mengantisipasi untuk mengikutsertakan peran masyarakat dalam mengelola
lingkungan lahan perairan agar pembangunan berkelanjutan dapat berlangsung.
3.3 Makrobentos sebagai
Bioindikator Kualitas Perairan Sungai Citarum
1. Kondisi Sungai
Citarum
Di Jawa Barat, Sungai Citarum
merupakan sungai utama dari DAS citarum yang mengalir dari gunung wayang dan
bermuata di Laut Jawa. DAS sepanjang Sungai Citarum telah mengalami tekanan
dari pemanfaatan yang melebihi daya dukungnya seperti ekstentifikasi dan
intensifikasi pertanian, pemukiman, industri dan perikanan. Tekanan bahkan
sudah terasa dari hulu sungai.
Dengan 6 juta jiwa penduduk yang
menghuni DAS Sungai Citarum. Limbah domestik yang masuk ke DAS sekitar
160.000-200.000 ton/hari sedangkan aktifitas industri menimbulkan beban
pencemaran BOD yang pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 109.114 ton/hari.
Aktifitas pertanian menimbulkan akumulasi nitrogen dan pospor yang menyababkan
eutrifikasi dan pertumbuhan gulma. Hasil perhitungan menunjukan pencemaran
nitrogen sebanyak 6.460-187.852 ton/tahun dan pencemaran pospor sebanyak
3.060-21.990 ton/tahun.
2. Kualitas Sungai
Citarum berdasarkan Makrobentos
Penelitian terhadap makrobentos di
Sungai Citarum dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan. Hasil penelitian menunjukan:
1.
Pada musim kemarau kelimpahan makrobentos di hulu tinggi sedikit lalu naik
dibagian tengah sungai dan semakin tinggi di akhir waduk saguling. Sedangkan
keanekaan didaerah hulu tinggi lalu menurun di daerah tengah sungai dan kembali
tinggi di daerah waduk saguling. Pada musim kemarau makrobentos didominasi oleh
olighochaeta dan molusca.
2.
Pada musim hujan kelimpahan makrobentos di hulu sungai tinggi lalu menurun di
daerah tengah sungai dan kembali tinggi di waduk saguling. Sedangkan keanekaan
didaerah hulu dan tengah menurun dan kembali tinggi di waduk saguling pada
musim hujan makrobentos tetap didominasi
oleh olighochaeta dan molusca.
Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan :
1.
Pada musim kemarau kualitas sungai bagian hulu Sungai Citarum menunjukkan
pencemaran air sedang menuju rendah. Sedangkan pada bagian tengah sungai
menunjukkan pencemaran sedang menuju tinggi dan pada akhir sungai di Waduk
Saguling menunjukkan tingkat pencemaran sedang.
2.
Pada musim hujan kualitas sungai bagian hulu Sungai Citarum menunjukkan
pencemarah air rendah. Sedangkan dibagian tengah sungai menunjukkan pencemaran
sedang dan pada akhir sungai di Waduk Saguling menunjukkan tingkat pencemaran
sedang menuju rendah.
3.
Pada umumnya daerah tengah Sungai Citarum mengalami pencemaran yang paling
buruk dibandingkan daerah hulu dan akhir sungai di waduk saguling. Hal ini
disebabkan oleh tingkat pembangunan dan industri tinggi disepanjang DAS
menyumbangkan pencemaran yang cukup berat pada Sungai Citarum.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Peran makrobentos sebagai indikator kualitas Sungai Citarum menunjukkan pada
umumnya daerah tengah Sungai Citarum mengalami pencemaran yang paling buruk
dibandingkan daerah hulu dan akhir sungai di waduk saguling. Hal ini disebabkan
oleh tingkat pembangunan dan industri tinggi disepanjang DAS menyumbangkan
pencemaran yang cukup berat pada Sungai Citarum.
2.
Kelebihan dari menggunakan Makrobentos sebagai bioindikator kualitas perairan
adalah karena sifat hidup hewan bentos yang relatif menetap menyebabkan perubahan-perubahan
kualitas air tempat hidupnya akan berpengaruh langsung terhadap komposisi dan kelimpahannya.
Keuntungan yang lain adalah bentik makroinvertebrata juga sangat mudah untuk
diidentifikasi dan diamati dengan mata telanjang tanpa bantuan alat mikroskop,
dianalisa, dan diawetkan atau disimpan (preserve) dari pada jasad renik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arfiati, Diana. 1989. Strategi Peningkatan Kualitas Sumberdaya
pada Ekosistem Perairan Tawar. Malang: Universitas Brawijaya.
Barus,
T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi
Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan : USU Press.
Effendi,
Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air bagi
Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
Hawkes,
1976. Principle standard methods for
determining ecological criteria on hydrobiocoenose.
Pergamon Press, Oxford.
Hellawel,
J. 1977. Biological Indicator of Freshwater Polution and Enviromental
Management. Elsvier Science Publisher. London
Hendri.
2010. Karakteristik ekosistem Perairan
Menggenang. http://hendriyanar08.student.ipb.ac.id/2010/09/25/karakteristik-ekosistem-perairan-menggenang/.
Diakses pada 9 Maret 2013.
Komarawidjaya,W.
2005. Status Makroinvertebrata pada
perairan DAS Citarum Hulu yang tercemar. Tekning Lingkungan P3TL-BPPT.
Lind,
1979. Handbook of Common Method in
Limnology. Mosby Company. St. Louis.
Toronto. Canada.
Mulyanto,
S. 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta.
Munif,
2012. Bioindikator Pencemaran Lingkungan
pada habitat perairan. http://helpingpeopleideas.com/publichealth/index.php/2012/05/bio- indikator-pencemaran-lingkungan-pada-habitat-perairan/.
Diakses 22 Februari 2013 Pukul 10.34 WIB.
Nugroho,
A. E. 2006. Tingkat Biofiltrasi Kijing
Air Tawar Terhadap Bahan Organik. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, IPB.
Nybakken, J.W., 1988. Biologi
Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh H.M. Eidman dkk. Jakarta : Gramedia.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar
Ekologi. 4rd ed.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Puslitbang. 2013. Teknologi Pengendalian Pencemaran Air di Indonesia. Pusat Litbang
SDA.
Manik,
K.E.S. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jakarta : Djambatan.
Rullihandia,
N. 2010. Pengelolaan Sumber Daya Air yang
Berkelanjutan. http://www.bappenas.go.id/blog/?p=327. Diakses tanggal 1 Maret 2013 Pukul
13.08
Sastrawijaya,
A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan.
Rineka Cipta, Jakarta.
Sudaryanti, S dan Wijarni. 1991. Biomonitoring.
Malang: Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya.
Tjokrokusumo, S.W. 2006. Bentik
Makroinvertebrata sebagai Bioindikator Polusi Lahan Perairan. dalam http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JHI/article/view/79. Diakses pada tanggal 9 Maret 2013.
Warlina,
Lina. 2004. Pencemaran Air : Sumber,
Dampak dan Penanggulangannya.http://abdul.student.umm.ac.id/files/2010/02/lina.war lina.pdf.
Diakses pada 9 Maret 2013.
Wilhm, J. 1975. Biological
Indicator of Pollution. In B.A Whitton (ed). River Ecology, Studies in Ecology 2. Blackwell Scientific Publisher. London
I would like to thank you for the efforts you've made in writing this posting. I'm hoping the same very best function from you inside future too Modifikasi Honda Jazz
ReplyDelete