STUDI TERHADAP KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN LEBAKUNTUK PERTANIAN DI
KALIMANTAN SELATAN
BAB I
PENDAHULUAN
Lahan rawa semakin penting peranannya dalam
upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan
lainnya, mengingat semakin menciutnya lahan subur di Jawa akibatpenggunaannya
untuk perumahan dan keperluan non pertanian lainnya.
Potensi lahan rawa lebak di seluruh Indonesia
mencapai 14 juta hektar,terdiri dari rawa lebak dangkal seluas 4.166.000 ha,
lebak tengahan seluas6.076.000 ha dan lebak dalam seluas 3.039.000 ha (Widjaja
Adhi, et al.,1998).
Potensi
lahan rawa lebak di Kalimantan diperkirakan mencapai6.960.050 ha (Adimihardja
et al, 1999). Sebagian besar lahan lebak inibelum dimanfaatkan untuk usaha
pertanian sehingga potensipengembangannya masih sangat besar.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Pemanfaatan lahan rawa untuk usaha pertanian
di KalimantanSelatan dan Kalimantan Tengah diperkirakan telah dilakukan sejak
200tahun yang lalu. Meskipun pemanfaatan lahan rawa di Kalimantan sudahcukup
lama, belum semua lahan rawa di Kalimantan termanfaatkan. Dari4.757.000 ha
lahan rawa di Kalimantan yang dinyatakan sesuai untuk usahapertanian, baru
2,170.000 ha yang termanfaatkan. Produktivitas tanaman
pangan di daerah rawa yang sudah dibuka
tersebut pada saat ini relatifmasih rendah jika dibandingkan dengan
produktivitas di lahan beririgasi(Sabran et al, 1999).
Menurut Adimihardja
et al, (1998) pemanfaatan lahan rawa untukusaha pertanian hendaknya
memperhatikan faktor-faktor fisik dan lingkunganyang dapat menjadi kendala
dalam pengembangan usaha pertanian (Faktor-faktor tersebut meliputi:
a) lama dan kedalaman genangan air banjir
serta
kualitas air,
b) ketebalan gambut, kandungan hara dan
tingkat kematangan
gambut,
c) kedalaman lapisan pirit serta kemasaman
setiap lapisan
tanahnya.
Pada era otonomi daerah pendekatan pembangunan
pertanianmengalami reorientasi dari pendekatan yang berbasis sumberdaya
menjadipendekatan yang berbasis masyarakat (community based
development).Pembangunan pertanian berbasis kemasyarakatan ini dilaksanakan
melaluipendekatan: investasi lebih ditujukan pada sumberdaya manusia
danpeningkatan kapasitas, berorientasi pada partisipasi masyarakat,pemanfaatan
sumberdaya alam secara berkelanjutan untuk jangka panjangdengan pendekatan
menolong diri sendiri dengan penentuan keputusan dankontrol berada pada
masyarakat. Melalui pendekatan ini, arah pelaksanaanpenelitian dan pengkajian
serta diseminasi teknologi pertanian diarahkanpada pendekatan dari bawah (farmer-first),
dengan sasaran peningkatansumberdaya manusia dan pemberdayaan petani, serta
model penelitian danpengkajian yang tidak ilmiah semata, namun juga
memperhatikan fenomenaalam,sosial ekonomi, interaktif serta penghargaan
terhadap teknologi lokal(indegenous technology) yang terintegrasi
(Sulaiman, 2000).
Reorientasi pendekatan pembangunan pertanian
ini merupakankoreksi terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian selama ini.
MenurutLovelace (1984), berbagai masalah yang ditumbulkan oleh
program-programpembangunan berakar pada terbatasnya pemahaman terhadap
sumberdayaalam dan manusia yang kita usahakan untuk diperbaiki dan digunakan,
sertapada pemaksaan terhadap pola dan teknologi baru pada ekosistem yangsangat
tidak sesuai bagi pengembangannya. Teknologi baru seringkali
sulitdikonseptualisasikan, dipahami dan disatukan dalam kerangka
tradisionalsehingga pada akhirnya teknologi baru tersebut ditolak, atau
kalaupunditerima tidak layak untuk digunakan.
Kearifan budaya suatu masyarakat merupakan
kumpulanpengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan
suatukelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama suatu kurunwaktu
yang lama. Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentanganggapan
masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitaandengan struktur
lingkungan; bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana
reaksi alam terhadap tindakan-tindakan
manusia; serta hubungan-hubungan(yang sebaiknya tercipta) antara manausia
(masyarakat) dengan lingkunganalamnya (Zakaria, 1994).
Terminologi pengetahuan lokal sebagai kearifan
budaya suatumasyarakat digunakan untuk pengetahuan yang dihasilkan dan
diwariskanmasyarakat sepanjang waktu sebagai upaya untuk beradaptasi
denganlingkungan agroekologi dan sosial ekonominya (Fernandez dalam
Schneider,1995).
Pengetahuan lokal merupakan refleksi dan
kebudayaan masyarakatsetempat. Konsep tersebut merupakan ungkapan kebudayaan
yang khas,
yang terkandung di dalamnya tata nilai,
estetika, norma, aturan danketerampilan dari suatu masyarakat dalam memenuhi
tantangan hidupnya(Adimihardja, 1998).
Penelitian pengetahuan lokal bukanlah hal
baru, para Etnobiologis dan Antropologtelah mempelajari dan mendokumentasikannya dengan
mengunakanmetode-metode pengamatan terlibat, wawancara dengan
informan-informankunci, wawancara-wawancara informal, menyusun taksonomi dan
lain-lain(Mathias dalam Schneider, 1995). Identifikasi
terhadap sistem pengetahuandan teknologi lokal dapat memberikan gambaran yang
jelas mengenaikearifan budaya dalam mendayagunakan sumberdaya alam, ekonomi
dansosial secara bijaksana dengan tetap mengacu pada pemeliharaan
keseimbangan lingkungan.
Lahan lebak di Kalimantan Selatan tersebar di
beberapa kecamatandalam wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu
Sungai Tengahdan Hulu Sungai Utara. Wilayah ini dihuni oleh sekitar 250.000
jiwapenduduk yang memanfaatkan lahan rawa secara optimal. Sebagian
besarpenduduk di lahan lebak bergelut di sektor pertanian secara luas,
yaitusebagai penangkap ikan, petani hortikultura, padi dan palawija serta
beternak itik dan kerbau. Sebagian lainnya
bergerak di sektor perdagangan,kerajinan dan jasa yang hampir seluruhnya
berhubungan erat denganpemanfaatan sumberdaya lahan lebak.Pada mulanya wilayah
lahan lebak ini hanya dijadikan sebagai tempat
tinggal sementara para penebang kayu dan
pencari ikan. Semakin lamakomunitasnya semakin bertambah banyak, sementara kayu
yang ditebangmulai berkurang sehingga masyarakat berupaya untuk memenuhi kebutuhanhidupnya
dengan mencoba menanam padi dan mengembangkan berbagaiketerampilan. Semakin
lama mereka semakin memahami fenomena lahanrawa sehingga mampu mengembangkan
beragam komoditas pertanian.
Dalam berinteraksi dengan alam mereka tidak
berupaya untuk menguasaiatau melawannya tetapi berusaha untuk menyesuaikan
dengan dinamikalahan rawa.
Petani di lahan lebak umumnya mengusahakan
tanaman padi,jagung, kacang tanah, kacang negara, umbi-umbian, kacang panjang,
labudan semangka. Sebagian juga bekerja sebagai pencari ikan, baik padamusim
basah maupun musim kering. Sebagian lagi memelihara ikan dalamkaramba serta
memelihara ternak ayam, itik dan kerbau rawa. Beberapa
Usahatani padi yang dikembangkan di lahan rawa
sebagian terbesarmerupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian
besarhanya bertanam sekali setahun pada musim kering (banih rintak)
dansebagian kecil dapat bertanam dua kali dalam setahun (banih surung
danbanih rintak). Mereka yang bertanam dua kali setahun umumnya
sawahnyaberkisar antara 10 – 20 borongan (0,3 – 0,6 ha) dengan produktivitassebesar 3,5
ton/ha. Petani di Negara selalu menanam padi rintak setiap
tahun sedangkan padi surung tergantung pada
keadaan air. Penanamanpadi rintak paling sedikit seluas 0,3 ha sedangkan padi
surung paling sedikitsetiap keluarga menanam 0,6 ha. Pada daerah yang dapat
ditanami padisekali dalam setahun, luas tanam setiap keluarga mencapai
rata-rata 1 hapermusim dengan produktivitas mencapai 4,2 ton perhektar.
Masalah yang ada
Petani di Desa Mentaas tidak dapat memperluas
lahan penanamanjagung karena harus berkompetisi dengan tanaman padi, walaupun
merekamengetahui tanahnya juga cocok untuk tanaman jagung. Perluasan
lahanpertanian di Desa Mentaas terhambat oleh adanya peternakan kerbau rawadi
sekeliling areal pertanaman mereka. Petani di Desa Pakan Dalam danTapus dalam
tidak dapat memperluas areal penanaman padinya karenasempitnya waktu tanam
sehingga mereka kewalahan melakukan penyiangan rumput. Adanya gangguan ekologis akibat mewabahnya
hama keong mas(kalambuai) membuat petani tidak dapat lagi menanam padi
ketika air masihagak dalam, akibatnya begitu air surut padi masih kecil dan
tumbuh bersaingdengan rumput.
Perhitungan Biaya Produksi
Setiap habis panen petani akan memperkirakan
kebutuhan konsumsipadi selama satu tahun, termasuk untuk kegiatan keagamaan.
Berdasarkanperkiraan ini mereka akan menyimpan sebagian gabahnya dan
menjualsisanya untuk memenuhi sebagian biaya hidup dan membayar hutang
untukkeperluan pemenuhan input produksi. Kontribusi dari usahatani padi ini
tidakterlalu besar bagi pendapatan rumah tangga petani, walaupun demikianmereka
telah merasa aman apabila mempunyai persediaan padi yangmencukupi untuk
kebutuhan selama satu tahun.
Sumber pendapatan utama
Sumbangan pendapatan yang agak besar diperoleh
petani dariusahatani palawija dan hortikultura. Bagi orang Negara, usahatani
padihanya merupakan usaha sampingan. Sumber pendapatan utama merekaterutama
dari bahuma kemarau, yaitu dari usahatani jagung, labu,semangka,
kacang negara, kacang tanah dan ubi. Setiap keluarga
mengusahakan tanaman hortikultura dan palawija
ini paling sedikit seluas 1ha. Tanaman palawija dan hortikultura kurang
berkembang di daerahMentaas dan Tapus Dalam yang lahannya agak datar. Dalam hal
ini, setiappeningkatan luas tanam palawija dan hortikultura akan mengurangi
luastanam padi.
Sumber pendapatan lain
Beberapa daerah pemukiman juga ada yang
mengandalkan
pendapatan rumah tangganya dari usaha
penangkapan ikan seperti di
Muning (Negara), Mentaas (Sungai Buluh) dan
Tapus Dalam (Sungai
Pandan). Pada musim kemarau mereka lebih mudah
melakukan
penangkapan tetapi selang waktunya hanya
sebentar. Pada musim basah
mereka dapat melakukan penangkapan setiap
hari, baik siang maupun
malam. Apabila petani hortikultura dan
palawija lebih menyukai musim kering
karena mereka berusaha di darat, petani yang
menggantungkan hidupnya
dari penangkapan ikan lebih menyukai berusaha
di air. Pada saat air dalam
setiap orang mampu mengumpulkan paling sedikit
10 kg ikan sehari dari
perairan umum lahan lebak yang luas. Pada masa
puncak penangkapan,
33
daerah Mentaas mampu menghasilkan ikan hingga
5 ton ikan sehari. Ikan ini
dijual kepada pedagang perantara (pembelantik)
di Desa Mentaas, baik
dalam keadaan segar maupun sudah diolah
menjadi ikan asin.
Pada beberapa daerah yang dilalui sungai
besar, petani memelihara
ikan dalam karamba seperti di daerah Danau
Panggang. Ikan yang
dipelihara terutama ikan tauman yang
tergolong mudah pemeliharaannya
karena dapat memanfaatkan pakan yang tersedia
melimpah di lahan rawa,
seperti keong mas (kalambuai) dan
ikan-ikan kecil. Sebagian lagi memelihara
ternak itik dan ayam seperti petani di Sungai
Pandan dan Telaga Silaba
serta memelihara kerbau rawa seperti petani di
Mentaas dan Danau
Panggang.
Pada saat musim hujan, warga masyarakat yang
bertani di darat
sudah tidak mempunyai kesibukan lagi. Biasanya
bagi yang masih muda
mereka akan merantau1 ke luar daerah
untuk bekerja di berbagai pekerja
industri, tukang dan ada pula yang berdagang
atau berkebun. Bagi yang tua
tetap tinggal di desa dan masih bekerja
menangkap ikan (maringgi) atau
pada industri kecil di desa seperti membuat
gagang sikat, hulu parang dan
lain-lain.
KEARIFAN LOKAL PETANI LAHAN LEBAK
Teknologi kearifan lokal yang petani di lahan
lebak berkembang
berdasarkan pentingnya sesuatu hal itu menurut
wacana kebudayaan
penduduk setempat serta kemudahan dalam
melakukan pengamatan.
Berdasarkan kedua prinsip itu petani lahan
lebak di Kalimantan Selatan
mengembangkan pengetahuan lokal dalam
prioritas yang berbeda. Bagi
orang Negara yang mementingkan bahuma di
darat, maka musim kering
merupakan sesuatu yang penting bagi mereka,
maka pengetahuan
mengenai peramalan datangnya musim kering juga
menjadi hal yang penting
bagi mereka. Sebaliknya bagi penangkap ikan di
Mentaas dan Tapus
Dalam, saat lahan rawa tergenang merupakan
masa yang penting bagi
mereka sehingga pengetahuan mengenai peramalan
datangnya hujan dan
tergenangnya tanah menjadi penting pula bagi
mereka.
Menurut Noorginayuwati et al, (2005)
bagi petani di lahan basah,
kedatangan musim kering merupakan suatu yang
penting dan bermakna.
Hal ini ditandai dengan banyaknya gejala alam
yang berhubungan dengan
musim kering. Gejala alam yang menjadi
pertanda musim kering
diantaranya:
1. Apabila ikan-ikan mulai pergi meninggalkan
kawasan lahan lebak (turun)
menuju sungai merupakan pertanda akan
datangnya musim kering.
Gejala alam ini biasanya terjadi pada bulan
April atau Mei. Menurut
1 Pergi merantau bagi orang Mentaas dan
Tapus Dalam disebut madam atau tulak jauh, bagi
orang Negara disebut tulak, madam bagi orang
Negara berarti pergi ke pahumaan (ladang).
34
warga pada saat ini suhu air di lahan lebak
sudah meningkat dan ikan
turun untuk mencari daerah yang berair dalam.
2. Apabila ketinggian air semakin menyusut
tetapi masih ada ikan saluang
yang bertahan maka menunjukkan bahwa lahan
lebak masih tidak akan
kekeringan. Biasanya masih akan ada air
sehingga kedalaman air di
lahan lebak kembali meningkat, baik sebagai
akibat dari turunnya hujan
di lahan lebak maupun dari kiriman air di
dataran tinggi yang mengalir
melalui beberapa anak sungai.
3. Bintang Karantika muncul di ufuk barat pada
senja hari hingga sesudah
waktu maghrib menandakan air di lahan lebak
akan mulai kering.
Bintang Karantika ini merupakan suatu gugusan
bintangyang
susunannya bergerombol (bagumpal)2.
Petani di Desa Pakan Dalam
Kecamatan Daha Utara kabupaten Hulu Sungai
Selatan mengatakan
gugus bintang ini jumlahnya ada 9 buah, kadang
kala hanya terlihat 8
buah. Petani di Desa Tambangan Kecamatan Daha
Selatan (Kabupaten
HSS) dan Desa Mentaas Kecamatan Labuan Amas
Utara (Kabupaten
HST) dan Desa Tapus Dalam Kecamatan Sungai
Pandan (Kabupaten
HSU) mengatakan jumlahnya ada 6 buah3.
Kemunculan bintang ini di
ufuk barat merupakan peringatan kepada petani
untuk segera melakukan
penyemaian benih tanaman padi (manaradak).
Saat kemunculan bintang
ini hingga 20 hari kemudian dianggap merupakan
waktu yang ideal untuk
melakukan penyemaian benih padi. Apabila telah
lewat dari waktu
tersebut maka petani akan terlambat memulai
usahatani padinya dan
diperkirakan padi di pertanaman tidak akan
sempat memperoleh waktu
yang cukup untuk memperoleh air.
4. Bintang Baur Bilah yang muncul 20 hari
kemudian di sebelah barat juga
dijadikan pertanda bagi datangnya musim kering
dan dijadikan patokan
dalam memperkirakan lama tidaknya musim
kering. Baur Bilah adalah
tiga buah bintang yang bersusun sejajar. Bagi
petani Desa Pakan Dalam
ketiganya tersusun miring vertikal. Bagi
petani di Desa Tambangan,
Mentaas dan Tapus Dalam susunannya miring agak
horizontal. Bagi
petani di Desa Pakan Dalam, lama tidaknya
musim kering ditunjukkan
oleh cahaya bintang mana yang paling terang
diantara ketiganya.
Apabila bintang yang paling terang adalah
bintang yang terletak paling
atas maka musim kering akan berlangsung lama (kancang
panasnya).
Sebaliknya bila yang paling terang adalah
bintang yang paling bawah,
maka musim kering diperkirakan tidak akan
berlangsung lama. Apabila
2 Bintang Karantika juga menjadi pedoman
bagi pertani peladang berpindah di Pegunungan
Meratus. Mereka menggunakannya sebagai pedoman
untuk menentukan datangnya musim
hujan sebagai awal bagi mereka untuk melakukan
penanaman padi (menugal).
3 Diriwayatkan dalam cerita rakyat,
sebelumnya jumlahnya ada 7 buah bintang, sebuah
bintang kemudian jatuh ke negeri Bombay yang
disebutnya sebagai negeri siang, yaitu
negeri yang selalu terang benderang seolah
tidak mengenal malam.
35
yang paling terang adalah bintang yang di
tengah maka musim kering
tidak terlalu lama tetapi juga tidak terlalu
pendek (panangahan).
Bagi petani di Desa Tambangan terangnya cahaya
salah satu bintang
menunjukkan waktu teriknya (kancang)
musim kemarau. Apabila yang
terang bintang pertama yang paling kiri
berarti panas terik tanpa ada
hujan akan terjadi pada awal musim kemarau,
bila bintang yang di tengah
cahayanya paling terang maka pada awal dan
akhir musim kemarau
masih ada hujan, sementara panas terik di
pertengahan musim kemarau.
Apabila yang paling terang cahayanya bintang
yang paling kiri, maka
panas terik akan terjadi pada akhir musim
kemarau, persis seperti tahun
ini (2004).
*
*
U
*
*
*
*
Bagi petani di Desa Tambangan, jarak antara
kedua gugus bintang ini
juga akan menentukan lama tidaknya musim
kemarau. Apabila jaraknya
relatif berdekatan maka musim kemarau tidak
terlalu panjang, sebaliknya
apabila berjauhan maka merupakan ciri bahwa
musim kemarau akan
berlangsung lama.
5. Tingginya air pasang yang datang secara
bertahap juga menjadi ciri yang
menentukan lamanya musim kering. Apabila dalam
tiga kali kedatangan
air pasang (pasang-surut, pasang-surut dan
pasang kembali), ketinggian
air pasang pada tahapan pasang surut yang
ketiga lebih tinggi dari dua
pasang sebelumnya biasanya akan terjadi musim
kering yang panjang.
6. Ada juga yang melihat posisi antara
matahari dan bintang karantika.
Menurut petani di Tapus Dalam, apabila
matahari terbit agak ke sebelah
timur laut dibandingkan posisi karantika
berarti akan terjadi kemarau
panjang (landang).
7. Apabila burung putih seperti kuntul dan
sejenis bangau mulai meletakkan
telurnya di semak padang parupuk merupakan
tanda air akan menyurut
(rintak). Burung putih mengharapkan
setelah telurnya menetas air akan
surut sehingga anaknya mudah mencari mangsa
(ikan).
8. Ada pula petani yang meramalkan kemarau dengan
melihat gerak asap
(mamanduk). Apabila asap terlihat tegak
(cagat) agak lama berarti
kemarau akan panjang dan sebaliknya.
Ciri alam sebagai pertanda akan datangnya air
di lahan lebak yang
diinformasikan oleh petani meliputi:
36
1. Munculnya fenomena alam yang disebut Kapat,
yaitu saat suhu udara
mencapai derajat tertinggi. Diceritakan, orang
yang mengetahui waktu
terjadinya kapat dapat menunjukkan bahwa air
yang diletakkan dalam
suatu tempat akan memuai. Kapat ini biasanya
mengikuti kalender
syamsiah (masehi) dan terjadi pada awal bulan
Oktober. Empat puluh
hari setelah terjadinya kapat maka biasanya
air di lahan lebak akan
dalam kembali (layap). Menurut petani
di Mantaas, kapat berarti bertemu
dengan hujan dan tidak lagi berharap panas.
2. Setelah terjadinya fenomena Kapat, akan
muncul fenomena alam lain
yang ditandai dengan berterbangannya suatu
benda yang oleh
masyarakat disebut benang-benang. Munculnya
benda putih menyerupai
benang-benang yang sangat lembut yang
berterbangan di udara dan
menyangkut di pepohonan dan tiang-tiang tingi
disebutkan sebagai
pertanda datangnya musim barat, yaitu tanda
akan dalamnya kembali air
di lahan lebak (layap). Fenomena alam
ini biasanya terjadi pada bulan
Oktober sampai Nopember.
3. Petani di Desa Tapus Dalam memperhatikan
pula pertanda tumbuhan
untuk memperkirakan datangnya air.
Apabila kumpai payung
(papayungan) yang tumbuh di tanah yang
agak tinggi mulai menguning
dan rebah maka pertanda air akan dalam (basurung).
Ada pula tumbuh-
tumbuhan yang disebut pacar
halang yang berbuah kecil seperti butir
jagung. Apabila buahnya memerah (masak) dan
mulai berjatuhan maka
air sudah mulai menggenangi lahan rawa.
Demikian pula tumbuhan yang
oleh petani di Mentaas disebut kakuding,
apabila tumbuhan ini berbunga
dan bunganya mulai jatuh berarti air akan
dalam. Demikian pula apabila
eceng gondok (ilung) mulai berbunga
maka air akan segera datang.
4. Untuk menentukan lama tidaknya musim basah,
petani menjadikan keladi
lumbu (gatal) sebagai indikator. Bila tanaman
ini mulai berbunga berarti
itulah saat pertengahan musim air dalam.
Apabila rumput pipisangan
daunnya bercahaya agak kuning maka pertanda
air akan lambat turun
(batarik).
5. Apabila ikan-ikan yang masih bisa ditemukan
di lahan lebak mulai
bertelur maka pertanda air akan datang (layap).
Menurut petani di Desa
Tambangan, biasanya terlebih dahulu ditandai
dengan hujan deras, lalu
ikan betok berloncatan (naik) melepaskan
telurnya, setelah itu akan
panas sekitar 40 hari lalu air akan datang dan
telur ikan akan menetas.
Selain pengetahuan yang berhubungan dengan
peramalan iklim,
petani di lahan lebak juga mempunyai
pengetahuan lokal mengenai
kesesuaian tanah dengan tanaman, baik ditinjau
dari ketinggiannya maupun
kandungan humus dan teksturnya. Mereka
menanami tanah yang tinggi
dengan semangka, jagung, kacang dan ubi
negara, tanah yang rendah
ditanami padi.
Bagi petani di lahan lebak, tanah bukaan baru
dan dekat hutan
umumnya dianggap sangat subur dan tidak masam,
tetapi bila banyak
tumbuh galam pertanda tanah itu masam. Bila di
batang tanaman tersisa
37
warna kekuning-kuningan bekas terendam air (tagar
banyu) merupakan
pertanda tanah masam. Apabila lahan ditumbuhi
oleh kumpai babulu dan
airnya berwarna kuning merupakan ciri tanah
masam. Tanah masam ini
masih dapat ditanami ubi negara, atau bila
ingin ditanami semangka mereka
melakukan pengapuran terlebih dahulu. Bila
telah ditanami beberapa kali
keasaman akan berkurang karena menurut mereka
sisa-sisa rumput yang
tumbuh dan mati menjadi humus. Apabila keasaman
tanah tidak bisa
ditingkatkan mereka akan meninggalkannya dan
menganggapnya sebagai
tanah yang tidak produktif (tanah bangking).
Tanah yang baik adalah tanah
yang tidak banyak ditumbuhi oleh jenis tanaman
liar (taung) seperti parupuk,
mengandung humus yang banyak dari pembusukan
kumpai serta
mempunyai aliran sungai yang dalam. Sungai ini
berfungsi untuk
pembuangan air masam sehingga sejak dahulu
petani membuat dan
memelihara ray yang dibuat setiap jarak 30
depa.
Keadaan lahan lebak oleh petani dibagi menurut
keadaan tinggi
rendahnya permukaan tanah sehingga dikenal
adanya petak rambah, petak
pematang, petak sedang dan petak mungkur.
Menurut petani di Negara,
semangka lebih menyukai tanah yang agak tinggi
dan rata dengan tanah
humus yang tebalnya sekitar satu hasta (tanah
gambung). Begitu juga
dengan kacang tanah. Ubi negara menyukai tanah
yang lembahnya sedang
dan humus tidak terlalu tebal. Sedangkan
jagung, lombok dan labu
menyukai petak mungkur dengan humus tipis dan
dekat dengan tanah liat.
Menurut petani di Negara tanaman-tanaman ini
memerlukan topangan yang
kuat bagi akarnya agar tidak mudah rebah.
Petani di lahan lebak membagi tanahnya kedalam
petak-petak yang
dibatasi dengan saluran air. Pada mulanya
saluran ini dikira dibuat oleh
orang-orang terdahulu hanya untuk mempermudah
transportasi dan
perangkap ikan pada musim kering. Ternyata
saluran ini berfungsi untuk
mengalirkan air yang masam dan air yang mati
akibat pembusukan sisa-sisa
tanaman. Mereka berusaha untuk hidup selaras
dengan alam dengan
berupaya mengikuti dinamika iklim dan
lingkungan. Petani tidak akan
menanam padi pada bulan Agustus atau September
mengingat semakin
berkurangnya ketersediaan air dan ancaman hama
tikus apabila panen pada
bulan Nopember. Untuk menyiasatinya petani
melakukan penanaman pada
bulan Mei hingga Juni dengan menggunakan padi
berumur pendek.
Pada masa lalu pengembangan dan penerapan
pengetahuan lokal ini
merupakan otoritas perangkat kampung yang
disebut Kepala Padang.
Kepala Padang biasanya orang yang mempunyai
pengetahuan yang luas
mengenai silsilah kepemilikan lahan dan
peramalan iklim. Ketentuan suatu
kampung memulai melakukan aktivitas pertanian
biasanya ditentukan oleh
Kepala Padang berdasarkan indikator gejala
alam yang diamatinya. Pada
saat ini sudah jarang desayang dilengkapi
perangkat Kepala Padang.
Pada saat ini petani di lahan lebak pada
umumnya masih
menggunakan gejala-gejala alam sebagai
indikator dalam meramalkan iklim
dan menentukan kesuburan tanah. Pengetahuan
ini mereka peroleh melalui
38
belajar dari orang tua mereka. Pengetahuan ini
terus diwariskan dari
generasi ke generasi selama mereka masih
menekuni usaha pertanian.
Pemuda di Desa Tambangan yang mengusahakan
semangka dan kacang
tanah telah menguasai dan menggunakan
pengetahuan lokal ini dalam
menjalankan usahanya. Sebaliknya pemuda di
Pakan Dalam yang tidak
tertarik lagi dengan sektor pertanian sudah
tidak lagi mengetahui mengenai
gejala alam yang menjadi indikator peramalan
iklim ini. Sebagian pemuda di
Mentaas masih mengetahui pengetahuan lokal
ini, walupun anak-anak yang
beranjak dewasa sudah tidak lagi terlibat
dalam usahatani padi. Mereka
lebih menyukai usaha penangkapan ikan karena
dapat memperoleh uang
secara tunai setiap hari.
PEMANFAATAN PENGETAHUAN LOKAL YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN PERAMALAN IKLIM DAN PASANG SURUT AIR
Pengetahuan lokal yang dikembangkan oleh
petani di lahan rawa
lebak Kalimantan Selatan pada umumnya
dikembangkan berdasarkan
pentingnya sesuatu hal menurut wacana
kebudayaan penduduk setempat
serta kemudahan bagi mereka dalam melakukan
pengamatan. Berdasarkan
kedua prinsip itu petani lahan rawa lebak di
Kalimantan Selatan
mengembangkan pengetahuan lokal dalam
prioritas yang berbeda. Bagi
orang Negara (Tambangan dan Pakan Dalam) yang
mementingkan bahuma
di darat, musim kering merupakan sesuatu yang
penting bagi mereka
sehingga pengetahuan mengenai peramalan
datangnya musim kering juga
menjadi hal yang penting bagi mereka.
Sebaliknya bagi penangkap ikan di
Mentaas dan Tapus Dalam, saat lahan rawa
tergenang merupakan masa
yang penting bagi mereka sehingga pengetahuan
mengenai peramalan
datangnya hujan dan tergenangnya tanah menjadi
penting pula bagi mereka.
Meskipun demikian, mengingat lahan rawa
sebagai lingkungan tempat
mereka hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya
identik dengan lingkungan
yang selalu basah, maka saat datangnya musim
kering umumnya menjadi
sangat penting dan bermakna pula bagi mereka.
Secara umum pengetahuan lokal mengenai
peramalan iklim dan
kedalaman genangan air yang dikembangkan oleh
petani lahan rawa lebak
di Kalimantan Selatan dihubungkan dengan
perubahan fisiologis tanaman
dan hewan, perilaku hewan, gejala alam dan
penggunaan media buatan.
Pengetahuan lokal yang dapat ditemukan pada
semua wilayah rawa lebak
pada lokasi penelitian pada Tabel 1.
Tabel 1. memperlihatkan perilaku hewan dan
tumbuh-tumbuhan
merupakan fenomena alam yang paling banyak
ragamnya yang dijadikan
petani sebagai pedoman dalam meramalkan
datangnya musim kering dan
musim basah. Perilaku ikan merupakan fenomena
alam yang dijadikan
sebagai pedoman dalam meramalkan datangnya
kedua musim di lahan
rawa lebak. Penggunaan perubahan perilaku ikan
sebagai indikator akan
39
terjadinya perubahan musim ini menjadi
pengetahuan yang umumnya
diketahui oleh petani pada semua lokasi penelitian.
Penggunaan fenomena alam bintang Karantika dan
bintang Baur
Bilah sebagai indikator terjadinya perubahan
musim pada lahan rawa lebak
dapat ditemukan di desa Tambangan (Daha
Selatan), Pakan Dalam (Daha
Utara), Mentaas (Labuan Amas Utara) dan Tapus
dalam (Sungai Pandan).
Sebagian petani juga memanfaatkan bintang
Karantika untuk meramalkan
datangnya musim kering dan musim basah di
lahan rawa lebak, akan tetapi
petani di lokasi penelitian umumnya hanya
menggunakannya dalam
meramalkan datangnya musim kering. Petani di
desa Tambangan dianggap
sangat ahli dalam melihat bintang Karantika
dan bintang Baur Bilah
sehingga kalender usahatani yang diterapkan
petani di Desa Tambangan
sebagian dijadikan pedoman oleh petani di
sekitarnya dalam berusahatani.
Petani di desa Tapus Dalam memiliki paling
banyak pengetahuan
mengenai tumbuhan lahan rawa lebak yang dapat
dijadikan indikator bagi
datangnya musim basah. Tabel 1 juga
memperlihatkan bahwa petani di
desa Mentaas dan Tapus Dalam yang lebih banyak
menggantungkan
hidupnya dari usaha penangkapan ikan
memanfatkan tumbuh-tumbuhan
sebagai indikator dalam peramalan iklim dan
pasang surutnya air di lahan
rawa lebak. Peramalan mengenai musim kemarau
dengan menggunakan
asap sebagai indikator hanya dimiliki oleh
petani di desa Tapus Dalam.
Petani di lahan lebak pada umumnya masih
menggunakan gejala-
gejala alam sebagai indikator dalam meramalkan
iklim dan menentukan
kesuburan tanah dalam usahatani mereka hingga
saat ini. Pengetahuan ini
mereka peroleh melalui belajar dari orang tua
mereka. Pengetahuan ini terus
diwariskan dari generasi ke generasi selama
mereka masih menekuni usaha
pertanian. Pemuda di desa Tambangan yang
mengusahakan semangka dan
kacang tanah telah menguasai dan menggunakan
pengetahuan lokal ini
dalam menjalankan usahanya. Sebaliknya pemuda
di desa Pakan Dalam
yang tidak tertarik lagi dengan sektor
pertanian sudah tidak lagi mengetahui
mengenai gejala alam yang menjadi indikator
peramalan iklim ini. Sebagian
pemuda di Mentaas masih mengetahui pengetahuan
lokal ini, walupun anak-
anak yang beranjak dewasa sudah tidak lagi
terlibat dalam usahatani padi.
Mereka lebih menyukai usaha penangkapan ikan
karena dapat memperoleh
uang secara tunai setiap hari.
Pada masa lalu pengembangan dan penerapan
pengetahuan lokal ini
merupakan otoritas perangkat kampung yang
disebut Kepala Padang.
Kepala Padang biasanya orang yang mempunyai pengetahuan yang luas
mengenai silsilah kepemilikan lahan dan
peramalan iklim. Ketentuan suatu
kampung memulai melakukan aktivitas pertanian
biasanya ditentukan oleh
Kepala Padang berdasarkan indikator gejala alam yang diamatinya. Pada
saat ini sudah jarang ditemukan desa-desa di
Kalimantan Selatan yang
dilengkapi dengan perangkat Kepala
Padang.
40
PERSEPSI PETANI TERHADAP FENONEMA ALAM YANG
BERHUBUNGAN DENGAN IKLIM DAN PASANG
SURUTNYA AIR
Pengetahuan mengenai gejala alam, perilaku
hewan, perubahan
fisiologis pada tumbuhan dan teknik-teknik
buatan manusia dalam
meramalkan iklim dan pasang surutnya air
umumnya dimiliki oleh petani di
lahan lebak. Walaupun demikian tidak semua
petani memahami atau
terampil dalam memanfaatkan pengetahuan
tersebut. Keterampilan ini
sangat tergantung pada umur dan pengalaman
mereka dalam berusahatani.
Tabel 1. Teknik peramalan iklim yang
dikembangkan petani di lahan lebak
Kalimantan Selatan
Teknik peramalan
Lokasi pengembangan / usahatani utama
Tambangan/
hortikultura
Pakan
Dalam/ Padi
Mentaas/Ikan
dan Padi
Tapus
Dalam/ Ikan
Musim kering
Perilaku Hewan:
- Ikan
- Burung
Gejala alam:
- Pasang-surut air
- Bintang Karantika
- Bintang Baur Bilah
Gerak asap
x
x
x
x
x
-
x
-
-
x
x
-
x
x
x
x
x
-
x
x
-
x
x
x
Musim basah
Perilaku Hewan:
- Ikan
Tumbuh-
tumbuhan:
- Kumpai Payung
- Pacar Halang
- Kakuding
- Eceng Gondok
- Keladi Lumbu
- Rumput
Pipisangan
Gejala Alam:
- Kapat
- Benang-benang
x
-
-
-
-
-
-
x
x
x
-
-
-
-
-
-
x
x
x
x
x
x
x
-
-
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Sumber : Noorginayuwati et al, (2005)
41
Pengetahuan petani mengenai fenomena alam yang
berhubungan
dengan peramalan iklim dan pasang surutnya air
mempunyai hubungan yang
positif dengan umur petani (Tabel 2). Dari
hasil wawancara di empat desa
yaitu, menunjukkan bahwa 94% responden yang
berumur ≤ 40 tahun tidak
memiliki pengetahuan lokal tentang fenomena
alam. Semakin tua umur
petani contoh (> 40 tahun) maka semakin
banyak petani yang memiliki
pengetahuan tentang fenomena alam tersebut. 44
% dari total responden
yang memiliki pengetahuan lokal berumur >
40 tahun. Hal ini erat pula
kaitannya dengan pengalaman bertani. Dari
hasil wawancara dengan
responden yang berumur > 40 tahun dan
memiliki pengetahuan lokal
mempunyai pengalaman berusahatani rata-rata
> 20 tahun, sedangkan
responden yang berumur > 40 tahun tetapi
tidak memiliki pengetahuan lokal,
mempunyai pengalaman bertani < 20 tahun.
Dan dari total responden, 46 %
memiliki pengetahuan lokal tentang fenomena
alam dan 54 % tidak memiliki.
Dari keadaan ini terlihat bahwa pengetahuan
lokal ini perlu dilestarikan,
karena pada saatnya petani yang tua-tua akan
tiada dan pada saat itulah
pengetahuan tersebut akan hilang.
Untuk melihat apakah pengetahuan tersebut
memang perlu
dilestarikan maka perlu dilihat persepsi
petani terhadap karakteristik
fenomena alam tersebut. Menurut Rakhmat (1988)
persepsi petani adalah
tanggapan atau gambaran yang ada dalam pikiran
seseorang mengenai
suatu objek atau informasi yang diterimanya,
dan persepsi tiap orang
terhadap suatu objek yang sama tidak selalu
sama. Persepsi seseorang
dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor
situasionalnya, dan suatu inovasi
akan diadopsi oleh petani apabila petani
mempunyai persepsi yang baik
terhadap inovasi tersebut.
Tabel 2. Jumlah petani contoh yang memiliki
pengetahuan tentang fenomena
alam di 4 desa di Kabupaten HSS, HST dan HSU
Kalsel, 2004
Fenomena alam
Jumlah responden (%)
Umur ≤ 40 tahun
Umur > 40 tahun
Tahu
Tidak tahu
Tahu
Tidak tahu
1. Bintang karantika
0
35
50
15
2. Bintang haur bilah
0
35
50
15
3. Kapat
0
35
50
15
4. Hewan
5
33
24
38
5. Tumbuhan
5
33
48
14
Rata-rata
2
34
44
20
Sumber : Noorginayuwati et al, (2005)
Persepsi petani terhadap karakteristik tentang
fenomena alam diukur
dengan mengembangkan beberapa pertanyaan yang
dinilai responden,
menggunakan skala peringkat dengan kisaran 1
(tertinggi) sampai 5
42
(terendah). Penentuan karakteristik fenomena
alam yang ingin diketahui
ditentukan berdasarkan wawancara pendahuluan
dengan petani.
Rata-rata skor persepsi responden yang
ditampilkan pada Tabel 3
menunjukkan bahwa responden mempunyai persepsi
yang baik terhadap
pengetahuan fenomena alam dengan nilai
rata-rata 2,16. Hal ini berarti
responden setuju dengan karakteristik
pengetahuan lokal tersebut. Nilai
tertinggi 1,4 ditunjukkan oleh waktu ideal
penyemaian tanaman, yang berarti
responden sangat setuju bahwa dengan
mengetahui fenomena alam akan
dapat menentukan waktu yang ideal untuk mulai
penyemaian tanaman.
Selanjutnya dengan mengetahui fenomena alam
maka lahan pertanaman
tidak akan kekeringan, menanam tepat waktu dan
dapat ditentukan bahwa
air di lahan lebak akan dalam kembali. Dengan
tanda-tanda air akan dalam
kembali maka petani ikan mulai mempersiapkan
alat tangkap ikan dan alat
untuk memelihara ikan seperti karamba.
Petani di lahan lebak umumnya mengetahui
mengenai gejala alam
bintang karantika, bintang baur
bilah dan kapat. Mereka juga meyakini
keakuratan dari gejala alam tersebut. Hasil
wawancara dengan responden
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan lokal
tentang keadaan iklim dan
pasang surutnya air cukup akurat dengan apa
yang akan terjadi, karena dari
total responden, 95 % menyatakan akurat dan
hanya 5 % menyatakan
kadang-kadang akurat. Walaupun demikian, tidak
semua petani yang
mengetahui tentang gejala alam tersebut dapat
menerangkan bagaimana
bentuk, susunan, kejadian dan waktu terjadinya
gejala-gejala alam tersebut.
Mereka akan mengetahui apabila gejala-gejala
alam sedang terjadi melalui
petani-petani yang telah berpengalaman.
Berdasarkan informasi tadi mereka
kemudian membuat perencanaan usahataninya,
seperti kapan mulai
melakukan penyemaian atau mempersiapkan alat
tangkap ikan.
Tabel 3. Rata-rata skor persepsi responden
terhadap pengetahuan lokal
tentang iklim dan pasang surutnya air di 4
desa di Kabupatan
HSS, HST dan HSU, Kalsel Tahun 2004
Karakteristik pengetahuan lokal
Rata-rata skor petani
1. Menanam tepat waktu
2,1
2. dapat menentukan awal musim kering
2,5
3. Menentukan kemarau panjang
2,2
4. Lahan pertanaman tidak kekeringan
1,5
5. Waktu ideal penyemaian
1,4
6. Pasang surutnya air
2,5
7. Pertanda akan ada ulat grayak
3,0
8. Menentukan akan dalamnya kembali air
2,1
Rata-rata
2,16
Sumber : Noorginayuwati et al, (2005)
43
PEMANFAATAN KARAKTERISTIK SUSIAL BUDAYA DAN
PENGETAHUAN LOKAL
Masyarakat yang tinggal di lahan rawa
merupakan pekerja keras
yang ulet dan kreatif. Karakter ini tidak
hanya ditempa oleh pengalaman
sejarah mereka tetapi juga oleh lingkungan
fisik lahan lebak yang marginal.
Mengembangkan pertanian di lahan lebak yang
penuh dengan resiko
menuntut mereka untuk berusaha dengan penuh
perhitungan dan berani
menanggung resiko. Terbatasnya kesempatan
mereka karena
ketergantungan pada iklim menuntun mereka
untuk berspekulasi dengan
mengembangkan usaha dalam skala luas. Sikap
ini tidak hanya mereka
tunjukkan ketika mengembangkan usaha pertanian
tetapi juga pada usaha-
usaha lain yang kemudian mereka kerjakan.
Tentu saja resiko ini baru
berani dijalani setelah mereka memperoleh
jaminan keamanan pangan, yaitu
tersedianya padi untuk masa satu musim tanam.
Apabila dihubungkan dengan pendapat
McCleland dalam Budiman
(1996), petani di lahan lebak sebenarnya
mempunyai potensi untuk dapat
meningkatkan n-Ach mereka. Sebegai pekerja
keras petani di lahan lebak
terus berupaya untuk memperbaiki kehidupan.
Seorang petani di Negara
mengatakan:
“Mun aku ini sabarataan gawian rasanya
sudah kurasai, badagang,
menyayat, membelah di banyu, maiwak,
batabang galam, baulah
harang, batukang mamburuh, sabarataan sudah
pernah kugawi.
Ibaratnya usaha sudah cukup sugih aja lagi
yang balum”. (“Kalau aku
semua pekerjaan sudah kurasakan, berdagang,
menggergaji kayu,
menggergaji di air, mencari ikan, menebang
kayu galam, membuat
arang, menjadi tukang dan buruh, semuanya
sudah pernah
kukerjakan. Ibarat usaha sudah cukup, Cuma
kaya saja yang belum
dirasakan”)
Meskipun demikian, kita tidak menapikan adanya
perbedaan karakter
diantara masyarakat petani pada berbagai lahan
lebak yang berbeda,
walaupun mereka tinggal dalam lingkungan
ekologi yang hampir sama.
Menurut Vogt dan O’dea (1996) perbedaan ini
dapat terjadi karena adanya
perbedaan latar belakang sejarah pemukiman dan
peranan pranata sosial
yang berkembang. Terdapat kesulitan untuk
membandingkan latar belakang
sejarah pemukiman di lahan lebak karena tidak
tersedianya literatur yang
memadai untuk kepentingan analisis data.
Untuk menganalisis karakter petani yang
bermukim di lahan lebak kita
dapat membandingkannya dari kriteria yang
digunakan oleh Robert Redfield
yang disebutnya gaya hidup petani dan kriteria
Ruth F. Benedict yang kita
asumsikan sebagai watak apolonian.
Perbandingan sikap/nilai beberapa
masyarakat yang bermukim di lahan lebak
tergambar dalam tabel berikut ini:
44
Kriteria (Sikap/nilai)
Lokasi lahan lebak
Negara Mentaas Tapus Dalam Bararawa
Kriteria Gaya Hidup Petani:
Praktis dan bermanfaat
+
+
+
+
Menonjolkan perasaan
-
+
+
-
Mengutamakan kesejahteraan
+
+
+
+
Menghargai prokreasi
+/-
+/-
+/-
+/-
Mendambakan kekayaan
+
+
+
+
Menghubungkan pekerjaan
dengan keadilan sosial
+/-
+/-
+/-
+
Konservatif
-
+
+
-
Potlach
+
+
+
-
Passive resistance
-
-
+
-
Kriteria Apollonian:
Introversi
-
-
+
-
Rapi
+
-
-
+
Dapat menahan diri
+
-
+
+
Menghindari ketegangan
+
-
+
+
Gemar gotong royong
+/-
-
-
+
Taat pada peraturan
+
-
-
+
Ritual yang tenang
+
+
+
+
Sumber : Rafieq dan Noorginayuwati (2004)
Tabel di atas memperlihatkan bahwa gaya hidup
petani masih
mewarnai karakter dari masyarakat yang tinggal
di lahan lebak. Petani
Negara dan Bararawa sudah mengalami perubahan
karakter, dimana
mereka cenderung lebih rasional, progresif dan
asertif. Meskipun demikian
masih ada perbedaaan antara keduanya dimana
petani Bararawa tampak
lebih rasional dimana mereka sudah mampu
menghindari sikap suka pamer
(potlatch).
Apabila kriteria yang dikemukakan oleh Ruth
Benedict yang
digunakan, pada tabel terlihat bahwa petani
Negara dan Bararawa tidak lagi
tampak introvert dan mereka memiliki tipe
ideal untuk dapat berperan dalam
proses pembangunan yang partisipatif. Petani
di Tapus Dalam cenderung
tampak introvert, tidak rapi, tidak suka
bergotong royong dan kurang taat
pada peraturan, namun mereka telah dapat
menahan diri dan menghindari
ketegangan. Petani yang bermukim di Mentaas
cenderung tampak
ekstrovert, tidak rapi, tidak dapat menahan
diri, tidak berusaha menghindari
ketegangan, tidak suka bergotong royong dan
tidak taat pada peraturan.
Selama berinteraksi dengan petani di lahan
lebak, jarang sekali
petani di Negara dan Bararawa yang menanyakan
bantuan dana
untukpengembangan usahanya. Mereka bahkan
bersedia mengeluarkan
dana untuk kegiatan yang bermanfaat bagi
pengembangan usahatani
mereka. Kondisi yang berlawanan ditemukan pada
petani di Tapus Dalam
dan Mentaas, mereka akan langsung
menghubungkan petugas pertanian
45
yang berkunjung ke daerahnya dengan proyek
pertanian dan berharap
mendapatkan bantuan untuk modal usaha.
Karakteristik petani ini dapat dimanfaatkan,
terutama dalam memilah
program pertanian yang akan diintroduksikan
serta pendekatan yang akan
dikembangkan. Masyarakat petani yang taat pada
peraturan dan memiliki
sikap kegotongroyongan yang tinggi,
menghindari ketegangan dan dapat
menahan diri akan lebih mudah bekerja sama dan
dapat mengelola program
percepatan dengan insentif dana bergulir.
Sebaliknya pada masyarakat
petani yang tidak taat pada peraturan,
cenderung menyukai ketegangan dan
tidak dapat menahan diri.
Teknologi kearifan lokal petani lahan lebak
mengenai peramalan
perubahan iklim, topografi, kesuburan tanah
dan pengelolaannya dapat
dimanfaatkan dengan melibatkan mereka sejak
tahap perencanaan program
pembangunan pertanian. Pengetahuan petani
mengenai topografi lahan
lebak dan kesuburan tanah menentukan pola
usaha tani dan skala usaha
yang mereka kembangkan. Petani sudah
mengetahui bahwa tanah yang
rendah dengan humus yang tipis tidak sesuai
untuk tanaman semangka atau
kacang tanah. Apabila diperhatikan penyebaran
sentra-sentra produksi
palawija dan hortikultura di Negara
memperlihatkan perbedaan dan
kesamaan topografi dan kesuburan tanah. Petani
di Desa Pakan Dalam
tidak akan menanam semangka dalam skala luas
karena mereka
mengetahui tanahnya rendah dan kandungan
humusnya tidak cocok untuk
tanaman semangka.
Pemerintah dapat membantu petani lahan lebak
melalui penyediaan
infrastruktur yang tidak dapat disediakan
secara swadaya oleh masyarakat.
Walaupun demikian perencanaan dan pembuatannya
hendaknya dapat
melibatkan petani dengan memanfaatkan
pengetahuan lokal yang mereka
miliki. Hal ini disebabkan mereka lebih
mengetahui beragam kendala antar
wilayah akibat beragamnya tipologilahan dan
kondisi sosial, budaya dan
ekonomi mereka. Pemerintah juga dapat
mendorong berkembangnya
institusi pedesaan yang dapat menjamin
berkembangnya teknologi kearifan
lokal masyarakat, seperti kelembagaan Kepala
Padang yang sekarang sudah
mulai menghilang.
PENUTUP
Masyarakat yang tinggal di lahan rawa
merupakan pekerja keras
yang ulet dan kreatif. Karakter ini tidak
hanya ditempa oleh pengalaman
sejarah mereka tetapi juga oleh lingkungan
fisik lahan lebak yang marginal.
Mengembangkan pertanian di lahan lebak yang
penuh dengan resiko
menuntut mereka untuk berusaha dengan penuh
perhitungan dan berani
menanggung resiko. Terbatasnya kesempatan
mereka karena
ketergantungan pada iklim menuntun mereka
untuk berspekulasi dengan
46
mengembangkan usaha dalam skala luas. Sikap
ini tidak hanya mereka
tunjukkan ketika mengembangkan usaha pertanian
tetapi juga pada usaha-
usaha lain yang kemudian mereka kerjakan.
Tentu saja resiko ini baru
berani dijalani setelah mereka memperoleh
jaminan keamanan pangan, yaitu
tersedianya padi untuk masa satu musim tanam.
Pengetahuan mengenai karakteristik sosial
budaya dan Teknologi
kearifan lokal petani di lahan lebak dapat
dimanfaatkan dalam
pengembangan lahan lebak untuk kegiatan
pertanian. Strategi yang
dikembangkan penduduk dalam bertahan di lahan
lebak ini merupakan hasil
dari serangkaian tindakan penyesuaian dan
respon yang berurutan terhadap
kondisi-kondisi alam yang seringkali tidak
terduga sebelumnya. Upaya untuk
selalu memodifikasi strategi yang telah
dikembangkan, merupakan bagian
sentaral dari strategi penduduk untuk bertahan
hidup. Begitu pula upaya
mereka untuk belajar dari kesalahan, dari
konsekuensi-konskuensi yang
tidakterduga dan fenomena-fenomena yang tidak
diketahui bakal dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., Sudarman K dan Suriadikarta,
D.A. 1998. Potensi dan
Kendala Pengembangan Usaha Pertanian di Lahan
Rawa Kalimantan
dalam Prosiding
Lokakarya Strategi Pembanagunan Pertanian Wilayah
Kalimantan. Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertaanian
Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
Budiman, A. 1996. Teori Pembangunan Dunia
ketiga, Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Lovelace, G. W. 1984. Cultural Beliefs and the
Management of
Agroecosystem dalam Rambo, A.T. dan Sajise,
P.E. (ed.). An
Introduction ti Human Ecology Research on
Agricultural Suystem in
Southeast Asia. University of the Philippines.
Los banos.
Rakhmat, J. 1988. Psikologi Komunikasi. Edisi
Revisi. Remaja Karya.
Bandung.STUDI TERHADAP KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN LEBAKUNTUK PERTANIAN DI
KALIMANTAN SELATAN
BAB I
PENDAHULUAN
Lahan rawa semakin penting peranannya dalam
upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan
lainnya, mengingat semakin menciutnya lahan subur di Jawa akibatpenggunaannya
untuk perumahan dan keperluan non pertanian lainnya.
Potensi lahan rawa lebak di seluruh Indonesia
mencapai 14 juta hektar,terdiri dari rawa lebak dangkal seluas 4.166.000 ha,
lebak tengahan seluas6.076.000 ha dan lebak dalam seluas 3.039.000 ha (Widjaja
Adhi, et al.,1998).
Potensi
lahan rawa lebak di Kalimantan diperkirakan mencapai6.960.050 ha (Adimihardja
et al, 1999). Sebagian besar lahan lebak inibelum dimanfaatkan untuk usaha
pertanian sehingga potensipengembangannya masih sangat besar.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Pemanfaatan lahan rawa untuk usaha pertanian
di KalimantanSelatan dan Kalimantan Tengah diperkirakan telah dilakukan sejak
200tahun yang lalu. Meskipun pemanfaatan lahan rawa di Kalimantan sudahcukup
lama, belum semua lahan rawa di Kalimantan termanfaatkan. Dari4.757.000 ha
lahan rawa di Kalimantan yang dinyatakan sesuai untuk usahapertanian, baru
2,170.000 ha yang termanfaatkan. Produktivitas tanaman
pangan di daerah rawa yang sudah dibuka
tersebut pada saat ini relatifmasih rendah jika dibandingkan dengan
produktivitas di lahan beririgasi(Sabran et al, 1999).
Menurut Adimihardja
et al, (1998) pemanfaatan lahan rawa untukusaha pertanian hendaknya
memperhatikan faktor-faktor fisik dan lingkunganyang dapat menjadi kendala
dalam pengembangan usaha pertanian (Faktor-faktor tersebut meliputi:
a) lama dan kedalaman genangan air banjir
serta
kualitas air,
b) ketebalan gambut, kandungan hara dan
tingkat kematangan
gambut,
c) kedalaman lapisan pirit serta kemasaman
setiap lapisan
tanahnya.
Pada era otonomi daerah pendekatan pembangunan
pertanianmengalami reorientasi dari pendekatan yang berbasis sumberdaya
menjadipendekatan yang berbasis masyarakat (community based
development).Pembangunan pertanian berbasis kemasyarakatan ini dilaksanakan
melaluipendekatan: investasi lebih ditujukan pada sumberdaya manusia
danpeningkatan kapasitas, berorientasi pada partisipasi masyarakat,pemanfaatan
sumberdaya alam secara berkelanjutan untuk jangka panjangdengan pendekatan
menolong diri sendiri dengan penentuan keputusan dankontrol berada pada
masyarakat. Melalui pendekatan ini, arah pelaksanaanpenelitian dan pengkajian
serta diseminasi teknologi pertanian diarahkanpada pendekatan dari bawah (farmer-first),
dengan sasaran peningkatansumberdaya manusia dan pemberdayaan petani, serta
model penelitian danpengkajian yang tidak ilmiah semata, namun juga
memperhatikan fenomenaalam,sosial ekonomi, interaktif serta penghargaan
terhadap teknologi lokal(indegenous technology) yang terintegrasi
(Sulaiman, 2000).
Reorientasi pendekatan pembangunan pertanian
ini merupakankoreksi terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian selama ini.
MenurutLovelace (1984), berbagai masalah yang ditumbulkan oleh
program-programpembangunan berakar pada terbatasnya pemahaman terhadap
sumberdayaalam dan manusia yang kita usahakan untuk diperbaiki dan digunakan,
sertapada pemaksaan terhadap pola dan teknologi baru pada ekosistem yangsangat
tidak sesuai bagi pengembangannya. Teknologi baru seringkali
sulitdikonseptualisasikan, dipahami dan disatukan dalam kerangka
tradisionalsehingga pada akhirnya teknologi baru tersebut ditolak, atau
kalaupunditerima tidak layak untuk digunakan.
Kearifan budaya suatu masyarakat merupakan
kumpulanpengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan
suatukelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama suatu kurunwaktu
yang lama. Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentanganggapan
masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitaandengan struktur
lingkungan; bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana
reaksi alam terhadap tindakan-tindakan
manusia; serta hubungan-hubungan(yang sebaiknya tercipta) antara manausia
(masyarakat) dengan lingkunganalamnya (Zakaria, 1994).
Terminologi pengetahuan lokal sebagai kearifan
budaya suatumasyarakat digunakan untuk pengetahuan yang dihasilkan dan
diwariskanmasyarakat sepanjang waktu sebagai upaya untuk beradaptasi
denganlingkungan agroekologi dan sosial ekonominya (Fernandez dalam
Schneider,1995).
Pengetahuan lokal merupakan refleksi dan
kebudayaan masyarakatsetempat. Konsep tersebut merupakan ungkapan kebudayaan
yang khas,
yang terkandung di dalamnya tata nilai,
estetika, norma, aturan danketerampilan dari suatu masyarakat dalam memenuhi
tantangan hidupnya(Adimihardja, 1998).
Penelitian pengetahuan lokal bukanlah hal
baru, para Etnobiologis dan Antropologtelah mempelajari dan mendokumentasikannya dengan
mengunakanmetode-metode pengamatan terlibat, wawancara dengan
informan-informankunci, wawancara-wawancara informal, menyusun taksonomi dan
lain-lain(Mathias dalam Schneider, 1995). Identifikasi
terhadap sistem pengetahuandan teknologi lokal dapat memberikan gambaran yang
jelas mengenaikearifan budaya dalam mendayagunakan sumberdaya alam, ekonomi
dansosial secara bijaksana dengan tetap mengacu pada pemeliharaan
keseimbangan lingkungan.
Lahan lebak di Kalimantan Selatan tersebar di
beberapa kecamatandalam wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu
Sungai Tengahdan Hulu Sungai Utara. Wilayah ini dihuni oleh sekitar 250.000
jiwapenduduk yang memanfaatkan lahan rawa secara optimal. Sebagian
besarpenduduk di lahan lebak bergelut di sektor pertanian secara luas,
yaitusebagai penangkap ikan, petani hortikultura, padi dan palawija serta
beternak itik dan kerbau. Sebagian lainnya
bergerak di sektor perdagangan,kerajinan dan jasa yang hampir seluruhnya
berhubungan erat denganpemanfaatan sumberdaya lahan lebak.Pada mulanya wilayah
lahan lebak ini hanya dijadikan sebagai tempat
tinggal sementara para penebang kayu dan
pencari ikan. Semakin lamakomunitasnya semakin bertambah banyak, sementara kayu
yang ditebangmulai berkurang sehingga masyarakat berupaya untuk memenuhi kebutuhanhidupnya
dengan mencoba menanam padi dan mengembangkan berbagaiketerampilan. Semakin
lama mereka semakin memahami fenomena lahanrawa sehingga mampu mengembangkan
beragam komoditas pertanian.
Dalam berinteraksi dengan alam mereka tidak
berupaya untuk menguasaiatau melawannya tetapi berusaha untuk menyesuaikan
dengan dinamikalahan rawa.
Petani di lahan lebak umumnya mengusahakan
tanaman padi,jagung, kacang tanah, kacang negara, umbi-umbian, kacang panjang,
labudan semangka. Sebagian juga bekerja sebagai pencari ikan, baik padamusim
basah maupun musim kering. Sebagian lagi memelihara ikan dalamkaramba serta
memelihara ternak ayam, itik dan kerbau rawa. Beberapa
Usahatani padi yang dikembangkan di lahan rawa
sebagian terbesarmerupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian
besarhanya bertanam sekali setahun pada musim kering (banih rintak)
dansebagian kecil dapat bertanam dua kali dalam setahun (banih surung
danbanih rintak). Mereka yang bertanam dua kali setahun umumnya
sawahnyaberkisar antara 10 – 20 borongan (0,3 – 0,6 ha) dengan produktivitassebesar 3,5
ton/ha. Petani di Negara selalu menanam padi rintak setiap
tahun sedangkan padi surung tergantung pada
keadaan air. Penanamanpadi rintak paling sedikit seluas 0,3 ha sedangkan padi
surung paling sedikitsetiap keluarga menanam 0,6 ha. Pada daerah yang dapat
ditanami padisekali dalam setahun, luas tanam setiap keluarga mencapai
rata-rata 1 hapermusim dengan produktivitas mencapai 4,2 ton perhektar.
Masalah yang ada
Petani di Desa Mentaas tidak dapat memperluas
lahan penanamanjagung karena harus berkompetisi dengan tanaman padi, walaupun
merekamengetahui tanahnya juga cocok untuk tanaman jagung. Perluasan
lahanpertanian di Desa Mentaas terhambat oleh adanya peternakan kerbau rawadi
sekeliling areal pertanaman mereka. Petani di Desa Pakan Dalam danTapus dalam
tidak dapat memperluas areal penanaman padinya karenasempitnya waktu tanam
sehingga mereka kewalahan melakukan penyiangan rumput. Adanya gangguan ekologis akibat mewabahnya
hama keong mas(kalambuai) membuat petani tidak dapat lagi menanam padi
ketika air masihagak dalam, akibatnya begitu air surut padi masih kecil dan
tumbuh bersaingdengan rumput.
Perhitungan Biaya Produksi
Setiap habis panen petani akan memperkirakan
kebutuhan konsumsipadi selama satu tahun, termasuk untuk kegiatan keagamaan.
Berdasarkanperkiraan ini mereka akan menyimpan sebagian gabahnya dan
menjualsisanya untuk memenuhi sebagian biaya hidup dan membayar hutang
untukkeperluan pemenuhan input produksi. Kontribusi dari usahatani padi ini
tidakterlalu besar bagi pendapatan rumah tangga petani, walaupun demikianmereka
telah merasa aman apabila mempunyai persediaan padi yangmencukupi untuk
kebutuhan selama satu tahun.
Sumber pendapatan utama
Sumbangan pendapatan yang agak besar diperoleh
petani dariusahatani palawija dan hortikultura. Bagi orang Negara, usahatani
padihanya merupakan usaha sampingan. Sumber pendapatan utama merekaterutama
dari bahuma kemarau, yaitu dari usahatani jagung, labu,semangka,
kacang negara, kacang tanah dan ubi. Setiap keluarga
mengusahakan tanaman hortikultura dan palawija
ini paling sedikit seluas 1ha. Tanaman palawija dan hortikultura kurang
berkembang di daerahMentaas dan Tapus Dalam yang lahannya agak datar. Dalam hal
ini, setiappeningkatan luas tanam palawija dan hortikultura akan mengurangi
luastanam padi.
Sumber pendapatan lain
Beberapa daerah pemukiman juga ada yang
mengandalkan
pendapatan rumah tangganya dari usaha
penangkapan ikan seperti di
Muning (Negara), Mentaas (Sungai Buluh) dan
Tapus Dalam (Sungai
Pandan). Pada musim kemarau mereka lebih mudah
melakukan
penangkapan tetapi selang waktunya hanya
sebentar. Pada musim basah
mereka dapat melakukan penangkapan setiap
hari, baik siang maupun
malam. Apabila petani hortikultura dan
palawija lebih menyukai musim kering
karena mereka berusaha di darat, petani yang
menggantungkan hidupnya
dari penangkapan ikan lebih menyukai berusaha
di air. Pada saat air dalam
setiap orang mampu mengumpulkan paling sedikit
10 kg ikan sehari dari
perairan umum lahan lebak yang luas. Pada masa
puncak penangkapan,
33
daerah Mentaas mampu menghasilkan ikan hingga
5 ton ikan sehari. Ikan ini
dijual kepada pedagang perantara (pembelantik)
di Desa Mentaas, baik
dalam keadaan segar maupun sudah diolah
menjadi ikan asin.
Pada beberapa daerah yang dilalui sungai
besar, petani memelihara
ikan dalam karamba seperti di daerah Danau
Panggang. Ikan yang
dipelihara terutama ikan tauman yang
tergolong mudah pemeliharaannya
karena dapat memanfaatkan pakan yang tersedia
melimpah di lahan rawa,
seperti keong mas (kalambuai) dan
ikan-ikan kecil. Sebagian lagi memelihara
ternak itik dan ayam seperti petani di Sungai
Pandan dan Telaga Silaba
serta memelihara kerbau rawa seperti petani di
Mentaas dan Danau
Panggang.
Pada saat musim hujan, warga masyarakat yang
bertani di darat
sudah tidak mempunyai kesibukan lagi. Biasanya
bagi yang masih muda
mereka akan merantau1 ke luar daerah
untuk bekerja di berbagai pekerja
industri, tukang dan ada pula yang berdagang
atau berkebun. Bagi yang tua
tetap tinggal di desa dan masih bekerja
menangkap ikan (maringgi) atau
pada industri kecil di desa seperti membuat
gagang sikat, hulu parang dan
lain-lain.
KEARIFAN LOKAL PETANI LAHAN LEBAK
Teknologi kearifan lokal yang petani di lahan
lebak berkembang
berdasarkan pentingnya sesuatu hal itu menurut
wacana kebudayaan
penduduk setempat serta kemudahan dalam
melakukan pengamatan.
Berdasarkan kedua prinsip itu petani lahan
lebak di Kalimantan Selatan
mengembangkan pengetahuan lokal dalam
prioritas yang berbeda. Bagi
orang Negara yang mementingkan bahuma di
darat, maka musim kering
merupakan sesuatu yang penting bagi mereka,
maka pengetahuan
mengenai peramalan datangnya musim kering juga
menjadi hal yang penting
bagi mereka. Sebaliknya bagi penangkap ikan di
Mentaas dan Tapus
Dalam, saat lahan rawa tergenang merupakan
masa yang penting bagi
mereka sehingga pengetahuan mengenai peramalan
datangnya hujan dan
tergenangnya tanah menjadi penting pula bagi
mereka.
Menurut Noorginayuwati et al, (2005)
bagi petani di lahan basah,
kedatangan musim kering merupakan suatu yang
penting dan bermakna.
Hal ini ditandai dengan banyaknya gejala alam
yang berhubungan dengan
musim kering. Gejala alam yang menjadi
pertanda musim kering
diantaranya:
1. Apabila ikan-ikan mulai pergi meninggalkan
kawasan lahan lebak (turun)
menuju sungai merupakan pertanda akan
datangnya musim kering.
Gejala alam ini biasanya terjadi pada bulan
April atau Mei. Menurut
1 Pergi merantau bagi orang Mentaas dan
Tapus Dalam disebut madam atau tulak jauh, bagi
orang Negara disebut tulak, madam bagi orang
Negara berarti pergi ke pahumaan (ladang).
34
warga pada saat ini suhu air di lahan lebak
sudah meningkat dan ikan
turun untuk mencari daerah yang berair dalam.
2. Apabila ketinggian air semakin menyusut
tetapi masih ada ikan saluang
yang bertahan maka menunjukkan bahwa lahan
lebak masih tidak akan
kekeringan. Biasanya masih akan ada air
sehingga kedalaman air di
lahan lebak kembali meningkat, baik sebagai
akibat dari turunnya hujan
di lahan lebak maupun dari kiriman air di
dataran tinggi yang mengalir
melalui beberapa anak sungai.
3. Bintang Karantika muncul di ufuk barat pada
senja hari hingga sesudah
waktu maghrib menandakan air di lahan lebak
akan mulai kering.
Bintang Karantika ini merupakan suatu gugusan
bintangyang
susunannya bergerombol (bagumpal)2.
Petani di Desa Pakan Dalam
Kecamatan Daha Utara kabupaten Hulu Sungai
Selatan mengatakan
gugus bintang ini jumlahnya ada 9 buah, kadang
kala hanya terlihat 8
buah. Petani di Desa Tambangan Kecamatan Daha
Selatan (Kabupaten
HSS) dan Desa Mentaas Kecamatan Labuan Amas
Utara (Kabupaten
HST) dan Desa Tapus Dalam Kecamatan Sungai
Pandan (Kabupaten
HSU) mengatakan jumlahnya ada 6 buah3.
Kemunculan bintang ini di
ufuk barat merupakan peringatan kepada petani
untuk segera melakukan
penyemaian benih tanaman padi (manaradak).
Saat kemunculan bintang
ini hingga 20 hari kemudian dianggap merupakan
waktu yang ideal untuk
melakukan penyemaian benih padi. Apabila telah
lewat dari waktu
tersebut maka petani akan terlambat memulai
usahatani padinya dan
diperkirakan padi di pertanaman tidak akan
sempat memperoleh waktu
yang cukup untuk memperoleh air.
4. Bintang Baur Bilah yang muncul 20 hari
kemudian di sebelah barat juga
dijadikan pertanda bagi datangnya musim kering
dan dijadikan patokan
dalam memperkirakan lama tidaknya musim
kering. Baur Bilah adalah
tiga buah bintang yang bersusun sejajar. Bagi
petani Desa Pakan Dalam
ketiganya tersusun miring vertikal. Bagi
petani di Desa Tambangan,
Mentaas dan Tapus Dalam susunannya miring agak
horizontal. Bagi
petani di Desa Pakan Dalam, lama tidaknya
musim kering ditunjukkan
oleh cahaya bintang mana yang paling terang
diantara ketiganya.
Apabila bintang yang paling terang adalah
bintang yang terletak paling
atas maka musim kering akan berlangsung lama (kancang
panasnya).
Sebaliknya bila yang paling terang adalah
bintang yang paling bawah,
maka musim kering diperkirakan tidak akan
berlangsung lama. Apabila
2 Bintang Karantika juga menjadi pedoman
bagi pertani peladang berpindah di Pegunungan
Meratus. Mereka menggunakannya sebagai pedoman
untuk menentukan datangnya musim
hujan sebagai awal bagi mereka untuk melakukan
penanaman padi (menugal).
3 Diriwayatkan dalam cerita rakyat,
sebelumnya jumlahnya ada 7 buah bintang, sebuah
bintang kemudian jatuh ke negeri Bombay yang
disebutnya sebagai negeri siang, yaitu
negeri yang selalu terang benderang seolah
tidak mengenal malam.
35
yang paling terang adalah bintang yang di
tengah maka musim kering
tidak terlalu lama tetapi juga tidak terlalu
pendek (panangahan).
Bagi petani di Desa Tambangan terangnya cahaya
salah satu bintang
menunjukkan waktu teriknya (kancang)
musim kemarau. Apabila yang
terang bintang pertama yang paling kiri
berarti panas terik tanpa ada
hujan akan terjadi pada awal musim kemarau,
bila bintang yang di tengah
cahayanya paling terang maka pada awal dan
akhir musim kemarau
masih ada hujan, sementara panas terik di
pertengahan musim kemarau.
Apabila yang paling terang cahayanya bintang
yang paling kiri, maka
panas terik akan terjadi pada akhir musim
kemarau, persis seperti tahun
ini (2004).
*
*
U
*
*
*
*
Bagi petani di Desa Tambangan, jarak antara
kedua gugus bintang ini
juga akan menentukan lama tidaknya musim
kemarau. Apabila jaraknya
relatif berdekatan maka musim kemarau tidak
terlalu panjang, sebaliknya
apabila berjauhan maka merupakan ciri bahwa
musim kemarau akan
berlangsung lama.
5. Tingginya air pasang yang datang secara
bertahap juga menjadi ciri yang
menentukan lamanya musim kering. Apabila dalam
tiga kali kedatangan
air pasang (pasang-surut, pasang-surut dan
pasang kembali), ketinggian
air pasang pada tahapan pasang surut yang
ketiga lebih tinggi dari dua
pasang sebelumnya biasanya akan terjadi musim
kering yang panjang.
6. Ada juga yang melihat posisi antara
matahari dan bintang karantika.
Menurut petani di Tapus Dalam, apabila
matahari terbit agak ke sebelah
timur laut dibandingkan posisi karantika
berarti akan terjadi kemarau
panjang (landang).
7. Apabila burung putih seperti kuntul dan
sejenis bangau mulai meletakkan
telurnya di semak padang parupuk merupakan
tanda air akan menyurut
(rintak). Burung putih mengharapkan
setelah telurnya menetas air akan
surut sehingga anaknya mudah mencari mangsa
(ikan).
8. Ada pula petani yang meramalkan kemarau dengan
melihat gerak asap
(mamanduk). Apabila asap terlihat tegak
(cagat) agak lama berarti
kemarau akan panjang dan sebaliknya.
Ciri alam sebagai pertanda akan datangnya air
di lahan lebak yang
diinformasikan oleh petani meliputi:
36
1. Munculnya fenomena alam yang disebut Kapat,
yaitu saat suhu udara
mencapai derajat tertinggi. Diceritakan, orang
yang mengetahui waktu
terjadinya kapat dapat menunjukkan bahwa air
yang diletakkan dalam
suatu tempat akan memuai. Kapat ini biasanya
mengikuti kalender
syamsiah (masehi) dan terjadi pada awal bulan
Oktober. Empat puluh
hari setelah terjadinya kapat maka biasanya
air di lahan lebak akan
dalam kembali (layap). Menurut petani
di Mantaas, kapat berarti bertemu
dengan hujan dan tidak lagi berharap panas.
2. Setelah terjadinya fenomena Kapat, akan
muncul fenomena alam lain
yang ditandai dengan berterbangannya suatu
benda yang oleh
masyarakat disebut benang-benang. Munculnya
benda putih menyerupai
benang-benang yang sangat lembut yang
berterbangan di udara dan
menyangkut di pepohonan dan tiang-tiang tingi
disebutkan sebagai
pertanda datangnya musim barat, yaitu tanda
akan dalamnya kembali air
di lahan lebak (layap). Fenomena alam
ini biasanya terjadi pada bulan
Oktober sampai Nopember.
3. Petani di Desa Tapus Dalam memperhatikan
pula pertanda tumbuhan
untuk memperkirakan datangnya air.
Apabila kumpai payung
(papayungan) yang tumbuh di tanah yang
agak tinggi mulai menguning
dan rebah maka pertanda air akan dalam (basurung).
Ada pula tumbuh-
tumbuhan yang disebut pacar
halang yang berbuah kecil seperti butir
jagung. Apabila buahnya memerah (masak) dan
mulai berjatuhan maka
air sudah mulai menggenangi lahan rawa.
Demikian pula tumbuhan yang
oleh petani di Mentaas disebut kakuding,
apabila tumbuhan ini berbunga
dan bunganya mulai jatuh berarti air akan
dalam. Demikian pula apabila
eceng gondok (ilung) mulai berbunga
maka air akan segera datang.
4. Untuk menentukan lama tidaknya musim basah,
petani menjadikan keladi
lumbu (gatal) sebagai indikator. Bila tanaman
ini mulai berbunga berarti
itulah saat pertengahan musim air dalam.
Apabila rumput pipisangan
daunnya bercahaya agak kuning maka pertanda
air akan lambat turun
(batarik).
5. Apabila ikan-ikan yang masih bisa ditemukan
di lahan lebak mulai
bertelur maka pertanda air akan datang (layap).
Menurut petani di Desa
Tambangan, biasanya terlebih dahulu ditandai
dengan hujan deras, lalu
ikan betok berloncatan (naik) melepaskan
telurnya, setelah itu akan
panas sekitar 40 hari lalu air akan datang dan
telur ikan akan menetas.
Selain pengetahuan yang berhubungan dengan
peramalan iklim,
petani di lahan lebak juga mempunyai
pengetahuan lokal mengenai
kesesuaian tanah dengan tanaman, baik ditinjau
dari ketinggiannya maupun
kandungan humus dan teksturnya. Mereka
menanami tanah yang tinggi
dengan semangka, jagung, kacang dan ubi
negara, tanah yang rendah
ditanami padi.
Bagi petani di lahan lebak, tanah bukaan baru
dan dekat hutan
umumnya dianggap sangat subur dan tidak masam,
tetapi bila banyak
tumbuh galam pertanda tanah itu masam. Bila di
batang tanaman tersisa
37
warna kekuning-kuningan bekas terendam air (tagar
banyu) merupakan
pertanda tanah masam. Apabila lahan ditumbuhi
oleh kumpai babulu dan
airnya berwarna kuning merupakan ciri tanah
masam. Tanah masam ini
masih dapat ditanami ubi negara, atau bila
ingin ditanami semangka mereka
melakukan pengapuran terlebih dahulu. Bila
telah ditanami beberapa kali
keasaman akan berkurang karena menurut mereka
sisa-sisa rumput yang
tumbuh dan mati menjadi humus. Apabila keasaman
tanah tidak bisa
ditingkatkan mereka akan meninggalkannya dan
menganggapnya sebagai
tanah yang tidak produktif (tanah bangking).
Tanah yang baik adalah tanah
yang tidak banyak ditumbuhi oleh jenis tanaman
liar (taung) seperti parupuk,
mengandung humus yang banyak dari pembusukan
kumpai serta
mempunyai aliran sungai yang dalam. Sungai ini
berfungsi untuk
pembuangan air masam sehingga sejak dahulu
petani membuat dan
memelihara ray yang dibuat setiap jarak 30
depa.
Keadaan lahan lebak oleh petani dibagi menurut
keadaan tinggi
rendahnya permukaan tanah sehingga dikenal
adanya petak rambah, petak
pematang, petak sedang dan petak mungkur.
Menurut petani di Negara,
semangka lebih menyukai tanah yang agak tinggi
dan rata dengan tanah
humus yang tebalnya sekitar satu hasta (tanah
gambung). Begitu juga
dengan kacang tanah. Ubi negara menyukai tanah
yang lembahnya sedang
dan humus tidak terlalu tebal. Sedangkan
jagung, lombok dan labu
menyukai petak mungkur dengan humus tipis dan
dekat dengan tanah liat.
Menurut petani di Negara tanaman-tanaman ini
memerlukan topangan yang
kuat bagi akarnya agar tidak mudah rebah.
Petani di lahan lebak membagi tanahnya kedalam
petak-petak yang
dibatasi dengan saluran air. Pada mulanya
saluran ini dikira dibuat oleh
orang-orang terdahulu hanya untuk mempermudah
transportasi dan
perangkap ikan pada musim kering. Ternyata
saluran ini berfungsi untuk
mengalirkan air yang masam dan air yang mati
akibat pembusukan sisa-sisa
tanaman. Mereka berusaha untuk hidup selaras
dengan alam dengan
berupaya mengikuti dinamika iklim dan
lingkungan. Petani tidak akan
menanam padi pada bulan Agustus atau September
mengingat semakin
berkurangnya ketersediaan air dan ancaman hama
tikus apabila panen pada
bulan Nopember. Untuk menyiasatinya petani
melakukan penanaman pada
bulan Mei hingga Juni dengan menggunakan padi
berumur pendek.
Pada masa lalu pengembangan dan penerapan
pengetahuan lokal ini
merupakan otoritas perangkat kampung yang
disebut Kepala Padang.
Kepala Padang biasanya orang yang mempunyai
pengetahuan yang luas
mengenai silsilah kepemilikan lahan dan
peramalan iklim. Ketentuan suatu
kampung memulai melakukan aktivitas pertanian
biasanya ditentukan oleh
Kepala Padang berdasarkan indikator gejala
alam yang diamatinya. Pada
saat ini sudah jarang desayang dilengkapi
perangkat Kepala Padang.
Pada saat ini petani di lahan lebak pada
umumnya masih
menggunakan gejala-gejala alam sebagai
indikator dalam meramalkan iklim
dan menentukan kesuburan tanah. Pengetahuan
ini mereka peroleh melalui
38
belajar dari orang tua mereka. Pengetahuan ini
terus diwariskan dari
generasi ke generasi selama mereka masih
menekuni usaha pertanian.
Pemuda di Desa Tambangan yang mengusahakan
semangka dan kacang
tanah telah menguasai dan menggunakan
pengetahuan lokal ini dalam
menjalankan usahanya. Sebaliknya pemuda di
Pakan Dalam yang tidak
tertarik lagi dengan sektor pertanian sudah
tidak lagi mengetahui mengenai
gejala alam yang menjadi indikator peramalan
iklim ini. Sebagian pemuda di
Mentaas masih mengetahui pengetahuan lokal
ini, walupun anak-anak yang
beranjak dewasa sudah tidak lagi terlibat
dalam usahatani padi. Mereka
lebih menyukai usaha penangkapan ikan karena
dapat memperoleh uang
secara tunai setiap hari.
PEMANFAATAN PENGETAHUAN LOKAL YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN PERAMALAN IKLIM DAN PASANG SURUT AIR
Pengetahuan lokal yang dikembangkan oleh
petani di lahan rawa
lebak Kalimantan Selatan pada umumnya
dikembangkan berdasarkan
pentingnya sesuatu hal menurut wacana
kebudayaan penduduk setempat
serta kemudahan bagi mereka dalam melakukan
pengamatan. Berdasarkan
kedua prinsip itu petani lahan rawa lebak di
Kalimantan Selatan
mengembangkan pengetahuan lokal dalam
prioritas yang berbeda. Bagi
orang Negara (Tambangan dan Pakan Dalam) yang
mementingkan bahuma
di darat, musim kering merupakan sesuatu yang
penting bagi mereka
sehingga pengetahuan mengenai peramalan
datangnya musim kering juga
menjadi hal yang penting bagi mereka.
Sebaliknya bagi penangkap ikan di
Mentaas dan Tapus Dalam, saat lahan rawa
tergenang merupakan masa
yang penting bagi mereka sehingga pengetahuan
mengenai peramalan
datangnya hujan dan tergenangnya tanah menjadi
penting pula bagi mereka.
Meskipun demikian, mengingat lahan rawa
sebagai lingkungan tempat
mereka hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya
identik dengan lingkungan
yang selalu basah, maka saat datangnya musim
kering umumnya menjadi
sangat penting dan bermakna pula bagi mereka.
Secara umum pengetahuan lokal mengenai
peramalan iklim dan
kedalaman genangan air yang dikembangkan oleh
petani lahan rawa lebak
di Kalimantan Selatan dihubungkan dengan
perubahan fisiologis tanaman
dan hewan, perilaku hewan, gejala alam dan
penggunaan media buatan.
Pengetahuan lokal yang dapat ditemukan pada
semua wilayah rawa lebak
pada lokasi penelitian pada Tabel 1.
Tabel 1. memperlihatkan perilaku hewan dan
tumbuh-tumbuhan
merupakan fenomena alam yang paling banyak
ragamnya yang dijadikan
petani sebagai pedoman dalam meramalkan
datangnya musim kering dan
musim basah. Perilaku ikan merupakan fenomena
alam yang dijadikan
sebagai pedoman dalam meramalkan datangnya
kedua musim di lahan
rawa lebak. Penggunaan perubahan perilaku ikan
sebagai indikator akan
39
terjadinya perubahan musim ini menjadi
pengetahuan yang umumnya
diketahui oleh petani pada semua lokasi penelitian.
Penggunaan fenomena alam bintang Karantika dan
bintang Baur
Bilah sebagai indikator terjadinya perubahan
musim pada lahan rawa lebak
dapat ditemukan di desa Tambangan (Daha
Selatan), Pakan Dalam (Daha
Utara), Mentaas (Labuan Amas Utara) dan Tapus
dalam (Sungai Pandan).
Sebagian petani juga memanfaatkan bintang
Karantika untuk meramalkan
datangnya musim kering dan musim basah di
lahan rawa lebak, akan tetapi
petani di lokasi penelitian umumnya hanya
menggunakannya dalam
meramalkan datangnya musim kering. Petani di
desa Tambangan dianggap
sangat ahli dalam melihat bintang Karantika
dan bintang Baur Bilah
sehingga kalender usahatani yang diterapkan
petani di Desa Tambangan
sebagian dijadikan pedoman oleh petani di
sekitarnya dalam berusahatani.
Petani di desa Tapus Dalam memiliki paling
banyak pengetahuan
mengenai tumbuhan lahan rawa lebak yang dapat
dijadikan indikator bagi
datangnya musim basah. Tabel 1 juga
memperlihatkan bahwa petani di
desa Mentaas dan Tapus Dalam yang lebih banyak
menggantungkan
hidupnya dari usaha penangkapan ikan
memanfatkan tumbuh-tumbuhan
sebagai indikator dalam peramalan iklim dan
pasang surutnya air di lahan
rawa lebak. Peramalan mengenai musim kemarau
dengan menggunakan
asap sebagai indikator hanya dimiliki oleh
petani di desa Tapus Dalam.
Petani di lahan lebak pada umumnya masih
menggunakan gejala-
gejala alam sebagai indikator dalam meramalkan
iklim dan menentukan
kesuburan tanah dalam usahatani mereka hingga
saat ini. Pengetahuan ini
mereka peroleh melalui belajar dari orang tua
mereka. Pengetahuan ini terus
diwariskan dari generasi ke generasi selama
mereka masih menekuni usaha
pertanian. Pemuda di desa Tambangan yang
mengusahakan semangka dan
kacang tanah telah menguasai dan menggunakan
pengetahuan lokal ini
dalam menjalankan usahanya. Sebaliknya pemuda
di desa Pakan Dalam
yang tidak tertarik lagi dengan sektor
pertanian sudah tidak lagi mengetahui
mengenai gejala alam yang menjadi indikator
peramalan iklim ini. Sebagian
pemuda di Mentaas masih mengetahui pengetahuan
lokal ini, walupun anak-
anak yang beranjak dewasa sudah tidak lagi
terlibat dalam usahatani padi.
Mereka lebih menyukai usaha penangkapan ikan
karena dapat memperoleh
uang secara tunai setiap hari.
Pada masa lalu pengembangan dan penerapan
pengetahuan lokal ini
merupakan otoritas perangkat kampung yang
disebut Kepala Padang.
Kepala Padang biasanya orang yang mempunyai pengetahuan yang luas
mengenai silsilah kepemilikan lahan dan
peramalan iklim. Ketentuan suatu
kampung memulai melakukan aktivitas pertanian
biasanya ditentukan oleh
Kepala Padang berdasarkan indikator gejala alam yang diamatinya. Pada
saat ini sudah jarang ditemukan desa-desa di
Kalimantan Selatan yang
dilengkapi dengan perangkat Kepala
Padang.
40
PERSEPSI PETANI TERHADAP FENONEMA ALAM YANG
BERHUBUNGAN DENGAN IKLIM DAN PASANG
SURUTNYA AIR
Pengetahuan mengenai gejala alam, perilaku
hewan, perubahan
fisiologis pada tumbuhan dan teknik-teknik
buatan manusia dalam
meramalkan iklim dan pasang surutnya air
umumnya dimiliki oleh petani di
lahan lebak. Walaupun demikian tidak semua
petani memahami atau
terampil dalam memanfaatkan pengetahuan
tersebut. Keterampilan ini
sangat tergantung pada umur dan pengalaman
mereka dalam berusahatani.
Tabel 1. Teknik peramalan iklim yang
dikembangkan petani di lahan lebak
Kalimantan Selatan
Teknik peramalan
Lokasi pengembangan / usahatani utama
Tambangan/
hortikultura
Pakan
Dalam/ Padi
Mentaas/Ikan
dan Padi
Tapus
Dalam/ Ikan
Musim kering
Perilaku Hewan:
- Ikan
- Burung
Gejala alam:
- Pasang-surut air
- Bintang Karantika
- Bintang Baur Bilah
Gerak asap
x
x
x
x
x
-
x
-
-
x
x
-
x
x
x
x
x
-
x
x
-
x
x
x
Musim basah
Perilaku Hewan:
- Ikan
Tumbuh-
tumbuhan:
- Kumpai Payung
- Pacar Halang
- Kakuding
- Eceng Gondok
- Keladi Lumbu
- Rumput
Pipisangan
Gejala Alam:
- Kapat
- Benang-benang
x
-
-
-
-
-
-
x
x
x
-
-
-
-
-
-
x
x
x
x
x
x
x
-
-
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Sumber : Noorginayuwati et al, (2005)
41
Pengetahuan petani mengenai fenomena alam yang
berhubungan
dengan peramalan iklim dan pasang surutnya air
mempunyai hubungan yang
positif dengan umur petani (Tabel 2). Dari
hasil wawancara di empat desa
yaitu, menunjukkan bahwa 94% responden yang
berumur ≤ 40 tahun tidak
memiliki pengetahuan lokal tentang fenomena
alam. Semakin tua umur
petani contoh (> 40 tahun) maka semakin
banyak petani yang memiliki
pengetahuan tentang fenomena alam tersebut. 44
% dari total responden
yang memiliki pengetahuan lokal berumur >
40 tahun. Hal ini erat pula
kaitannya dengan pengalaman bertani. Dari
hasil wawancara dengan
responden yang berumur > 40 tahun dan
memiliki pengetahuan lokal
mempunyai pengalaman berusahatani rata-rata
> 20 tahun, sedangkan
responden yang berumur > 40 tahun tetapi
tidak memiliki pengetahuan lokal,
mempunyai pengalaman bertani < 20 tahun.
Dan dari total responden, 46 %
memiliki pengetahuan lokal tentang fenomena
alam dan 54 % tidak memiliki.
Dari keadaan ini terlihat bahwa pengetahuan
lokal ini perlu dilestarikan,
karena pada saatnya petani yang tua-tua akan
tiada dan pada saat itulah
pengetahuan tersebut akan hilang.
Untuk melihat apakah pengetahuan tersebut
memang perlu
dilestarikan maka perlu dilihat persepsi
petani terhadap karakteristik
fenomena alam tersebut. Menurut Rakhmat (1988)
persepsi petani adalah
tanggapan atau gambaran yang ada dalam pikiran
seseorang mengenai
suatu objek atau informasi yang diterimanya,
dan persepsi tiap orang
terhadap suatu objek yang sama tidak selalu
sama. Persepsi seseorang
dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor
situasionalnya, dan suatu inovasi
akan diadopsi oleh petani apabila petani
mempunyai persepsi yang baik
terhadap inovasi tersebut.
Tabel 2. Jumlah petani contoh yang memiliki
pengetahuan tentang fenomena
alam di 4 desa di Kabupaten HSS, HST dan HSU
Kalsel, 2004
Fenomena alam
Jumlah responden (%)
Umur ≤ 40 tahun
Umur > 40 tahun
Tahu
Tidak tahu
Tahu
Tidak tahu
1. Bintang karantika
0
35
50
15
2. Bintang haur bilah
0
35
50
15
3. Kapat
0
35
50
15
4. Hewan
5
33
24
38
5. Tumbuhan
5
33
48
14
Rata-rata
2
34
44
20
Sumber : Noorginayuwati et al, (2005)
Persepsi petani terhadap karakteristik tentang
fenomena alam diukur
dengan mengembangkan beberapa pertanyaan yang
dinilai responden,
menggunakan skala peringkat dengan kisaran 1
(tertinggi) sampai 5
42
(terendah). Penentuan karakteristik fenomena
alam yang ingin diketahui
ditentukan berdasarkan wawancara pendahuluan
dengan petani.
Rata-rata skor persepsi responden yang
ditampilkan pada Tabel 3
menunjukkan bahwa responden mempunyai persepsi
yang baik terhadap
pengetahuan fenomena alam dengan nilai
rata-rata 2,16. Hal ini berarti
responden setuju dengan karakteristik
pengetahuan lokal tersebut. Nilai
tertinggi 1,4 ditunjukkan oleh waktu ideal
penyemaian tanaman, yang berarti
responden sangat setuju bahwa dengan
mengetahui fenomena alam akan
dapat menentukan waktu yang ideal untuk mulai
penyemaian tanaman.
Selanjutnya dengan mengetahui fenomena alam
maka lahan pertanaman
tidak akan kekeringan, menanam tepat waktu dan
dapat ditentukan bahwa
air di lahan lebak akan dalam kembali. Dengan
tanda-tanda air akan dalam
kembali maka petani ikan mulai mempersiapkan
alat tangkap ikan dan alat
untuk memelihara ikan seperti karamba.
Petani di lahan lebak umumnya mengetahui
mengenai gejala alam
bintang karantika, bintang baur
bilah dan kapat. Mereka juga meyakini
keakuratan dari gejala alam tersebut. Hasil
wawancara dengan responden
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan lokal
tentang keadaan iklim dan
pasang surutnya air cukup akurat dengan apa
yang akan terjadi, karena dari
total responden, 95 % menyatakan akurat dan
hanya 5 % menyatakan
kadang-kadang akurat. Walaupun demikian, tidak
semua petani yang
mengetahui tentang gejala alam tersebut dapat
menerangkan bagaimana
bentuk, susunan, kejadian dan waktu terjadinya
gejala-gejala alam tersebut.
Mereka akan mengetahui apabila gejala-gejala
alam sedang terjadi melalui
petani-petani yang telah berpengalaman.
Berdasarkan informasi tadi mereka
kemudian membuat perencanaan usahataninya,
seperti kapan mulai
melakukan penyemaian atau mempersiapkan alat
tangkap ikan.
Tabel 3. Rata-rata skor persepsi responden
terhadap pengetahuan lokal
tentang iklim dan pasang surutnya air di 4
desa di Kabupatan
HSS, HST dan HSU, Kalsel Tahun 2004
Karakteristik pengetahuan lokal
Rata-rata skor petani
1. Menanam tepat waktu
2,1
2. dapat menentukan awal musim kering
2,5
3. Menentukan kemarau panjang
2,2
4. Lahan pertanaman tidak kekeringan
1,5
5. Waktu ideal penyemaian
1,4
6. Pasang surutnya air
2,5
7. Pertanda akan ada ulat grayak
3,0
8. Menentukan akan dalamnya kembali air
2,1
Rata-rata
2,16
Sumber : Noorginayuwati et al, (2005)
43
PEMANFAATAN KARAKTERISTIK SUSIAL BUDAYA DAN
PENGETAHUAN LOKAL
Masyarakat yang tinggal di lahan rawa
merupakan pekerja keras
yang ulet dan kreatif. Karakter ini tidak
hanya ditempa oleh pengalaman
sejarah mereka tetapi juga oleh lingkungan
fisik lahan lebak yang marginal.
Mengembangkan pertanian di lahan lebak yang
penuh dengan resiko
menuntut mereka untuk berusaha dengan penuh
perhitungan dan berani
menanggung resiko. Terbatasnya kesempatan
mereka karena
ketergantungan pada iklim menuntun mereka
untuk berspekulasi dengan
mengembangkan usaha dalam skala luas. Sikap
ini tidak hanya mereka
tunjukkan ketika mengembangkan usaha pertanian
tetapi juga pada usaha-
usaha lain yang kemudian mereka kerjakan.
Tentu saja resiko ini baru
berani dijalani setelah mereka memperoleh
jaminan keamanan pangan, yaitu
tersedianya padi untuk masa satu musim tanam.
Apabila dihubungkan dengan pendapat
McCleland dalam Budiman
(1996), petani di lahan lebak sebenarnya
mempunyai potensi untuk dapat
meningkatkan n-Ach mereka. Sebegai pekerja
keras petani di lahan lebak
terus berupaya untuk memperbaiki kehidupan.
Seorang petani di Negara
mengatakan:
“Mun aku ini sabarataan gawian rasanya
sudah kurasai, badagang,
menyayat, membelah di banyu, maiwak,
batabang galam, baulah
harang, batukang mamburuh, sabarataan sudah
pernah kugawi.
Ibaratnya usaha sudah cukup sugih aja lagi
yang balum”. (“Kalau aku
semua pekerjaan sudah kurasakan, berdagang,
menggergaji kayu,
menggergaji di air, mencari ikan, menebang
kayu galam, membuat
arang, menjadi tukang dan buruh, semuanya
sudah pernah
kukerjakan. Ibarat usaha sudah cukup, Cuma
kaya saja yang belum
dirasakan”)
Meskipun demikian, kita tidak menapikan adanya
perbedaan karakter
diantara masyarakat petani pada berbagai lahan
lebak yang berbeda,
walaupun mereka tinggal dalam lingkungan
ekologi yang hampir sama.
Menurut Vogt dan O’dea (1996) perbedaan ini
dapat terjadi karena adanya
perbedaan latar belakang sejarah pemukiman dan
peranan pranata sosial
yang berkembang. Terdapat kesulitan untuk
membandingkan latar belakang
sejarah pemukiman di lahan lebak karena tidak
tersedianya literatur yang
memadai untuk kepentingan analisis data.
Untuk menganalisis karakter petani yang
bermukim di lahan lebak kita
dapat membandingkannya dari kriteria yang
digunakan oleh Robert Redfield
yang disebutnya gaya hidup petani dan kriteria
Ruth F. Benedict yang kita
asumsikan sebagai watak apolonian.
Perbandingan sikap/nilai beberapa
masyarakat yang bermukim di lahan lebak
tergambar dalam tabel berikut ini:
44
Kriteria (Sikap/nilai)
Lokasi lahan lebak
Negara Mentaas Tapus Dalam Bararawa
Kriteria Gaya Hidup Petani:
Praktis dan bermanfaat
+
+
+
+
Menonjolkan perasaan
-
+
+
-
Mengutamakan kesejahteraan
+
+
+
+
Menghargai prokreasi
+/-
+/-
+/-
+/-
Mendambakan kekayaan
+
+
+
+
Menghubungkan pekerjaan
dengan keadilan sosial
+/-
+/-
+/-
+
Konservatif
-
+
+
-
Potlach
+
+
+
-
Passive resistance
-
-
+
-
Kriteria Apollonian:
Introversi
-
-
+
-
Rapi
+
-
-
+
Dapat menahan diri
+
-
+
+
Menghindari ketegangan
+
-
+
+
Gemar gotong royong
+/-
-
-
+
Taat pada peraturan
+
-
-
+
Ritual yang tenang
+
+
+
+
Sumber : Rafieq dan Noorginayuwati (2004)
Tabel di atas memperlihatkan bahwa gaya hidup
petani masih
mewarnai karakter dari masyarakat yang tinggal
di lahan lebak. Petani
Negara dan Bararawa sudah mengalami perubahan
karakter, dimana
mereka cenderung lebih rasional, progresif dan
asertif. Meskipun demikian
masih ada perbedaaan antara keduanya dimana
petani Bararawa tampak
lebih rasional dimana mereka sudah mampu
menghindari sikap suka pamer
(potlatch).
Apabila kriteria yang dikemukakan oleh Ruth
Benedict yang
digunakan, pada tabel terlihat bahwa petani
Negara dan Bararawa tidak lagi
tampak introvert dan mereka memiliki tipe
ideal untuk dapat berperan dalam
proses pembangunan yang partisipatif. Petani
di Tapus Dalam cenderung
tampak introvert, tidak rapi, tidak suka
bergotong royong dan kurang taat
pada peraturan, namun mereka telah dapat
menahan diri dan menghindari
ketegangan. Petani yang bermukim di Mentaas
cenderung tampak
ekstrovert, tidak rapi, tidak dapat menahan
diri, tidak berusaha menghindari
ketegangan, tidak suka bergotong royong dan
tidak taat pada peraturan.
Selama berinteraksi dengan petani di lahan
lebak, jarang sekali
petani di Negara dan Bararawa yang menanyakan
bantuan dana
untukpengembangan usahanya. Mereka bahkan
bersedia mengeluarkan
dana untuk kegiatan yang bermanfaat bagi
pengembangan usahatani
mereka. Kondisi yang berlawanan ditemukan pada
petani di Tapus Dalam
dan Mentaas, mereka akan langsung
menghubungkan petugas pertanian
45
yang berkunjung ke daerahnya dengan proyek
pertanian dan berharap
mendapatkan bantuan untuk modal usaha.
Karakteristik petani ini dapat dimanfaatkan,
terutama dalam memilah
program pertanian yang akan diintroduksikan
serta pendekatan yang akan
dikembangkan. Masyarakat petani yang taat pada
peraturan dan memiliki
sikap kegotongroyongan yang tinggi,
menghindari ketegangan dan dapat
menahan diri akan lebih mudah bekerja sama dan
dapat mengelola program
percepatan dengan insentif dana bergulir.
Sebaliknya pada masyarakat
petani yang tidak taat pada peraturan,
cenderung menyukai ketegangan dan
tidak dapat menahan diri.
Teknologi kearifan lokal petani lahan lebak
mengenai peramalan
perubahan iklim, topografi, kesuburan tanah
dan pengelolaannya dapat
dimanfaatkan dengan melibatkan mereka sejak
tahap perencanaan program
pembangunan pertanian. Pengetahuan petani
mengenai topografi lahan
lebak dan kesuburan tanah menentukan pola
usaha tani dan skala usaha
yang mereka kembangkan. Petani sudah
mengetahui bahwa tanah yang
rendah dengan humus yang tipis tidak sesuai
untuk tanaman semangka atau
kacang tanah. Apabila diperhatikan penyebaran
sentra-sentra produksi
palawija dan hortikultura di Negara
memperlihatkan perbedaan dan
kesamaan topografi dan kesuburan tanah. Petani
di Desa Pakan Dalam
tidak akan menanam semangka dalam skala luas
karena mereka
mengetahui tanahnya rendah dan kandungan
humusnya tidak cocok untuk
tanaman semangka.
Pemerintah dapat membantu petani lahan lebak
melalui penyediaan
infrastruktur yang tidak dapat disediakan
secara swadaya oleh masyarakat.
Walaupun demikian perencanaan dan pembuatannya
hendaknya dapat
melibatkan petani dengan memanfaatkan
pengetahuan lokal yang mereka
miliki. Hal ini disebabkan mereka lebih
mengetahui beragam kendala antar
wilayah akibat beragamnya tipologilahan dan
kondisi sosial, budaya dan
ekonomi mereka. Pemerintah juga dapat
mendorong berkembangnya
institusi pedesaan yang dapat menjamin
berkembangnya teknologi kearifan
lokal masyarakat, seperti kelembagaan Kepala
Padang yang sekarang sudah
mulai menghilang.
PENUTUP
Masyarakat yang tinggal di lahan rawa
merupakan pekerja keras
yang ulet dan kreatif. Karakter ini tidak
hanya ditempa oleh pengalaman
sejarah mereka tetapi juga oleh lingkungan
fisik lahan lebak yang marginal.
Mengembangkan pertanian di lahan lebak yang
penuh dengan resiko
menuntut mereka untuk berusaha dengan penuh
perhitungan dan berani
menanggung resiko. Terbatasnya kesempatan
mereka karena
ketergantungan pada iklim menuntun mereka
untuk berspekulasi dengan
46
mengembangkan usaha dalam skala luas. Sikap
ini tidak hanya mereka
tunjukkan ketika mengembangkan usaha pertanian
tetapi juga pada usaha-
usaha lain yang kemudian mereka kerjakan.
Tentu saja resiko ini baru
berani dijalani setelah mereka memperoleh
jaminan keamanan pangan, yaitu
tersedianya padi untuk masa satu musim tanam.
Pengetahuan mengenai karakteristik sosial
budaya dan Teknologi
kearifan lokal petani di lahan lebak dapat
dimanfaatkan dalam
pengembangan lahan lebak untuk kegiatan
pertanian. Strategi yang
dikembangkan penduduk dalam bertahan di lahan
lebak ini merupakan hasil
dari serangkaian tindakan penyesuaian dan
respon yang berurutan terhadap
kondisi-kondisi alam yang seringkali tidak
terduga sebelumnya. Upaya untuk
selalu memodifikasi strategi yang telah
dikembangkan, merupakan bagian
sentaral dari strategi penduduk untuk bertahan
hidup. Begitu pula upaya
mereka untuk belajar dari kesalahan, dari
konsekuensi-konskuensi yang
tidakterduga dan fenomena-fenomena yang tidak
diketahui bakal dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., Sudarman K dan Suriadikarta,
D.A. 1998. Potensi dan
Kendala Pengembangan Usaha Pertanian di Lahan
Rawa Kalimantan
dalam Prosiding
Lokakarya Strategi Pembanagunan Pertanian Wilayah
Kalimantan. Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertaanian
Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
Budiman, A. 1996. Teori Pembangunan Dunia
ketiga, Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Lovelace, G. W. 1984. Cultural Beliefs and the
Management of
Agroecosystem dalam Rambo, A.T. dan Sajise,
P.E. (ed.). An
Introduction ti Human Ecology Research on
Agricultural Suystem in
Southeast Asia. University of the Philippines.
Los banos.
Rakhmat, J. 1988. Psikologi Komunikasi. Edisi
Revisi. Remaja Karya.
Bandung.
Sabran, M., Maamun, M.Y. dan Fagi, A.M. 1998.
Potensi dan Kendala
Pengembangan Usahatani Tanaman Pangan di Lahan
Rawa
Kalimantan dalam Prosiding
Lokakarya Strategi Pembanagunan
Pertanian Wilayah Kalimantan. Instalasi Penelitian
dan Pengkajian
Teknologi Pertaanian Kalimantan Selatan.
Banjarbaru.
47
Schneider, J. 1995. Introduction in Major
Issues in Indigenous Knowledge in
Conservation of Crop Genetic Resources.
Central Research Institute
for Food Crop. Jakarta.
Vogt, E.Z dan O’dea, T.F. 1996. Perbedaan
Kebudayaan dalam Dua
Masyarakat yang Ekologinya Sama dalam Parsudi
Suparlan (ed.).
Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya.
Rajawali Press, Jakarta.
Zakaria, Y. R. 1994. Hutan dan Kesejahteraan
Masyarakat. Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta.
Sulaiman (2000)
Noorginayuwati (2005)
Sabran, M., Maamun, M.Y. dan Fagi, A.M. 1998.
Potensi dan Kendala
Pengembangan Usahatani Tanaman Pangan di Lahan
Rawa
Kalimantan dalam Prosiding
Lokakarya Strategi Pembanagunan
Pertanian Wilayah Kalimantan. Instalasi Penelitian
dan Pengkajian
Teknologi Pertaanian Kalimantan Selatan.
Banjarbaru.
47
Schneider, J. 1995. Introduction in Major
Issues in Indigenous Knowledge in
Conservation of Crop Genetic Resources.
Central Research Institute
for Food Crop. Jakarta.
Vogt, E.Z dan O’dea, T.F. 1996. Perbedaan
Kebudayaan dalam Dua
Masyarakat yang Ekologinya Sama dalam Parsudi
Suparlan (ed.).
Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya.
Rajawali Press, Jakarta.
Zakaria, Y. R. 1994. Hutan dan Kesejahteraan
Masyarakat. Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta.
Sulaiman (2000)
Noorginayuwati (2005)
0 komentar " ", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment