TUGAS
TATA GUNA BIOLOGI
KEPITING
BAKAU SEBAGAI KEYSTONE SPECIES DALAM EKOSISTEM MANGROVE
Di
Susun Oleh :
Nurmaryati
Simamora 140410100003
Randi
Hendrawan
140410100013
Frisca
Yanari 140410100042
Lisda
Mawarni Sihotang 140410100069
Erry
Azhari 140410100096
JURUSAN
BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
SUMEDANG
2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK
DAFTAR ISI i
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang 1
1.2 Maksud
dan Tujuan 2
1.3 Identifikasi
Masalah 2
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian
Keystone Species 3
2.2 Hutan
Mangrove 5
2.3 Morfologi
Kepiting 6
2.4 Daur
Hidup Kepiting 10
BAB III. HASIL DAN
PEMBAHASAN
3.1 Hasil 12
3.2 Pembahasan 13
BAB IV. KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
ABSTRAK
Keystone species adalah spesies
yang keberadaannya
menyumbangkan suatu keragaman
hidup, dan kepunahannya
secara konsekuen menimbulkan kepunahan untuk
kehidupan organisme lain. Hutan
mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi
tidak terpengaruh oleh iklim.Berdasarkan penelitian, tujuan dilakukannya studi
mengenai keystone species ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan
kepiting di dalam ekosistem mangrove.Hasil yang didapatkan dari penelitian
adalah kepiting bakau dapat dijadikan sebagai spesies kunci yang mendukung
serta menyokong keberadaan ekosistem hutan mangrove.Mereka memainkan
peran yang besar
dalam struktur komunitas yaitu
dalam meningkatkan daur karbon pada tumbuhan mangrove dan sebagai penyedia
nutrisi pada mangrove melalui bantuan mikroba hasil peluruhan seresah yang
dihasilkan oleh cabikan kepiting, serta mengingkatkan konsentrasi sulfida dan
amonium di dalam tanah sehingga menurunkan produktifitas keluaran reproduktif
dari mangrove. Metode yamg digunakan adalah dengan studi literatur dengan data
yang diperoleh melalui berbagai sumber yaitu buku, artikel, jurnal dan laporan
penelitian.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spesis kunci adalah spesies dalam ekosistem
tertentu yang memegang peranan penting dalam memelihara kestabilan suatu
ekosistem dimana jika spesies tersebut punah maka ekosistem tersebut akan goyah
atau menjadi tidak seimbang, sehingga akan menyebabkan punahnya spesies lain
dalam ekosistem tersebut.
Menurut Power & Mills dalam Prianto
(2007) spesies kunci (keystone species) adalah
suatu spesies yang menentukan kehidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata lain spesies kunci adalah
spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan kepunahannya
secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain.
Dalam kedudukannya sebagai suatu ekosistem
antara darat dan lautan, hutan mangrove memiliki peranan menjaga keseimbangan
biota laut dan darat.Hutan mangrove merupakan lingkungan hidup yang baik bagi
petumbuhan udang, tempat berlindung benih ikan bandeng, dan sebagai tempat
penggantian kulit kepiting (Scylla
serrata), rajungan (Neptunus
palagicus), yang semuanya itu merupakan potensi produktivitas laut
(MacKinnon, et al., 2000).
Seluruh fauna yang hidup di dalam ekositem
hutan mangrove mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan
ekologi.Sekian banyak fauna yang hidup terdapat beberapa spesies kunci
(keystone species) yang memegang peranan yang sangat penting.Salah satu spesies
tersebut adalah kepiting yang hidup di dalam ekosistem mangrove. Kepiting
diusulkan sebagai keystone species di kawasan hutan mangrove karena setiap
aktivitasnya mempunyai pengaruh utama pada berbagai proses paras ekosistem.
Peran kepiting di dalam ekosistem hutan mangrove diantaranya mengkonversi
nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi oksigen di dalam
tanah, membantu daur hidup karbon, serta tempat penyedia makanan alami bagi
berbagai jenis biota perairan (Prianto, 2007).
Ekosistem
mangrove merupakan suatu ekoton yang terletak pada daerah pertemuan antara
ekosistem laut dan ekosistem daratan, oleh karena itu ekosistem mangrove memiliki
karakteristik yang unik dengan faktor-faktor lingkungan yang menggambarkan
lingkungan darat dan laut, dan kekhasan sendiri terutama faktor lingkungan yang
sangat berfluktuatif.Kawasan hutan mangrove memiliki fungsi sebagai penghambat
intrusi air laut, gelombang ataupun angin yang merusak ekosistem darat.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem terbuka, terjadi pertukaran materi dan
energi dengan ekosistem laut dan daratan
Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan hutan mangrove
karena setiap aktivitasnya mempunyai pengaruh utama pada berbagai proses paras
ekosistem (McGuinness 1992).Peran kepiting di dalam ekosistem hutan mangrove diantaranya
mengkonversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi oksigen
di dalam tanah, membantu daur hidup karbon, serta tempat penyedia makanan alami
bagi berbagai jenis biota perairan (Prianto, 2007).
1.2
Maksud dan Tujuan
Maksud dari
pembuatan makalah ini adalah untuk mempelajari bagaimana peran spesies kunci
dalam pembangunan yang bertujuan untuk mengetahui peranan kepiting sebagai salah
satu contoh spesies kunci dalam ekosistem hutan mangrove.
1.3
Identifikasi Masalah
a. Bagaimana
peranan Keystone Species pada pembangunan suatu ekosistem.
b. Bagaimana
peranan kepiting sebagai Keystone Species dalam ekosistem mangrove.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Keystone Species
Keystone
adalah stone (batu) pada puncak suatu archa yang menyokong
batu-batu lain dan
menjaga seluruh archa dari
kerubuhan. Keystone species adalah spesies
dimana keberadaan sebagian besar spesies lain yang ada dalam suatu
ekosistem tergantung. Jika suatu
keystone spesies hilang atau musnah dari
suatu sistem, spesies yang tergantung kepadanya juga akan
hilang. Keystone species bisa berasal
dari top carnivores
(karnivora puncak) yang menjadi
penjaga keberadaan mangsa, herbivora besar yang membentuk suatu sistem dengan spesies lain,
tumbuhan tertentu yang
menyokong kehidupan serangga tertentu
yang menjadi mangsa burung, kelelawar
yang menyebarluaskan biji-bijian tanaman, dan banyak lagi
organisme lain. Konsep Keystone species menjadi arus
utama dalam
literatur-literatur ekologi dan
biologi konservasi sejak diperkenalkan pertama
kali oleh Profesor
Robert T. Paine seorang ahli
zoologi pada tahun 1969. Keystone species biasanya terlihat
bila hilang atau diambil dari satu ekosistem, menghasilkan perubahan
yang dramatis terhadap spesies yang tertinggal dalam
komunitas itu. Fenomena ini
diamati pada ekosistem
dan organisme dalam kisaran
yang luas. Keystone species adalah suatu
spesies yang kelulushidupan sejumlah
spesies lain tergantung
kepadanya.
Keystone species adalah spesies
yang keberadaannya
menyumbangkan suatu keragaman
hidup dan yang kepunahannya secara
konsekuen menimbulkan
kepunahan bentuk kehidupan
lain. Keystone species adalah spesies yang dampaknya
terhadap komunitas dan ekosistem
tempat dia hidup
sangat besar, dan
tak seimbang dengan kelimpahannya
(Power dan Mills 1995).
Mereka memainkan peran
yang besar dalam struktur komunitas.
Keystone species adalah spesies
yang memperkaya fungsi ekosistem
dalam suatu cara yang unik dan nyata melalui
aktivitasnya, dan efeknya
adalah ketidakseimbangan
terhadap kelimpahan numeriknya. Kepunahan atau
diambilnya spesies ini
menyebabkan bermulanya
perubahan pada struktur
ekosistem dan selalu mengurangi keragaman
(diversitas). Keystone species memiliki beberapa aspek khusus
yang membuat mereka lebih berarti dalam suatu ekosistem.Sebagai contoh,
tumbuhan dengan jumlah
biomassa yang besar (kanopi yang rimbun) adalah penting, bukan merupakan
suatu keystone species. Tetapi di
ekosistem sub-tidal, kepunahan atau
pengambilan bintang laut secara besar-besaran dapat
menyebabkan predator lain
berkembang pesat dan
menyapu bersih berbagai
jenis alga yang hidup
di ekosistem itu.
Dengan demikian bintang laut
adalah keystone species.
Sulit untuk meramalkan atau
mengetahui apakah spesies
tertentu adalah keystome species.
Biasanya baru akan
disadari setelah spesies itu punah atau diambil dari ekosistem itu, dan
akan terlihat efeknya. Hal itu memperlihatkan bahwa banyak sistem
memiliki keystone species,
tetapi itu belum banyak diketahui
oleh banyak orang. Konsep ini dapat diterapkan
terhadap kelompok spesies dan juga satu individu spesies.
Pakar-pakar
ilmu pengetahuan tentang ekologi mengerti bahwa komunitas hidup baik tumbuhan
maupun hewan tergantung secara kuat pada salah satu yang lain untuk lulus
hidup. Tumbuhan memberikan unsur hara esensial dan energi
untuk hewan yang
memakan tunas atau memamah
daun-daunnya dan, akhirnya,
karnivora memakan herbivora ini. Bila tumbuhan dan hewan mati, fungi,
mikroba, dan organisme lain menambang unsur hara dari jaringan yang mati dan
mengembalikan unsur kimia ke tanah. Terjadi pengayaan baru, tanah menjadi
siap kembali menyokong
generasi lain dari tumbuhan dan hewan. Tumbuhan dan hewan
saling terkait pada banyak paras dan dalam cara
yang hampir tak
terbatas. Berbagai spesies
tumbuhan, misalnya, menyandarkan diri kepada hewan – serangga, kelelawar, hewan
pengerat dan yang lainnya – untuk membawa pollen dan pembuahan biji. Dan,
berbagai hewan mengharapkan tumbuhan sebagai shelter (tempat berteduh) –
percabangan untuk tempat meletakkan
sarang atau tumbuhan
yang tinggi untuk menghindari diri dari predator atau
penyergapan mangsa. Begitu pula, akar menahan tanah untuk melawan erosi,
menjaga terjadinya pelumpuran masuk ke aliran dan air tetap jernih untuk
kehidupan ikan dan organisme lain.
Di dalam
suatu habitat, setiap
spesies berhubungan dengan dan
tergantung pada spesies lain, dan masing-masing spesies menyumbang kepada
integritas seluruh habitat itu. Beberapa
spesies memberikan layanan esensial yang juga unik terhadap
habitatnya. Tanpa kerja dari spesies
kunci ini, perubahan habitat akan
terlihat nyata dan berpengaruh.
Pakar ilmu pengetahuan menyebut spesies yang memainkan
peran amat penting ini dengan nama
“keystone species”. Kepunahan
atau lenyapnya suatu keystone dari ekosistem akan memicu hilangnya
spesies residen yang lain, dan hubungan yang rumit diantara
spesies residen yang
tinggal menjadi terlepas dan
terurai. Dalam efek domino ini, spesies akan hilang seperti
mengalirnya air, hilangnya
satu spesies akan diikuti oleh
spesies lain. Gajah rupanya merupakan keystone species pada padang rumput
Afrika. Ini berarti, tanpa gajah, padang rumput berhenti jadi
padang rumput, akan
ditumbuhi oleh tumbuhan berkayu,
berubah menjadi hutan atau semak belukar.
Sebagai keystone species,
gajah menghalangi perubahan
padang rumput menjadi hutan atau belukar
dengan melakukan penyiangan pohon dan semak. Gajah memakan tunas-tunas
tumbuhan berkayu, merenggut pohon-pohon muda sampai
keakar-akarnya. Cepat atau lambat
gajah akan mendorong
tumbuhan yang besar, merenggut tanaman yang kecil, atau
membunuh secara perlahan.
Sebagai
pengganti dari usaha gajah mencegah terjadinya penghutanan padang rumput, gajah
berpesta pora dengan rumput yang menghijau.
Pemamahan ini tidak
akan merusak padang rumput
– telah terjadi
keharmonisan antara padang rumput
dan perumput. Rumput
hidup menyenangkan dengan perumput
dengan pengorbanan sedikit
daunnya untuk menjaga akar dan pertumbuhan. Rumput dan perumput hidup dalam
keharmonisan. De Leo dan Levin (1997) memberikan diskripsi yang baik tentang
konsep Keystone species
dan kelompok fungsional. Smirnova
(1998) mencatat, “dinamika populasi keystone species merupakan
suatu pola mosaik suksesi
vegetasi”. Daur ulang
energi dan materi didominasi oleh
aktivitas hidup keystone
species, dan aktivitas ini
menentukan perubahan utama
pada skala spatial atau
temporal di tempat
dimana spesies itu terdapat. Mosaik populasi dari spesies
kunci memiliki dimensi spatial dan
temporal yang paling
besar, dan mosaik populasi
dari spesies yang
di bawahnya ditentukan oleh
spesies kunci. Perlu digarisbawahi bahwa kita mengusulkan keystone species hanya spesies yang
populasinya menyokong atau secara
esensial mengubah pola
vegetasi ekosistem (Khanina 1998).
2.2 Hutan Mangrove
Hutan
mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi
tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak
di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan
masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik
yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan
untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak
yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga
: Avicennie, Sonneratia,
Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis,
Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata
mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau
masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas
(pasang surut air laut); dan kedua
sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak
rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas
hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan.Hutan mangrove oleh masyarakat
sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali
(1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau
merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya
dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak
yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam
suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies
mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999).Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and
Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa
komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada
faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut,
ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2.3
Morfologi Kepiting
Kepiting adalah binatang crustacea berkaki
sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa
Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali
tersembunyi di bawah thorax. Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda,
Sub Phylum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata
dan Infraorder Brachyura. Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton
(kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit.
Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka
ragam, dari pea crab, yang lebarnya
hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan
kaki hingga 4 m (Anonim, 2008).
Menurut
Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam
tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan (Gambar 1 dan 2). Pada bagian
kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting
memiliki struktur chelipeds yang
berbeda-beda. Chelipeds dapat
digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang
dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting
juga ditutupi dengan Carapace.Carapace merupakan kulit yang
keras atau dengan istilah lain exoskeleton
(kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan
insang.
Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama
dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di
hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida),
perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh
maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapace
tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari
pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun
dengan struktur yang berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi
untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari
struktur yang lunak terletak di bagian bawah carapace. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagain depan carapace.
Gambar 1. Tubuh bagian dorsal kepiting dewasa (Sumber: Quinitio & Parado, 2003).
Kepiting bakau ukurannya bisa mencapai lebih dari 20 cm. Sapit pada jantan dewasa lebih panjang dari pada sapit
betina. Kepiting yang bisa berenang ini terdapat hampir di seluruh perairan
pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove, di daerah tambak air payau,
muara sungai, tetapi jarang ditemukan di pulau-pulau karang (Nontji, 2002). Disamping morfologi sapit, kepiting jantan dan betina
dapat dibedakan juga berdasarkan ukuran abdomen, dimana abdomen jantan lebih
sempit dari pada abdomen betina (Gambar 4).
Irmawati
(2005) melaporkan bahwa, kepiting bakau dapat diidentifikasi dengan mengamati
ciri-ciri meristik dan morfometril serta pola warna dengan mengacu pada kunci
identifikasi Keenan, Carpenter dan Niem (l998). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa berdasarkan warna, bentuk duri pada frontal dan jumlah duri pada karpus,
teridentifkasi 3 spesies kepiting bakau di kawasan Mangrove Sungai Keera
Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, yaitu Scylla
olivacea, Scylla serrata dan Scylla paramamosain dimana Scylla olivacea adalah jenis yang
dominan, yaitu 92% dari total sampel. Terdapat perbedaan karakter meristik yang
dimiliki oleh ketiga spesies kepiting bakau yang ditemukan di kawasan mangrove
tersebut.
Sebagian besar kepiting yang hidup di mangrove
memperlihatkan adaptasi morfologis saat bernafas ketika berada di darat. Ukuran
insang kepiting berkorelasi dengan habitat dan aktivitas metabolik. Spesies
intertidal di daerah temperate
umumnya telah mereduksi luas insang dibanding dengan spesies akuatik. Gejala
ini terjadi pada spesies kepiting mangrove Ocypode
dan Uca yang mempunyai beberapa
filamen insang dibanding kerabat dekatnya di spesies akuatik. Filamen insang
mengeras sebagai pemelihara bentuk, orientasi
dan fungsi tubuh bila kepiting keluar dari air. Celah insang menjadi
vaskular dan dapat berfungsi sebagai paru-paru. Kepiting ini memompa udara
melalui udara yang tertahan di dalam celah insang yang harus diperbaharui
secara teratur dengan sering masuk ke dalam air (Hutching, dan Saenger, 2001 dalam Prianto, 2007).
Menurut
Prianto (2007) bahwa, bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan rambut
sebagai indera penerima.Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh tetapi
sebagian besar bergerombol pada kaki jalan.Untuk menemukan makanannya kepiting menggunakan
rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang
kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak
langsung dengan makanan, chelipeds
dengan cepat menjepit makanan tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki alat penerima sinyal yang
sangat sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia. Kepiting mengandalkan
kombinasi organ perasa untuk menemukan makanan, pasangan dan menyelamatkan diri
dari predator.
Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari
beberapa ribu unit optik. Matanya terletak pada tangkai, dimana mata ini dapat
dimasukkan ke dalam rongga pada carapace
ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat mendengar dan
menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai spesies ketika masa
kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya
untuk menarik perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas,
hal ini digunakan untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan
lainnya.
2.4
Daur Hidup Kepiting
Seperti
hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya saja
sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting
betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang
betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa
bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat
(bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan
ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen).
Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa
spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian
menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan
zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea
agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup
sebagai plankton dan melakukan moulting
beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar
perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007). Daur hidup kepiting dapat dilihat
pada Gambar 5.
Daur hidup kepiting meliputi telur, larva (zoea dan
megalopa), post larva atau juvenil, anakan dan dewasa (Gambar 5 dan 6).
Perkembangan embrio dalam telur mengalami 9 fase (Juwana, 2004). Larva yang
baru ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip udang dari pada kepiting .
Di kepala terdapat semacam tanduk yang memanjang, matanya besar dan di ujung
kaki-kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoae ini juga terdiri dari 4 tingkat
untuk kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang lain lagi. Larva kepiting
berenang dan terbawa arus serta hidup sebagai plankton (Nontji, 2002). Beberapa
hasil penelitian menyebutkan bahwa larva kepiting hanya mengkonsumsi
fitoplankton beberapa saat setelah menetas dan segera setelah itu lebih
cenderung memilih zooplankton sebagai makanannya (Umar, 2002). Keberadaan larva kepiting di perairan dapat menentukan
kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif terhadap
perubahan kualitas perairan (Sara, dkk., 2006).
Gambar 5. Daur hidup kepiting (Sumber:
httpwww.nio.org.gif, 2008).
Gambar 6.
Siklus hidup rajuangan dan Scylla sp.
(Sumber: Juwana, 2004)
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Beberapa peran kepiting sebagai keystone
species di dalam ekosistem
mangrove, adalah sebagai berikut:
1.
Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi
menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran
detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini
menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur akan
berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan detrivor,
mikroba sebagai pengurai;
2.
Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun berbagai
jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat
perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam mencari
makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk komunikasi antar
vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan oksigen yang masuk ke
substrat yang lebih dalam sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik;
3.
Membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon bergerak
masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat penting
dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur biogeokimia
karbon, selain dalam proses respirasinya;
4.
Penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan ratusan
bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam satu kali
pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biota-biota perairan,
seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti melayang-layang
dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi ikan-ikan karnivora.
3.2
Pembahasan
Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan
hutan mangrove karena
spesies yang aktivitasnya mempunyai pengaruh utama pada berbagai proses paras
ekosistem (McGuinness 1992).
Smith
et al. (1991) mengusulkan bahwa kepiting bisa mendiami posisi kunci (keystone)
dalam ecologi hutan mangrove Australia.Konklusi ini didasarkan atas hasil
kajian terakhir yang memperlihatkan efek penting invertebrta ini terhadap daur
karbon pada komunitas mangrove, dan terhadap struktur hutan.
Peran
potensial kepiting, dan invertebrata lain, dalam daur materi pada komunitas
mangrove telah banyak dikenal untuk waktu lama. Aspek feeding biology pada kepitng
Chiromanthes onychophorum menyimpulkan bahwa kepiting bisa menjadi agen
yang nyata dalam mendegradasi daun mangrove menjadi partikel-partikel ukuran detritus dalam rawa-rawa dimana kepiting
itu hidup.
Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamidy (2002) diketahui bahwa
kepiting di kawasan hutan mangrove
memegang peran dalam pemanfaatan serasah, melalui konsumsi dan pemendaman
serasah daun. Energi detritus yang berasimilasi di dalam tubuh kepiting yang
diubah menjadi jaringan atau produk reproduktif menjadi material yang dapat
dimanfaatkan oleh konsumen tingkat tinggi. Peran yang sedemikian rupa dapat
menyimpulkan bahwa kepiting merupakan keystone species di kawasan hutan
mangrove..
Dari
63% serasah daun yang tertinggal di lantai hutan, lebih kurang 36% dimanfaatkan
oleh makrofauna bentik (kepiting), tercabik-cabik menjadi fragmen, dan
mengalami peluluhan. Peran yang dimainkan kepiting dalam struktur dan fungsi
ekologis di kawasan hutan ini dapat terlihat dari pemanfatan serasah, baik itu
dimanfaatkan oleh untuk dikonsumsi maupun membawa serasah masuk ke dalam
lubang. Di samping itu, peran lain yang dimainkan kepiting dalam fungsi daerah
asuhan (“nursery ground”) adalah melalui penyediaan larvanya sebagai sumber
makanan bagi hewan lain.
Pada
kawasan hutan mangrove terlihat adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara
daun yang gugur yang akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting
sebagai konsumen dan detrivora, dan mikroba sebagai pengurai. Hubungan antara
kepiting (konsumen) dan pengurai merupakan interaksi yang sangat dekat (Hamidy,
2002).
Kepiting
membantu mencabik-cabik serasah yang akan mempermudah pengurai dalam
aktivitasnya. Hasil peluluhan ini akan dimanfaatkan oleh mikroba itu sendiri,
tetapi yang paling penting adalah merupakan umpan balik ke tumbuhan sendiri
(mangrove) guna memperoleh nutrisi dari hasil pengurai tersebut.
Dari
diskusi yang disebut di atas, kepiting mampu memodifikasi lingkungan kawasan
hutan mangrove dengan cara antaralain :
·
Memanfaatkan serasah sebagai sumber
makanan
·
Menghasilkan fragmen (cabikan) serasah
·
Membuat lubang sebagai “bioturbator”
yang merupakan pengendali ekosistem sedimen.
Ketiga
kemampuan ini menempatkan kepiting memegang peran dalam suatu ekosistem atau
lingkungan (keystone species).
Kepiting
juga mempunyai efek langsung melalui kemampuan mereka menggali lubang.
Percobaan yang dilakukan oleh Smith et al.
(1991) menunjukkan bahwa pengurangan kelimpahan kepiting di suatu kawasan hutan
mangrove akan meningkatkan konsentrasi sulfida dan amonium dalam tanah, dan
menurunkan produktivitas keluaran reproduktif oleh mangrove.
Dapat
disimpulkan bahwa kepiting berfungsi dalam mengkonservasi nutrien dalam sistem
dan mempertinggi mineralisasi melalui proses pencabikan serasah yang akan
mempermudah dan mempercepat peluluhan oleh mikroba. Tantangan utama keilmuan
adalah mengevaluasi arti penting keragaman kehidupan dalam tanah dan sedimen
untuk fungsi ekosistem, misalnya mengidentifikasi “keystone species”.Dari hasil
kajian, kepiting ternyata memegang peran sebagai “keystone species” di kawasan
hutan mangrove, namun belum dapat ditentukan dengan pasti spesies mana yang
memegang peran itu.
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1.
Peranan Keystone Species pada
pembangunan suatu ekosistemadalah spesies yang memperkaya fungsi ekosistem
dalam suatu cara yang unik dan nyata melalui aktivitasnya, dan efeknya adalah
ketidakseimbangan terhadap kelimpahan numeriknya. Kepunahan atau diambilnya
spesies ini menyebabkan bermulanya perubahan pada struktur ekosistem dan selalu
mengurangi keragaman (diversitas).
2.
Peranan kepiting sebagai Keystone
Species dalam ekosistem mangrove adalah sabagai :
·
Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi.
·
Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah.
·
Membantu daur hidup karbon.
·
Penyedia makanan alami.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1.
2008. Crab life Cycle .www.nio.org.gif. 2008. Crab
Life Cycle, (Online), (diakses 15 Mei 2006).
Anonim 2.
2008. Kepiting, (Online),
(http://mangrove.unila.ac.id, diakses 21 April 2008).
A. Webb, Conservation and Development
Issues in NorthAustralia, Australian National University Press, p. 55-62.
Hamidy, R. 2002. Transpor
materi dari serasah mangrove dengan kajian khusus pada peran kepiting
Brachyura. Disertasi. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis
Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo
Sulawesi Selatan, Lembaga
Penelitian UNHAS,
(Online),
(http://www.unhas.ac.id,
diakses 30 April 2008).
Juwana, S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan
Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan lapangan, Prosiding Simposium
Interaksi Daratan dan Lautan.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Levinton,
J. S. 1977. The ecology of
deposit-feeding communities: Quisset Harbor, Massachusetts, in Ecology of
Marine Benthos (ed. B. C. Coull), University of South Carolina, Columbia, p.
191- 228.
MacKinnon, K.,
Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta.
McGuinness,
KA 1992. Disturbance and the mangrove
forest of Darwin Harbour. In: I. Moffatt, A. Webb, Conservation and
Development Issues in North Australia, Australian National University Press,
p.55-62.
Nontji, A.
2002. Laut Nusantara.Penerbit
Djambatan. Jakarta.
Prianto, E. 2007.Peran Kepiting Sebagai
Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove.Prosiding Forum
Perairan Umum Indonesia IV.Balai
Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Sara, L. dkk.2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the Lawele Bay,
Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian
Fisheries Science, (Online),Vol. 19; 331-347, (www.asianfisheriessociety.org,
diakses 1 Mei 2008).
Smith III, T. J., K. G. Boto, S. D. Frusher
& R. L. Giddins 1991.Keystone species
and mangrove forest dynamics: the influence of burrowing by crabs on soil
nutrient status and forest
Smirnova,
O. V. 1998.Population organization of
bioscience design of forest landscapes. Uspehi sovremennoj biologii
118:148-165. (In Russian with English resume).
Umar, N.A. 2002. Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton (Kopepoda)
dengan Larva Kepiting di Perairan Teluk Siddo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan,
(Online), IPB.
0 komentar " ", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment