Biology
in Development :
PEMANFAATAN RUANG
TERBUKA HIJAU (RTH)
SEBAGAI PILAR MENUJU GREEN CITY
Dibuat
dan disusun untuk memenuhi salah satu tugas
pada
mata kuliah Tata Guna Biologi
Disusun
oleh:
KELOMPOK
4
M. Iqbal Saputra 140410100019
Agrida Biasukma 140410100050
Dhita Ariyanti R. 140410100005
Adnin Laila M. 140410100065
Nindira Tiara Putri 140410100044
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2013
ABSTRAK RINGKSAN
Sampai
saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan, yakni terwujudnya
ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Oleh karena itu dibentuklah Ruang Terbuka (open space) yang diharapkan menjadi penyelamat bagi pembangunan
yang identik dengan pengerusakan lingkungan. Ruang
Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan
yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna
mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat
memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Secara ekologis RTH dapat menjawab semua
permasalahan lingkungan kota. Antaralain meningkatkan kualitas air tanah,
mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan menurunkan suhu kota tropis yang
panas. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti
sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain.
Pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan
yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan
konsistensi kebijakan pemerintah. Bandung merupakan salah satu kota yang hingga
saat ini masih melakukan pengembangan RTH, seperti Lapangan Tegalega dan Taman
Cibeunying.
Kata kunci: Pembangunan,
Ruang Terbuka Hijau, Kota Bandung.
DAFTAR ISI
ABSTRAK RINGKASAN ....................................................................... 1
DAFTAR ISI
.............................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ...................................................................... 3
1.2 Maksud
dan Tujuan .............................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan
Lingkungan .................................................... 5
2.2 Ruang
Terbuka (Open Space)
............................................... 6
2.3 Ruang
Terbuka Hijau (Green Open Space)
.......................... 7
2.4 Fungsi
RTH ........................................................................... 8
2.5 RTH
di Kota Bandung
.......................................................... 9
BAB III KESIMPULAN
.................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Salah satu komponen penting perkotaan
ialah adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Secara umum ruang terbuka publik (open
spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka
non-hijau. RTH perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan
yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna
mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat
memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya.
Secara
ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi
polusi udara, dan menurunkan suhu kota tropis yang panas. Bentuk-bentuk RTH
perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, taman
hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-budaya
keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana
rekreasi, dan sebagai tetenger (landmark) kota yang berbudaya. Secara
arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui
keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di
jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik
secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/
perkebunan (urban agriculture) dan
pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
Pada
dasarnya RTH kota memiliki tiga fungsi dasar, yaitu berfungsi secara sosial,
fisik, dan estetik. Dari sudut fungsi, telah terjadi perubahan. Taman yang pada
masa awal terbangunnya merupakan ruang terbuka publik dan menjadi sentral
kegiatan masyarakat, saat ini cenderung telah menjadi kawasan "hitam"
karena kondisinya kurang terawat dan tidak rnendapatkan perhatian. Fungsi taman
yang dulunya merupakan wadah kegiatan masyarakat, kini menjadi hanya sebatas
ruang hijau yang tidak mempunyai arti yang lebih. Hal tersebut terlihat dari
kondisi taman yang mulai dipagari dan dibangun lahan-lahan parkir yang
semena-mena, seperti Taman Merdeka yang berada di Kota Bandung.
Keberadaan
beberapa RTH di Kota Bandung, kumuh dan tak lepas dari konotasi negatif
masyarakatnya. Kemudian, diperparah oleh kekumuhan sebagai akses dari adanya
tempat penampungan pedagang kaki lima (PKL), meski hanya untuk sementara. Salah
satu bentuk RTH di Kota Bandung tersebut misalnya keberadaan Taman Tegallega.
Taman Tegallega kini telah
dialih-fungsikan sebagian arealnya bagi kepentingan aktivitas masyarakat
kotanya tanpa memandang lagi peruntukan areal tersebut sebenarnya. Masalah yang
kemudian muncul dari alih fungsi lahan tersebut adalah pertumbuhan PKL yang
bahkan mencabuti pagar-pagar besi, menciptakan hiruk-pikuk dan kekumuhan.
Sedangkan jalan di sekeliiingnya adalah jalanan yang tak luput dari macet.
Sehingga semakin nyatalah bagi kita bahwa eksistensi RTH di Kota Bandung
benar-benar terusir dari perhatian masyarakatnya dalam kaitannya dengan fungsi
taman sebagai ruang publik sekaligus kawasan hijau dan "paru-paru"
kota.
1.2
Maksud
dan Tujuan
Maksud pada bahasan kali ini ialah
mengetahui dan mempelajari keadaan pemanfaatan RTH perkotaan, khususnya di Kota
Bandung; mengetahui fungsi-fungsi beserta aplikasi pemanfaatan RTH; serta
dampak yang terjadi pada RTH di perkotaan. Tujuan pada bahasan kali ini adalah
sebagai berikut.
1.
Mengidentifikasi
fungsi ekologis dalam pemanfaatan RTH di kota Bandung
2.
Menganalisa
kriteria pengembangan RTH berdasarkan fungsi ekologis di kota Bandung
3.
Menyusun
arahan pengembangan RTH berdasarkan fungsi ekologis di kota Bandung
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan Lingkungan
Telah kita ketahui bahwa kota merupakan
tempat yang paling dipenuhi oleh populasi manusia jika dibandingkan dengan
wilayah desa. Semakin hari kepadatan penduduk perkotaan kian bertambah. Dewasa
ini, manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang mengupayakan kebaikan di
segala aspek kehidupan demi kepentingannya sendiri.
Kawasan pembangunan semakin meluas,
membuat daerah resapan air kian menyempit. Penggunaan BBM fosil untuk mobil,
industri, dan listrik rumah tangga, kini menjadi sumber polusi udara (emisi gas
buang kendaraan bermotor), yang berujung
pemanasan global.
Penurunan kualitas material bangunan
dapat menyebabkan meningkatnya absorbsi radiasi matahari dan mengurangi
evaporasi. Suhu udara di kota menjadi lebih tinggi. Beton, baja, kaca, yang
merupakan bahan bangunan yang banyak digunakan sebenarnya dapat menginduksi dan
melepas panas. Kecepatan angin semakin menurun akibat bangunan-bangunan yang
tinggi. Hal-hal tersebut mempengaruhi fisiologis manusia yaitu menghambat
proses pelepasan panas tubuh. Munculah solusi bagi kenyamanan manusia, yaitu
AC. Namun AC justru dapat memakai banyak energi di dalam bangunan.
Jumlah dan kepadatan penduduk di
perkotaan semakin meningkat. Oleh karena itu, generasi muda sangat memerlukan
sarana pendukung aktivitas untuk penyaluran energi dan aktualisasi diri. Namun
yang sering dilupakan adalah semakin besar kegiatan manusia maka semakin besar
pula limbah yang dihasilkan. Pencemaran lingkungan (baik tanah, air atau udara)
dapat menimbulkan masalah kesehatan dan lingkungan yang serius. Hal ini
diperkuat oleh banyaknya hasil penelitian yang menyatakan bahwa beberapa zat
melampaui standar baku mutu.
Dari sekian banyak masalah lingkungan
yang muncul di kawasan perkotaan, dapat dirangkum bahwa sumber pencemaran
lingkungan di masa kini berasal dari empat kegiatan utama. Kegiatan manusia
yang menjadi penyabab terbesar dalam pencemaran lingkungan yaitu industri,
transportasi, rumah tangga, dan pemusnahan sampah.
2.2 Ruang Terbuka (Open Space)
Seiring maraknya upaya pembangunan infrastruktur, terutama di
perkotaan, maka muncul istilah Ruang Terbuka (open space) yang diharapkan menjadi penyelamat bagi pembangunan
yang identik dengan pengerusakan lingkungan. Sampai
saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya
ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman
di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya
kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya
ruang terbuka (open space) untuk
artikulasi dan kesehatan masyarakat (Hakim, 2013).
Ruang terbuka adalah ruang yang bisa
diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun
secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu, dapat diartikan pula
sebagai ruang interaksi (Kebun Binatang, Taman Rekreasi, dll). Selain itu ruang
terbuka juga bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman
kota, hutan, dan sebagainya. Dilihat dari sifatnya, ruang terbuka bisa
dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu (Hakim, 2013) :
1. Ruang
Terbuka Privat
Memiliki
batas waktu tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya bersifat pribadi,
misalnya halaman rumah tinggal.
2. Ruang
Terbuka Semi Privat
Ruang
publik yang kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat,
misalnya Senayan, Ancol.
3. Ruang
Terbuka Umum
Kepemilikannya
oleh pemerintah dan bisa diakses langsung oleh masyarakat tanpa batas waktu
tertentu, misalnya alun-alun dan trotoar.
2.3 Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space)
Setiap manusia memiliki paru-paru
untuk bernafas dan mengelola oksigen agar setiap angota tubuh dapat berfungsi
dengan baik. Seperti halnya manusia, kota juga perlu paru-paru untuk
bernafas. Kota perlu memiliki paru-parunya sendiri yaitu suatu kawasan
hijau yang ditumbuhi dengan pepohonan guna memproduksi karbon dioksida yang
berasal dari asap kendaraan menjadi oksigen yang sangat dibutuhkan oleh mahluk
hidup untuk bernafas. Kawasan hijau tersebut sering disebut dengan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) (Prasetyo, 2012).
Ruang terbuka hijau kota merupakan
bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung.
Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota,
kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau
pekarangan. Ruang terbuka hijau diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan
berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya (Fandeli, 2004).
Keberadaan RTH di wilayah perkotaan
adalah untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem
hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain. RTH sangat
diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara bersih bagi masyarakat
serta menciptakan estetika kota. Luas minimal RTH di wilayah perkotaan agar
dapat menjalankan proses-proses ekologis tersebut minimal 30 persen dari total
luas wilayah kota, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Tiga puluh persen dari wilayah kota tersebut terdiri atas RTH
publik (20 persen) dan RTH privat (10 persen).
Menurut Joga (2011), RTH adalah
bagian dari ruang terbuka (open space)
yang diklasifikasikan sebagai ruang atau lahan yang mengandung unsur dan
struktur alami. RTH ini dibedakan dalam dua macam, yaitu :
- RTH Alami
Penggunaannya lebih bersifat terbuka/
umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.
RTH alami terdiri atas daerah hijau yang masih alami (wilderness areas), daerah hijau yang dilindungi agar tetap dalam
kondisi alami (protected areas), dan
daerah hijau yang difungsikan sebagai taman publik tetapi tetap dengan
mempertahankan karakter alam sebagai basis tamannya (natural park areas).
- RTH Binaan
RTH binaan terdiri atas daerah hijau
di perkotaan yang di bangun seebagai taman kota (urban park areas), daerah hijau yang dibangun dengan fungsi
rekreasi bagi warga kota (recreational
areas), dan daerah hijau antara bangunan maupun halaman-halaman bangunan
yang digunakan sebagai area penghijauan (urban
development open spaces). Khusus daerah hijau di kawasan perkotaan dapat
dikembangkan sebagai plaza, square,
jalur hijau jalan, maupun sabuk hijau kota (greenbelt).
2.4 Fungsi RTH
Tumbuhan merupakan salah satu komponen penting kehidupan. Baik di
desa maupun di kota, keberadaan tumbuhan sebagai penyedia lingkungan biologis
tidak bisa digantikan oleh apapun. Oleh karena itu dibentuk RTH di perkotaan
yang pada umumnya diisi oleh tumbuhan yang bertujuan untuk mendukung manfaat
ekologis, sosial-budaya, dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi
(kesejahteraan) bagi masyarakatnya.
Fungsi dan manfaat RTH sebagai infrastruktur hijau di
wilayah perkotaan akan sangat berperan dalam pembangunan perkotaan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Pembangunan RTH sebagai di wilayah
perkotaan dapat meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman,
segar, indah, dan bersih, sebagai sarana lingkungan perkotaan; menciptakan
keserasian lingkungan alami dan lingkungan binaan yang berguna untuk
kepentingan masyarakat; dan menciptakan kota yang sehat, layak huni, dan
berkelanjutan (liveable, habitable,
sustainable).
Disamping itu, RTH sebagai infrastruktur hijau memiliki
fungsi beragam, antara lain sebagai berikut (Joga, 2011) :
- Konservasi tanah
dan air: keberadaan RTH sangat penting
untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah, menyuplai cadangan air tanah,
dan mengaktifkan siklus hidrologi di tengah-tengah pembangunan kota.
- Ameliorasi iklim:
Keberadaan tanaman dan unsur air sebagai unsur utama RTH juga diperlukan
agar mampu menciptakan iklim mikro yang lebih baik.
- Pengendali
pencemaran: Keberadaan RTH dapat
mengendalikan bahan pencemar (polutan), sehingga tingkat pencemaran dapat
ditekan dan konsentrasi karbon dioksida dapat berkurang.
- Habitat satwa dan
konservasi plasma nutfah: Pemilihan jenis
tanaman yang tepat dapat menjadikan RTH sebagai habitat satwa liar
(burung, serangga), tempat konservasi plasma nutfah, dan keanekaragaman
hayati.
- Sarana kesehatan,
olahraga, rekreasi dan wisata: Taman
kota, taman lingkungan, hutan kota, maupun kebun binatang sangat berperan bagi
kehidupan warga dari rutinitas dan kejenuhan dalam bekerja.
- Area evakuasi
bencana: Taman, halaman, lapangan bola,
dan lahan RTH lainnya dapat digunakan sebagai area evakuasi warga saat
terjadi bencana seperti gempa bumi, banjir, ataupun kebakaran.
- Pengendali tata
ruang kota: RTH sebagai kawasan
preservasi atau konservasi yang berbentuk jalur hijau dapat dijadikan alat
pengendali tata ruang kota dengan fungsi sebagai sabuk hijau (green belt) atau jalur hijau
pembatas kawasan maupun pembatas wilayah kota.
- Estetika:
Unsur tanaman yang bersifat alami dapat memperlembut kesan keras (rigid) arsitektur bangunan di
daerah perkotaan. Unsur air diwujudkan menjadi air mancur, air terjun,
kolam hias, dan bentuk kolam lainnya untuk memperindah daya tarik
lingkungan perkotaan.
2.5 RTH di Kota Bandung
Sebelum kemerdekaan Kota Bandung
terkenal cukup nyaman sebagai tempat tinggal dengan taman-taman yang cukup
Iuas, karena pada mulanya Kota Bandung adalah suatu kota di Indonesia yang
dirancang dengan sangat sempurna sebagai kota taman, berdasarkan konsep
Ebenezer Howard, dimana taman kota dan Iingkungan hijau merupakan elemen yang
sangat diperhatikan dalam perencanaan (Kunto, 1986).
Ruang Terbuka Hijau
Tahun 1906-1942
Pada masa ini Kota Bandung mengalami
perluasan pada tahun 1906 seluas 240 Ha menjadi 1.600 Ha pada tahun 1942,
dengan prosentase luas lahan terbangun sebesar 51,59 % dari luas kota.
Pembangunan RTH di Kota Bandung berdasarkan klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
a. Park
Taman yang pertama di Kota Bandung
adalah Plesterpark (Taman Merdeka),
yang dibangun tahun 1985 di depan Gedung Papak (Balaikota). Taman ini berbentuk
bujursangkar seluas hampir 2 Ha.
Pada tahun 1891 dibangun Molekunpark (Taman Maluku) dengan luas
sekitar 2,4 Ha, Gelora Saparua dan Ijjemanpark
(Taman Ganesha) dengan luas 1,9 Ha berbentuk oval. Kemudian pada tahun 1920
dibangun Insulinde Park (Taman Lalu
Lintas) dengan luas 38.600 m2.
Tahun 1930 dibangun juga sebuah taman
yaitu Jubileumpark atau Taman Sari
seluas 6 Ha, yang pada tahun 1934 taman tersebut diisi dengan berbagai jenis
binatang.
b. Plein
Plein
yang ada di Kota Bandung antara lain
Houtmanplain (Lapangan Ciujung), Pandawaplein
(Lapangan Pandawa), Tjitaroemplein
(Lapangan Citarum), Sabangplein, Orchideenplein (Taman Anggrek), Sitrumplein (Taman Bangsawan), Rotgansplein (Lapangan Dr. Often), Oranjeplein (Taman Pramuka), lapangan
Tikukur, Tengku Umar, Mangga dan Salam. Luas taman tersebut bervariasi antara
1.000 m2 sampai 12.500 m2.
c. Plantsoen
Plantsoen
yang terluas di Kota Bandung adalah Tjibeunying
Nord dan Tjibeunyingplantsoen Zuld
atau lebih terkenal dengan Taman Cibeunying Utara dan Selatan yang merupakan
bagian dari kompleks gedung sate yang dibangun pada tahun 1920-an dan memiliki
luas sekitas 4,2 Ha yang lain adalah Tjiboenoetplantsoen
(Taman Cibunut).
d. Stanstuin
Stanstuin
adalah kebun bibit milik Gemeente, tempat persemaian berbagai macam pohon
pelindung, tanaman keras, tanaman bias, bunga dan lahan tempat budidaya
berbagai jenis rumput. Stanstuin yang ada pada masa itu adalah di Kebon Bibit
Jalan Taman Sari.
e. Lapangan
Olahraga
Lapangan olahraga yang dibangun pada
masa ini adalah Lapangan Gelora, Lapangan Lodaya, Lapangan Persib, Lapangan UNI
dan Lapangan Pacuan Kuda di Tegallega yang luasnya rata-rata sekitar 2,4 Ha
kecuali Lapangan Tegallega luasnya sekitar 18 Ha.
Ruang Terbuka Hijau
Tahun 1945-1968
Pada masa ini luas lahan terbangun Kota
Bandung sekitar 1.870 Ha atau 23,09 % dari Iuas lahan kota, tetapi pada tahun
1968 Iuas lahan terbangun sebesar 4.434 Ha, atau 54,76 % dari luas kota. Pada
masa ini peningkatan ruang terbuka hijau lebih diartikan kepada perbaikan,
penambahan fasilitas baru di ruang terbuka hijau yang telah ada sehingga terjadi
perubahan fungsi dan manfaat.
Peningkatan pada masa ini ada dua yaitu:
1.
Taman Lalu Lintas dari taman biasa menjadi tempat rekreasi yang tetap mempertahankan keberadaan botani desain asli
taman tersebut.
2.
Taman Tegallega, dari arena pacuan kuda menjadi pusat fasilitas olahraga
terbesar di Kota Bandung.
Ruang Terbuka Hijau
Tahun 1968-1983
Pembangunan kola mulai terlihat,
terutama untuk memenuhi kebutuhan karena bertambahnya jumlah penduduk yang
mengakibatkan bertambahnya kebutuhan lahan terbangun yang semula 4.434 Ha lahan,
terbangun menjadi 7.000 Ha, terutama di Bandung Bagian Selatan, Barat dan
Timur. Pada masa ini tidak banyak peningkatan yang diiakukan, yang ada hanyalah
merupakan perawatan terhadap ruang terbuka hijau yang telah ada. Adapun ruang
terbuka hijau yang mengalami renovasi adalah sebagai berikut.
»
Taman Kodya, mengalami
perubahan dari lapangan menjadi taman dan tempat parkir kantor pemerintahan
Kota Bandung.
»
Lapangan Tegallega,
mengalami perubahan pada tahun 1976 dari pusat penyelenggaraan upacara resmi
menjadi pusat rekreasi yang dilengkapi dengan berbagai jenis permainan,
restoran, kios dan kolam renang. Kemudian pada tahun 1982 dirubah menjadi
Monumen Bandung Lautan Api.
»
Taman Lalu Lintas
dibenahi besar-besaran dengan mempertahankan fungsi sebelumnya sebagai tempat
rekresai dan belajar anak-anak.
»
Taman Pramuka, yang
tadinya hanya berupa lapangan dirubah menjadi ternpat kegiatan pramuka.
»
Lapangan olahraga
Padjadjaran, yang asalnya kuburan diubah menjadi lintasan lari dan gedung
olahraga.
»
Taman Cibeunying, yang
semula sebagai jalur penyangga diubah sebagai tempat berjualan bunga.
Ruang Terbuka Hijau
Tahun 1983-1992
Awal masa ini ditandai dengan
dicanangkannya Bandung "BERHIBER".
Pada masa ini luas areal Kota Bandung mengalami perubahan menjadi
16.729. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya peningkatan yang terjadi berupa
perbaikan, penambahan fasilitas dan penyediaan fasilitas dari ruang terbuka
hijau. RTH yang mengalami peningkatan di antaranya yaitu :
1.
Taman yang diperbaiki,
ditanami jenis tanaman baru, ditata ulang, serta Iebat, berfungsi sebagai taman
pasif adalah : Taman Anggrek, Taman Wirayuda, Taman Tugu KTT (Taman Pajajaran),
Taman Cilaki, Taman Alun-alun, Taman Cibeunying Selatan, Taman Maluku, Taman
Setiabudi/Cipaganti, Taman Panathayuda, Taman Dr. Otten.
2.
Taman yang ditambah
fasilitas bermain dan olahraga, sehingga berfungsi sebagai taman aktif, yaitu :
Taman Bagusrangin, Tarnan Anggrek, Taman Cempaka.
3.
Lapangan yang
dilengkapi dengan fasilitas olahraga yang lebih memadai, yaitu : Gelora
Saparua, Lapangan Gasibu, Lapangan Tikukur, Lapangan Lembu, Lapangan Pelanduk,
Lapangan Macan, Lapangan Teuku Urnar dan Lapangan Supratman.
Selain banyak terjadi peningkatan,
taman yang berada di Kota Bandung juga banyak yang mengalami perubahan guna
lahan menjadi pasar, pom bensin, sekolah, masjid, pos polisi, perumahan, serta
perkantoran.
Ruang
Terbuka Hijau Tahun 1992-2011
Berdasarkan kategori ruang terbuka
hijau Kota Bandung yang tersebar di enam wilayah kota saat ini tidak merata
dengan luas RTH yang beragam di masing-masing wilayah. Berdasarkan data tahun
2007, wilayah kota yang memiliki ruang terbuka hijau terluas adalah Satuan
Wilayah Pembangunan (SWP) Ujungberung (351,76 Ha). Sementara SWP Karees
merupakan wilayah dengan luasan RTH terkecil (26,77 Ha). Wilayah-wilayah
lainnya memiliki proporsi luas antara kedua wilayah tersebut adalah SWP
Bojonegara seluas 76,78 Ha; SWP Cibeunying seluas 57,57 Ha; SWP Tegalega seluas
67,75 Ha; dan SWP Gedebage seluas 28,29 Ha.
Ruang terbuka hijau yang terdapat pada
tiap wilayah tersebut tersebar di 30 kecamatan dengan proporsi luas yang
berbeda berdasarkan kategorinya. Perbedaan tersebut disebabkan rencana
pengembangan kota di masing-masing kecamatan disesuaikan dengan karakteristik
lokasi dari setiap kecamatan. Kecamatan RTH terluas adalah Kecamatan Cicadas
dengan luas 145,12 Ha dan yang terendah adalah Kecamatan Kiaracondong (0,18 Ha),
sedangkan kecamatan lainnya berkisar antara 1,5 – 16 Ha.
Jaringan RTH yang terbangun diharapkan
akan meningkatkan kuantitas dan kualitas konektivitas RTH di Kota Bandung. Pada
akhirnya peningkatan struktur dan fungsi RTH ini dapat meningkatkan layanan
ekologi RTH yang mampu mendukung keberlanjutan lingkungan Kota Bandung.
Saat ini Kota Bandung baru memiliki
sekitar 1.700 Ha RTH. Sedangkan idealnya RTH untuk kota yang memiliki luas
16.729,65 Ha ini adalah sekitar 6.000 Ha. data Badan Pengendalian Lingkungan
Hidup 2007, ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini tersisa 8,76 persen.
Padahal idealnya sebuah kota harus memiliki ruang terbuka hijau seluas 30
persen dari total luas kota, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
Menurut data Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Bandung 2006, akibat berkurangnya persentase ruang terbuka
hijau di Bandung, setiap tahun permukaan tanah di Kota Kembang ini menyusut
sekitar 42 sentimeter. Di Babakan Siliwangi sendiri permukaan air tanah berada
pada kedudukan 14,35 meter dari sebelumnya 22,99 meter.
Singkatnya, kondisi hutan Kota Bandung
benar-benar kritis, jauh dari angka ideal yang dibutuhkan warga kota yang telah
mencapai lebih dari 2,3 juta jiwa. Istilah lainnya, wilayah RTH di Kota Bandung
ini masih sedikit. Dan saat ini jumlah pohon perlindung sebanyak 229.649 pohon.
Padahal, idealnya kata Kepala Dinas Pertamanan Kota Bandung, Drs. Ernawan,
jumlahnya 920.000 pohon pelindung atau 40% dari jumlah penduduk.
BAB III
KESIMPULAN
Ruang Terbuka Hijau sebagai salah satu
solusi untuk permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan dapat meningkatkan
kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, dan bersih,
sebagai sarana lingkungan perkotaan; menciptakan keserasian lingkungan alami
dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat; dan
menciptakan kota yang sehat, layak huni, dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Fandeli, Chafid., Kaharuddin.,
Mukhlison. 2004. Perhutanan Kota.
Jogjakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
Hakim, Rustam. 2013. Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau.
http://rustam2000.wordpress.com/ruang-terbuka-hijau/. Diakses pada 08 Maret
2013. Bandung.
Joga, Nirwono., Iwan Ismaun. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung:
PT Granesia.
Prasetyo, Muslim. 2012. Esensi Ruang Terbuka Hijau.
http://www.pantonanews.com/3000-esensi-ruang-terbuka-hijau. Diakses pada 09
Maret 2013. Bandung.
0 komentar " ", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment