ABSTRAK
Keystone
species adalah species yang keberadaanya menyumbangkan suatu keragaman hidup
yang kepunahanya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain.
Salah satu keystone species yang berpengaruh besar terhadap keseimbangan
ekosistem adalah Atta sp. Atta sp. merupakan salah satu spesies serangga
endemik yang berperan untuk membantu keseimbangan ekosistem di Hutan Brazil dan
terdapat spesies. Disebut juga dengan ecosystem engineer karena berkontribusi
besar pada pemotongan daun skala besar di hutan neotropis dan juga dapat
memodifikasi ketersediaan sumber daya untuk organisme lain untuk merubah
lingkungan fisik hutan.Maksud untuk mengambil topik ini adalah dapat memberi
pengetahuan baru mengenai keystone spesies, khususnya pada Atta sp. Tujuannya adalah untuk mengetahui faktor lingkungan yang
dapat terpengaruhi disekitar dengan adanya spesies endemik Atta sp ini. Atta sp. Dari hasil penelitian Atta sp. dapat mempengaruhi intensitas
cahaya, iklim mikro, meningkatkan suhu tanah, ketersediaan sumber air dalam
tanah, dan nutrisim dan Atta sp.
dapat mempengaruhi ekosistem hingga 195m2 dan menyebabkan perubahan
iklim mikro seluas 200m2.
Key words : Keystone
species, Atta sp. ecosystem engineer.
i
DAFTAR
ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………………… i
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………………………….. 1
1.1
Latar Belakang………………………………………………………………… 1
1.2
Maksud dan Tujuan…………………………………………………………. …... 2
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………. …... 3
2.1
Keystone Species………………………………………………………………. 3-6
2.2
Atta sp. Sebagai Keystone Species…………………………………………… ….. 7-9
2.3
Ciri Khusus Species …………………………………………………………... 9-10
2.4
Atta sp. Petani yang Hebat …………………………………………………… 11-12
2.5
Metode Pertahanan Atta sp. yang Menarik …………………………………. 12-13
2.6 Jalan Raya Atta sp……………………………………………………………..
13-15
2.7 Teknik Semut Atta sp. Memotong Daun……………………………………. 15-16
BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………. 17-20
BAB IV KESIMPULAN
…………………………………………………………. 21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 22-23
TUGAS
TATA GUNA LAHAN BIOLOGI
Atta sp. Sebagai Keystone Species di Hutan Neotropis Brazil
Atta sp. Sebagai Keystone Species di Hutan Neotropis Brazil
Disusun
Oleh : Kelompok 9
Amala Lastari 140410100023
Anisa Syara S. 140410100077
Gita Geofani 140410100095
Khaidil Prayuda 140410100054
FAKULTAS
MIPA JURUSAN BIOLOGI
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan
menyediakan berbagai sumberdaya yang dibutuhkan manusia seperti sinar matahari,
udara, air, tanah, tumbuhan, hewan bahan bakar fosil dan lain-lain. Selama
berabad-abad, sebagian manusia dalam interaksinya dengan lingkungan telah
mengasumsikan bahwa kita bebas memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan
dengan semaksimal mungkin. Anggapan seperti itu ternyata telah menimbulkan
permasalahan berupa perncemaran dan kerusakan lingkungan. Salah satu contoh
masalah lingkungan adalah hilangnya berbagai jenis makhluk hidup dan sistem
alami.
Oleh karena itu,
Paine (1969) mendefinisikan suatu keystone predator dengan istilah ‘keystone’.
Hal ini berarti apabila ada spesies yang akan dihilangkan biasanya akan
menghasilkan perubahan dalam struktur komunitas atau fungsi ekosistem. Bila ini
diterapkan terhadap ekosistem, keystone spesies adalah spesies yang memberi
kontribusi terhadap fungsi ekosistem secara unik.
Atta
sp.
merupakan salah satu spesies serangga endemik yang berperan untuk membantu
keseimbangan ekosistem di Hutan Brazil dan terdapat 47 spesies. Disebut juga
dengan ecosystem engineer karena berkontribusi besar pada pemotongan daun skala
besar di hutan neotropis dan juga dapat memodifikasi ketersediaan sumber daya
untuk organisme lain untuk merubah lingkungan fisik hutan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud
untuk mengambil topik ini adalah dapat memberi pengetahuan baru mengenai
keystone spesies, khususnya pada Atta sp.
Tujuannya adalah untuk mengetahui faktor lingkungan yang dapat terpengaruhi
disekitar dengan adanya spesies endemik Atta
sp ini
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keystone Species
Keystone species adalah species
hewan atau tumbuhan yang keberadaanya mempengaruhi keanekaan jenis hewan dan
tumbuhan lain. Punahnya species kunci akan menyebabkan kepunahan jenis lainya.
Keystone species membantu menjaga keseimbangan ekosistem. Keystone species
merupakan species yang memberikan kontribusi terhadap fungsi ekosistem secara
unik. Jika kita bisa membagi ekosistem ke dalam fungsi esensial atau proses,
fungsi esensial dapat diklasifikasikan sebagai trofik, biogeokemikal, dan
struktural. Keystone species adalah anggota tunggal trofik biogeokemikal atau
kelompok fungsional. Interaksi species dapat mempengaruhi ekosistem secara kuat
melalui dua rute yang berbeda (Levinton,1995).
Keystone species bisa berasal dari
top carnivores yang menjadi penjaga keberadaan mangsa, herbivore yang membentuk
suatu sistem dengan species lain,
tumbuhan tertentu yang menyokong kehidupan serangga tertentu yang menjadi mangsa burung, kelelawar yang
meyebarluaskan biji-bijian tanaman, dan banyak lagi organisme lain.
Konsep Keystone species menjadi arus
utama dalam literature-literatur ekologi dan biologi konservasi sejak
diperkenalkan pertama kali oleh Profesor Robert T. Paine seorang ahli zoology
pada tahun 1969. Keystone species biasanya terlihat bila hilang dari suatu
ekosistem menghasilkan perubahan yang dramatis terhadap species yang tertinggal
dalam komunitas itu. Fenomena ini diamati pada ekosistem dan organisme dalam
kisaran yang luas. Keystone species adalah suatu species yang kelulusan hidup
sejumlah species lain tergantung kepadanya (Paine,1969).
Keystone species adalah species yang
keberadaanya menyumbangkan suatu keragaman hidup yang kepunahanya secara
konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain. Keystone species
merupakan species yang dampaknya terhadap komunitas dan ekosistem tempat dia
hidup sangat besar, dan tak seimbang dengan kelimpahanya (Power, 1990). Mereka
meliki peran yang besar dalam struktur komunitas. Keystone species yang
memperkaya fungsi ekosistem dalam suatu cara yang unik dan nyata melalui
aktivitasnya dan efeknya adalah ketidakseimbangan terhadap kelimpahan
numerinya. Kepunahan spesies ini menyebabkan bermulanya perubahan pada struktur
ekosistem dan selalu berpengaruh terhadap berkurangnya keragaman (diversitas).
Penggalian lubang dan aktivitas
makan biasanya meningkatkan kandungan air sedimen, dan terbentuk banyak sekali
fecal pellet yang meningkatkan ukuran butiran sedimen dari lumpur yang halus
menjadi pasir halus, dan selalu terjadi oksigenasi sedimen dalam proses ini.
Penggalian lubang pada permukaan sedimen akan membentuk atau menciptakan tiga
dimensi struktur ekosistem sedimen (Levinton, 1995). Secara relatif mudah untuk
menemukan contoh dimana herbivora yang lebih tinggi dapat menyebabkan perubahan
komposisi spesies, keragaman, produktivitas, dekomposisi, daur unsur hara, masuk
dan keluarnya unsur hara, atau proses geomorfik dan hidrologi (Huntly, 1991).
Paling banyak bukti yang tegas bahwa herbivora mempengaruhi proses-proses dalam
ekosistem misalnya produktivitas primer dan laju daur unsur hara (Pollock et
al, 1995; Power,1990).
Aspek-aspek lingkungan lain juga
membatasi kepadatan populasi dan perilau herbivora. Sumber air hewan dalam
beraktivitas pada banyak ekosistem terestial yang pada giliranya akan mengubah
dinamika vegetasi dan unsur hara. Fragmentasi habitat dan isolasi juga bisa
mempengaruhi jenis, jumlah, dan pengaruh konsumer. Species hewan bisa berbeda
kemampuanya untuk mengeksploitasi habitat (Foster dan Gaines 1991).
Species tumbuhan berbeda dalam fonologi
tumbuhanya, laju tumbuh maksimum, tipe ukuran dan pola alokasi, uptake dan
retensi, unsur hara dan air, kualitas dan kuantitas seresah (Pastor et al 1993;
Wedin 1995). Dengan demikian, herbivor yang mengubah komposisi komunitas
tumbuhan akan selalu mengubah dinamika ekosistem. Walaupun selalu kurang
dianggap herbivor juga bisa mempengaruhi perilaku tumbuhan yaitu herbivore bisa mengubah cara dimana tumbuhan
dari satu fungsi species dan interaksinya dengan species lain atau komponen
abiotik dari lingkunganya.
Efek non-trofik yang dihasilkan dari
efek langsung konsumer terhadap lingungan fisika-kimiawi (seperti pergerakan
dan struktur tanah, sedimen, atau material lain, penggalian lubang, pembuatan
jalan kecil) dan juga dari efek non-trofik terhadap tumbuhan (terinjak-injak,
tergunting, tergores, atau terpotong tetapi bukan termakan atau sebaliknya
menyebabkan gugur daun). Efek non-trofik ini oleh Lawton and Jones (1995)
digolongkan ke dalam “allogenic engeneering”.
Fauna tanah memainkan peranan nyata
dalam proses ekosistem terestial melalui interaksinya dengan komunitas
microbial dan pengubahan lingkungan fisik. Pada ekosistem terestial ini fauna
tanah merupakan komponen utama jaringan makanan dan merupakan kunci mengatur
peluluhan dan proses mineralisasi unsure hara (Parmelee, 1995). Walaupun
sebagian besar system komunitas microbial mampu memineralisasi kurang lebih 90%
karbon (C) dan Nitrogen (N), aktivitasnya sendiri diatur oleh fauna tanah.
Fauna tanah mengatur aktivitas mikroba dengan langsung memakan bakteri dan
fungi dan dengan pemindahan propagul mikroba ke subtract yang baru. Setelah
memakan mikroba fauna tanah mengekskresikan N anorganik yang kemudian tersedia
untuk aktivitas mikroba lebih lanjut atau diambil (uptake) oleh tumbuhan.
Ecosystem engeneers adalah organisme
yang secara langsung maupun tidak langsung memodulasi atau mengatur
ketersediaan sumberdaya untuk species lain. Dengan mengubah keadaan fisik
material abiotik maupun biotik (Lawton and Jones, 1995). Ada dua jenis
engineers yaitu autogenic engineers dan allogenic engineer. Autogenic engineers
mengubah lingkungan melalui struktur fisik mereka sendiri yaitu jaringan hidup
atau mati. Allogenic engineers mengubah
lingkungan dengan transformasi material hidup dan tak hidup dari suatu
keadaan fisik ke yang lain, melalui mekanisme atau cara lain.
Dampak ekologis engineer tergantung
pada skala spatial dan temporal aksinya. Enam skala faktor dampak, yaitu life
time per capita aktivitas individual organisme, densitas populasi, distribusi
spatial populasi regional maupun local, lamanya waktu populasi berada di suatu
tempat, daya tahan konstruksi dan dampak ketidakberadaan engineer, jumlah dan
tipe aliran sumberdaya yang dimodulasi oleh konstruksi dan artifak dan jumlah
species lain yang tergantung kepada aliran sumberdaya (Lawton and Jones, 1995).
2.2 Atta sp. Sebagai Keystone Species
Atta sp. termasuk kedalam Famili
Formicidae dalam klasifikasi ilmiah dan dicirikan dengan adanya sepasang antena
di bagian kepala. Atta sp. adalah salah satu spesies semut yang punya kekuatan hebat
di hutan. Semut dengan nama latin Atta
sp. ini merupakan spesies endemik di Hutan Brazil. Semut ini mempunyai peran
yang sangat mulia untuk membantu keseimbangan ekosistem hutan di Brazil (Mosyaftiani,2012).
Semut bergenus Atta disebut sebagai ecosystem
engineer, karena Atta berkontribusi
sangat besar pada pemotongan daun skala besar di hutan neotropis dan savanna.
Organisme ini dapat memodifikasi ketersediaan sumber daya untuk organisme lain
dengan merubah lingkungan fisik hutan. Hutan Neotropis merupakan hutan yang
terbentang dari Meksiko hingga Brazil. Atta
sp. merupakan serangga endemik yang hanya berada di hutan tersebut dan terdapat
47 spesies. Dan hewan ini merupakan salah satu herbivora terbesar di kawasan
Hutan Amerika Latin. Sehingga, spesies ini menjadi keystone spesies/spesies
utama dan penyebar biji di habitatnya (Mosyaftiani,2012).
Atta sp. adalah herbivor dominan di
Hutan Neotropis sehingga mempunyai peran ekologi yang sangat penting. Kemudian,
semut ini dapat memotong 15 persen daun yang ada di seluruh hutan tersebut pada
saat aktivitas makan terjadi dan berdampak pada pembentukan gap/lubang kanopi
pohon, sehingga berpengaruh pada besar intensitas cahaya yang masuk dan iklim
mikro di hutan tersebut. Selain itu, material organic yang dibawa Atta spp. ke sarangnya dapat menumbuhkan
jamur yang ada di dalam sarangnya sebagai makanannya. Lalu, nutrien tanah
bersama dengan ketersediaan air menjadi faktor pembatas dari keberadaan,
pertumbuhan, dan reproduksi tumbuhan di satu lahan yang terdapat semut Atta sp. Semut pemotong daun yang
mempunyai sarang yang cukup banyak di hutan tropis dapat mempengaruhi nutrisi
tanah dan mengakselerasi siklus nutrien yang terjadi. Karena ketersediaan
nutrien yang tinggi akan meningkatkan kemelimpahan dan keanekaragaman tumbuhan
(Mosyaftiani,2012).
Semut genus ini sangat efektif dalam
mengkoleksi vegetasi/berbagai tumbuhan yang segar dalam skala besar dari area
yang luas dan membawanya ke sarang di dalam tanah. Sehingga daun tersebut akan
terdegradasi oleh jamur yang mempunyai peran saling menguntungkan dengan semut.
Karena semut Atta spp. tidak akan
memakan daun dan akan memilah tidak membawa lagi daun yang beracun saat pertama
kali dirinya memotong daun tersebut. Makanan yang dikonsumsinya berupa
gonglydia, yaitu hifa dari jamur yang tumbuh spesifik pada sarang semut
tersebut. Sarang Atta spp. juga dapat
merubah tekstur tanah, merubah intensitas cahaya di lingkungan, menghapus
kompetisi nutrisi, dan menyediakan konsentrasi nutrien tanah di sekitar sarang
(Mosyaftiani,2012).
Selain itu, jamur yang tumbuh di
sarang semut merupakan sumber terbaik dalam penyedia nitrogen. Jamur yang
tumbuh merupakan kelompok michoriza basidiomycetes/akar pada jamur dapat
mereaksikan nitrat untuk meningkatkan nitrogen dari tanah. Kemudian, pembuatan
sarang semut dapat mempercepat dekomposisi (penghancuran) seresah/sampah daun
untuk tetap mempertahankan keberadaan sarang dan jamur didalamnya (Mosyaftiani,2012).
Dengan begitu, kemelimpahan Atta spp. dapat mengubah struktur
vegetasi, membukanya understory/pohon-pohon kecil berkanopi yang menutupi tanah
dari cahaya matahari, dan juga membentuk gap/lubang kanopi secara drastis yaitu
mempengaruhi ekosistem hingga seluas 195 m2. Selain itu, sarang semut ini dapat
meningkatkan suhu tanah dan meningkatkan ketersediaan air yang berdampak pada
perubahan iklim mikro seluas 200 m2. Aktivitas makan Atta spp. Di dalam sarangnya dapat meningkatkan unsur makronutrien
(nutrient yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah besar) terutama Kalsium pada
nutrien vegetasi di hutan Neotropis. Atta
sp. dapat mempunyai peran sebagai pendistribusi perpindahan makronutrien pada
jarak 9 meter.
Begitulah Atta sp. menjadi Si Raja Hutan Neotropis di Brazil. Koloni semut
tersebut bisa mempengaruhi struktur kanopi pohon dan juga membuat tanah lebih
subur dengan adanya sarang serangga tersebut di dalam tanah (Mosyaftiani,2012).
2.3Ciri Khusus Atta sp.
Ciri-ciri khusus semut pemotong daun
Atta sp. adalah kebiasaan mereka
membawa potongan daun yang mereka potong di atas kepalanya. Semut ini
bersembunyi di bawah daun, yang sangat besar dibandingkan ukuran tubuh mereka.
Daun ini mereka tahan dengan dagu yang terkatup rapat. Oleh karena itu,
perjalanan pulang semut pekerja setelah bekerja seharian memberi pemandangan
sangat menarik. Orang yang melihatnya akan merasa seolah lantai hutan menjadi
hidup dan berjalan. Di hutan hujan, pekerjaan mereka mengambil sekitar 15
persen produksi daun.
Atta menggunakan daun untuk
memproduksi jamur. Daun itu sendiri tidak dapat mereka makan karena di dalam
tubuh mereka tak ada enzim yang dapat mencerna selulosa dalam daun. Semut
pekerja menumpuk potongan daun setelah ia kunyah, dan ia simpan di ruang-ruang
dalam sarang di bawah tanah. Di ruangan ini mereka menanam jamur di atas daun.
Dengan ini, mereka memperoleh protein yang mereka butuhkan dari pucuk jamur. Namun, jika Atta disingkirkan, kebun itu
biasanya mulai rusak dan segera tersaingi jamur liar. Cara menjaga kultur murni
jamur tanpa harus selalu disiangi tampaknya bergantung pada air liur yang
dimasukkan semut ke dalam kompos saat mereka mengunyah. Diduga air liur
tersebut mengandung antibiotik yang menghambat pertumbuhan jamur yang tak
diinginkan. Air liur juga mungkin mengandung zat pendukung pertumbuhan untuk
jamur yang tepa (Yahya,2004).
(Yahya,2004)
2.4 Atta sp.
Petani yang Hebat
Akibat
simbiosis antara semut pemotong daun dan jamur, semut memperoleh protein yang
mereka butuhkan untuk gizi dari tunas jamur yang mereka tanam di daun. Di atas
terlihat kebun jamur yang dirawat semut.
- Di dalam sarang, pekerja yang
lebih kecil memotong daun kecil-kecil.
- Kasta berikut mengunyah
potongan ini menjadi pulp dan memupuknya denga simpanan cairan feses yang
kaya enzim.
- Semut-semut lain menyediakan
pasta daun subur di atas lapisan daun kering di ruang baru.
- Kasta lain mengangkut potongan
jamur dari ruang lama dan menanamnya dalam pasta daun. Potongan jamur
dioleskan pada pasta daun seperti lapisan gula kue.
- Kasta kecil berkerumun
membersihkan dan menyiangi kebun, lalu memanen jamur untuk dimakan semut
lain.
(Yahya,2004)
Semut telah di-rancang dan diprogram
untuk mengerjakan tugas yang mereka laksanakan. Peristiwa yang diamati tadi
sudah cukup untuk membuktikan bahwa semut dimunculkan, dengan mengetahui ilmu
pertanian. Pola perilaku kompleks seperti ini bukanlah fenomena yang bisa
berkembang bertahap seiring waktu. Pola-pola ini adalah hasil dari pengetahuan
yang komprehensif dan kecerdasan yang tinggi.
Dalam gambar di bawah, seekor Atta, ditemani penjaganya
yang berukuran kecil, membawa selembar daun.
|
(Yahya,2004)
2.5 Metode Pertahanan Atta sp. yang Menarik
Pekerja berukuran sedang dari koloni
semut pemotong daun melewatkan hampir seluruh hari mereka membawa daun. Mereka
jadi sulit membela diri selama kegiatan ini, karena mereka memegang daun dengan
dagu yang biasa mereka gunakan untuk membela diri. Telah diamati bahwa semut
pekerja pemotong daun selalu berjalan ditemani pekerja yang berukuran lebih
kecil. Pada mulanya ini diperkirakan hanya kebetulan. Lalu, alasan di balik hal
ini diteliti dan temuan-nya, yang merupakan hasil analisis yang panjang, adalah
contoh kerja sama yang menakjubkan (Yahya,2004).
Semut berukuran sedang, yang
bertugas membawa daun, menggunakan sistem pertahanan yang menarik untuk melawan
jenis lalat musuh. Lalat musuh ini memilih tempat khusus untuk bertelur pada
kepala semut. Tempayak yang menetas dari telur ini akan mema-kan kepala semut,
dan pada akhirnya memenggalnya. Tanpa asistennya yang kecil, semut pekerja tak
berdaya melawan spesies lalat yang selalu siap menyerang ini. Dalam keadaan normal,
semut mampu mengusir lalat yang mencoba mendarat di tubuh mereka dengan rahang
setajam gunting. Namun, ia tak dapat melaku-kannya selagi membawa daun. Oleh
karena itu, ia menaruh semut lain pada daun yang dibawanya untuk membelanya.
Jika diserang, para penjaga kecil ini bertarung melawan musuh (Yahya,2004).
2.6 Jalan Raya Atta sp.
Jalan yang digunakan Atta, saat
membawa pulang daun yang mereka potong, mirip jalan raya mini. Semut yang
merayap perlahan di jalan ini mengumpulkan semua ranting, kerikil kecil,
rumput, dan tumbuhan liar dan menyingkirkannya ke satu sisi. Dengan demikian,
mereka membuat jalan bersih bagi mereka sendiri. Setelah lama bekerja secara
intensif, jalan raya ini menjadi lurus dan mulus, seolah dibangun dengan alat
khusus. Koloni Atta terdiri atas pekerja sebesar butir pasir, prajurit yang
beberapa kali lipat lebih besar, dan "pelari maraton" berukuran
sedang. Pelari maraton ini berlari membawa potongan daun ke sarang. Semut-semut
ini begitu rajin sehingga, dengan ukuran manusia, setiap pekerja bagaikan orang
yang berlari menempuh jarak satu mil per empat menit sepanjang 50 km, sambil
memanggul 227 kg di bahunya (Yahya,2004).
Selagi membawa daun yang mereka
potong, Atta membersihkan jalan yang mereka gunakan dari segala macam
potongan ranting, kerikil, dan sisa rumput. Jadi, mereka menyiapkan semacam
“jalan raya” bagi diri mereka sendiri.
|
(Yahya,2004)
Dalam sarang Atta, ada ruang-ruang
sebesar kepalan tangan sedalam hingga 6 meter. Pekerja mini bisa memindahkan
sekitar 40 ton tanah saat menggali sejumlah besar ruangan dalam sarang mereka
yang besar. Pembangunan sarang selama beberapa tahun oleh semut ini memiliki
tingkat kesulitan dan standar profesionalisme tinggi yang setara dengan
pembangunan Tembok Besar Cina oleh manusia. Inilah bukti bahwa Atta tidak bisa
dipandang sebagai makhluk sederhana yang biasa. Semut, pekerja sangat keras,
mampu merampungkan tugas rumit yang sulit dilakukan manusia (Yahya,2004).
2.7 Teknik Semut Atta sp. Memotong Daun
(Anonimous,2013)
(Yahya,2004)
Saat semut memotong daun dengan
mandibula (rahang), seluruh tubuhnya bergetar. Para ilmuwan mengamati bahwa
getaran ini membuat daun diam, sehingga memudahkan pemotong-an. Pada saat yang
sama, bunyi ini dapat menarik perhatian para pekerja lain semuanya betina ke
tempat tersebut untuk me-nyelesaikan memotong seluruh daun. Semut menggosokkan
dua organ kecil pada perutnya untuk menghasilkan getaran ini, yang bisa
didengar manusia sebagai bunyi yang sangat lirih. Getaran ini dikirim melalui
tubuh hingga mencapai mandibula semut yang mirip arit. Dengan menggetarkan
bokongnya secara cepat, semut ini memotong daun berbentuk sabit dengan
menggetarkan mandibula, mirip dengan pisau listrik (Yahya,2004).
Teknik ini memudahkan pemotongan
daun. Namun, diketahui bahwa getaran ini juga memiliki tujuan lain. Seekor
semut yang memotong daun akan menarik semut lain ke tempat yang sama karena
banyak tumbuhan lain di daerah tempat tinggal Atta beracun. Karena menguji
setiap daun oleh masing-masing semut merupakan prosedur yang berisiko tinggi,
mereka selalu pergi ke tempat di mana semut lain telah berhasil merampungkan
tugas mereka (Yahya,2004).
BAB III
PEMBAHASAN
Keystone
species merupakan suatu species yang keberadaannya sangat penting dalam suatu
ekosistem. Keberadaan keystone species ini membantu menjaga keseimbangan dengan
memberikan kontribusi terhadap fungsi ekosistem dimana interaksi species ini
akan mempengaruhi ekosistem secara kuat. Kehilangan keystone species dapat
menyebabkan gangguan besar/perubahan dramatis didalam suatu ekosistem.
Atta
sp. adalah sebuah spesies semut yang hidup endemic di hutan Brazil. Spesies ini
disebut sebagai ecosystem engineer
yaitu spesies yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur ketersediaan
sumber daya untuk spesies lain dengan
mengubah keadaan fisik material abiotik maupun biotic. Atta sp. merupakan contoh dari keystone spesies, hal ini
dikarenakan keberadaan spesies yang walaupun berukuran kecil ini mempunyai
peran penting dalam ekosistem hutan. Atta
sp. berkontribusi sangat besar dalam pemotongan daun skala besar di hutan
neotropis dan savanna. Hal ini dikarenakan Atta sp. mempunyai bentuk rahang
pemotong. Organisme
ini dapat memodifikasi ketersediaan sumber daya untuk organisme lain dengan
merubah lingkungan fisik hutan. Spesies ini menjadi keystone spesies/spesies
utama dan penyebar biji di habitatnya.
Atta
sp. mempunyai aktivitas makan dengan cara memotong-motong helaian daun untuk
dibawa ke dalam sarangnya, aktivitas ini menyebabkan pembentukan lubang-lubang
di kanopi pohon dimana hal ini akan mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk
dan iklim mikro di hutan tersebut. Selain itu, daun-daun yang dibawa Atta sp. kedalam sarang nantinya akan
terdegradasi oleh jamur yang nantinya hifa jamur tersebut digunakan sebagai
makanan bagi semut ini. Jamur yang tumbuh merupakan kelompok michoriza
basidiomycetes/akar pada jamur dapat mereaksikan nitrat untuk meningkatkan
nitrogen dari tanah.
Jamur mendapatkan karbohidrat langsung dan tetap dari tanaman, sementara tanaman mendapatkan perlindungan dan tambahan nutrisi, terutama fosfat. Akar tanaman sendiri sering tidak mampu mengambil ion fosfat yang mengalami demineralisasi, misalnya dalam tanah dengan pH dasar. Miselium dari jamur mikoriza dapat mengakses sumber fosfat ini dan membuatnya tersedia bagi tanaman yang mereka koloni. Tanaman yang memiliki mikoriza sering pula lebih tahan penyakit, seperti yang disebabkan patogen tanah mikrobial dan juga lebih tahan terhadap dampak kekeringan. Tanaman yang tumbuh di tanah yang steril dan media pertumbuhan steril sering berkinerja buruk tanpa tambahan spora atau hifa jamur mikoriza untuk mengkoloni akar tanaman dan membantu pengasupan nutrisi mineral tanah.
Jamur mendapatkan karbohidrat langsung dan tetap dari tanaman, sementara tanaman mendapatkan perlindungan dan tambahan nutrisi, terutama fosfat. Akar tanaman sendiri sering tidak mampu mengambil ion fosfat yang mengalami demineralisasi, misalnya dalam tanah dengan pH dasar. Miselium dari jamur mikoriza dapat mengakses sumber fosfat ini dan membuatnya tersedia bagi tanaman yang mereka koloni. Tanaman yang memiliki mikoriza sering pula lebih tahan penyakit, seperti yang disebabkan patogen tanah mikrobial dan juga lebih tahan terhadap dampak kekeringan. Tanaman yang tumbuh di tanah yang steril dan media pertumbuhan steril sering berkinerja buruk tanpa tambahan spora atau hifa jamur mikoriza untuk mengkoloni akar tanaman dan membantu pengasupan nutrisi mineral tanah.
Hasil degradasi inilah yang membuat
ketersedian nutrisi terutama Kalsium pada nutrien vegetasi di hutan Neotropis. Atta sp. dapat mempunyai peran sebagai
pendistribusi perpindahan makronutrien pada jarak 9 meter. Jamur
yang terlibat (mikoriza basidiomycetes) selalu berasosiasi dengan korteks utama
akar, dan banyak tampaknya tidak pernah hidup sebagai saportrof yang bebas.
Formasi mikoriza meningkatkan asupan nutrisi tanaman inang; nutrien tampaknya
diserap oleh hifa (yang dapat menjulur jauh dari akar) dan dikirim balik ke
akar untuk dilepaskan ke jaringan inang. Oleh karena itu tanaman yang hidup di
daerah hutan neotropis ini mempunyai banyak asupan nutrisi. Ketersedian nutrisi yang tinggi akan
meningkatkan kelimpahan dan keanekaragaman tumbuhan. Jamur yang tumbuh di
sarang semut merupakan sumber terbaik dalam penyedia nitrogen. Jamur yang
tumbuh merupakan kelompok michoriza basidiomycetes/akar pada jamur dapat
mereaksikan nitrat untuk meningkatkan nitrogen dari tanah.
Atta
sp. termasuk fauna tanah. Fauna
tanah berperan dalam memperbaiki struktur tanah melalui penurunan berat jenis,
peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas penyimpanan air,
dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel tanah, penyebaran mikroba dan
struktur agregat tanah. Oleh karena itu sarang Atta sp. yang merupakan fauna tanah dapat merubah tekstur tanah,
merubah intensitas cahaya di lingkungan, dan menghapus kompetisi nutrisi.
Pembuatan sarang semut dapat mempercepat dekomposisi (penghancuran)
seresah/sampah daun untuk tetap mempertahankan keberadaan sarang dan jamur
didalamnya. Selain itu, sarang Atta
sp. ini juga dapat meningkatkan suhu tanah dan meningkatkan ketersediaan air
yang berdampak pada perubahan iklim mikro. Aktivitas makan Atta sp. Di dalam sarangnya dapat meningkatkan unsur makronutrien
(nutrient yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah besar). Walaupun pengaruhnya
terhadap pembentukan tanah dan dekomposisi bahan organik bersifat tidak
langsung, secara umum fauna tanah dalam hal ini Atta sp. dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya proses dalam
tanah. Dan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan diatas tanah.
Karena peranan Atta sp. ini sangat banyak didalam suatu sistem didalam hutan, dan
akan menyebabkan perubahan drastis dalam suatu ekosistem bila keberadaannya
hilang maka Atta sp. disebut sebagai
keystone spesies yang ada di ekosistem hutan neotropis di Brazil.
BAB
IV
KESIMPULAN
1. Atta
sp. merupakan spesies endemic di
hutan neotropis di Brazil yang berfungsi sebagai keystone spesies.
2. Atta
sp. mempengaruhi intensitas cahaya,
iklim mikro, meningkatkan suhu tanah, ketersediaan sumber air dalam tanah, dan
nutrisi.
3. Atta
sp. dapat mempengaruhi ekosistem
hingga 195m2 dan menyebabkan perubahan iklim mikro seluas 200m2.
DAFRTAR
PUSTAKA
Fidyah, A. 2012. Mikoriza. http://armyistafidyah.blogspot.com/2012/11/mikoriza.html. Diakses tanggal 10 Maret 2013 pukul 16.00.
Foster,J.and
M.S.Gaines 1991. The effects of a successional habitat mosaic on a small mammal community. Ecology 72:1358-1373.
Huntly,
N. J. 1991. Herbivores and the dynamic of communities and ecosystem. Annu.
Rev. Ecol. Syst. 22:477-504
Levinton,
J. 1995. Bioturbators as ecosystem engineers control of the sediment fabric, inter- individual interaction, and material fluxes. In Jones, C. G. and J. H. Lawtonn (eds), Linnking species & ecosystem.
Chapman & Hall, New York, p.
141-150
Mosyaftiani,
Amarizni. 2012. Bukan Sekedar Ada Gula Ada Semut http://www.pei-pusat.org/opini/149-bukan-sekedar-ada-gula-ada-semut-amarizni-mosyaftiani
diakses pada tanggal 9 Maret 2013
Paine,
R. T. 1969. A note on trophic complexity and community stability. Am. Nat. 103:91-93.
Parmelee,
R. W. 1995. Soil fauna linking different levels of the ecological hierarchy. In
Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking
species & ecosystem.
Chapman & Hall, New York, p. 107-116.
Pollock,
M. M., R. J. Naiman, H. E. Erickson, C. A. Johnston, J. Pastor, and G. Oinay 1995. Beaver as engineers: influences on biotic and
abiotic characteristics of drainage
basins. In Jones, C. G. and J. H. Lawton (eds), Linking species &
ecosystem. Chapman & Hall, New
York, p. 117- 126.
Power,
M. E. 1990. Resource enchancement by indirect effects of grazers: armored cattish, algae, and sediment. Ecology
71:887-894.
Wardle. 2002. Dalamhttp://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46935/AllnadBAB%20II%20Tinjauan%20pustaka.pdf. Diakses tanggal 10
maret 2013 pukul 18.00
Wedin,
D. A. 1995. Species, nitrogen, and grassland dynamics: the constraints of stuff: In
Jones, C. G. and J. H. Lawton
(eds), Linking species & ecosystem. Chapman & Hall,
New York, p. 253-262.
Yahya, Harun. 2004. Menjelajah Dunia Semut.http://id.harunyahya.com/id/Buku/769/menjelajah- dunia semut/chapter/3015. Diakses Pada Tanggal
9 Maret 2013.
0 komentar " ", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment