HARI KARTINI: PEREMPUAN MASIH DIJADIKAN OBJEK EKSPLOITASI
*** Industri televisi masih menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi. Penggunaan objek eksploitasi ini sangat terasa ketika kita menyaksikan tayangan sinetron di televisi.
Demikian rangkuman wawancara Media dengan pengamat media Veven SP Wardhana, psikolog Tika Bisono, serta aktor sekaligus sutradara film Slamet Rahardjo di Jakarta, kemarin. Mereka dimintai komentarnya secara terpisah mengenai wajah perempuan Indonesia di televisi, terkait Hari Kartini 21 April.
Veven menegaskan, sebagai pihak yang selalu intensif mengamati tayangan televisi, ia belum pernah menemui tokoh perempuan yang digambarkan secara ideal. Padahal, para pemodal serta pekerja seni televisi selalu menjadikan perempuan sebagai tokoh sentral yang dipastikan dapat menyedot perhatian penonton.
"Intinya, gambarannya sangat gurem. Penokohan yang diberikan tidak jauh dari peran antagonis, yang kejahatannya sangat tidak mendidik. Mereka berbuat buruk tanpa sebab yang jelas serta dengan tingkah laku yang sangat tidak cerdas pula. Begitu pula dengan perempuan sebagai protagonis, mereka selalu digambarkan lemah serta dependen. Jika tidak begitu, peran sentral perempuan diberikan pada tokoh psedo manusia, arwah-arwah, atau jagoan silat," kata Veven.
Senada dengan Veven, Tika juga menyoroti sejumlah sinetron drama yang umumnya mempertontonkan persekongkolan kejahatan, antara ibu mertua serta anak-anaknya sebagai tokoh antagonis. Mereka menganiaya tokoh protagonis yang umumnya digambarkan sebagai figur yang rapuh, lemah, sendu, serta bergantung pada bantuan dari orang-orang di sekelilingnya.
Pola penokohan tersebut, kata Tika, dianut oleh hampir seluruh tayangan sinetron drama. Selain jelas kurang kreatif, penokohan peran seperti itu jelas jauh dari kesan perempuan cerdas yang patut diteladani.
"Mana mungkin bisa diteladani jika yang satu selalu berbuat jahat tanpa henti. Tokoh lainnya, hanya bisa menangis menanti bantuan dari lelaki. Belum lagi dengan tampilan seronok kaum perempuan tanpa konteks jelas, sehingga sangat kentara bahwa itu hanya dipicu oleh keinginan untuk mengeksploitasi," ungkap Tika.
Kondisi itu, kata Veven, jelas sangat jauh dari gambaran figur perempuan Indonesia yang sebenarnya. Baik di kalangan masyarakat modern maupun tradisional, eksistensi perempuan Indonesia sangat diakui. Bahkan, tak jarang mereka menjadi kepala keluarga, serta harus berjuang keras memadukan karier mereka dengan kehidupan rumah tangga.
"Kendati harus diakui bahwa memang sebagian perempuan juga tengah terpuruk, menjadi korban kekerasan rumah tangga. Namun, jenis penderitaan yang digambarkan di televisi ternyata jauh dari kondisi realitas tersebut. Benar-benar membodohi sehingga nyaris tak ada pesan moral yang dapat dipetik," tandas Veven.
Gambaran buruk:
Di sisi lain, Slamet menegaskan, buruknya penggambaran tokoh perempuan sangat berpengaruh pada konstruksi nilai-nilai masyarakat. Pasalnya, tayangan televisi, terutama sinetron masih menjadi sarana hiburan utama bagi masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah ke bawah.
"Gambaran perempuan yang buruk, jahat, lemah, dan mengandalkan pesona fisik akan dengan mudah diserap oleh publik. Inilah yang membuat pandangan masyarakat kita terhadap perempuan kita belum membaik. Ingat, tontonan akan jadi tuntutan. Jika yang dilihat selalu buruk, bagaimana masyarakat kita bisa lebih baik," tegas Slamet.
Veven dan Slamet menyarankan agar publik tidak berhenti menyuarakan kritiknya pada televisi, termasuk industri sinetron. Produser sinetron selaku pemilik modal harus terus didesak untuk tidak terus-menerus mengedepankan keuntungan namun justru mengabaikan misi edukasi.
Idealnya, kata Veven, baik pemodal maupun pelaku seni televisi memiliki perspektif gender yang jelas. Pemahaman tepat pada posisi perempuan sangatlah vital bagi mereka sebagai pihak yang memiliki akses langsung ke ruang keluarga setiap rumah di Indonesia.
Pentingnya pemahaman itu, lanjut Veven, seharusnya juga disadari oleh para petinggi industri televisi yang umumnya adalah perempuan. Ia menengarai paham emansipasi kalangan eksekutif industri televisi itu hanya diterapkan untuk diri mereka sendiri, bukan untuk kaumnya.
"Sudah seharusnya para petinggi industri televisi, yang mayoritas perempuan, memiliki kepedulian yang lebih tinggi terhadap realitas perempuan dalam bingkai televisi. Pada siapa lagi kita berharap, selain kepada mereka. Karena berharap pada kaum laki-laki yang bergerak di industri televisi, jelas sulit," tukas Veven. (miol)
21.02.2005 13:28:18
PERJUANGAN PEREMPUAN INDONESIA
Nafas Perjuangan
Nafas perempuan Indonesia adalah nafas perjuangan. Sejarah mencatat andil kaum perempuan dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak terbilang besarnya. Sebut saja Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika. Atau jauh di seberang Tanah Jawa ada Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Nanggroe Aceh Darussalam dan Martha Tiahahu dari Maluku. Ada juga Rasuna Said, Nyi Ageng Serang, Maria Walanda Maramis, Nyai Achmad Dahlan, para pejuang di dunia pendidikan. Atau SK Murti di bidang politik dan Fatmawati di bidang sosial dan budaya.
Raden Ajeng Kartini, misalnya, adalah salah satu pelopor kebangkitan kaum perempuan Indonesia terkemuka. Dia membungkus idealisme-nasionalisnya dalam bentuk keprihatinannya melihat kaumnya yang tertindas. Dengan penekanan pada faktor emansipasi perempuan, pada abad XIX Kartini muda menulis sebuah buku terkenal berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Dalam buku tersebut di antaranya Kartini menulis untuk memperjuangkan emansipasi kaumnya, cuplikannya:
“… Kami di sini meminta, ya memohon, meminta dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki …”
Semerbak Bermunculan
Benih yang ditanam Kartini menuai hasil. Berpuluh tahun kemudian, sekitar tahun 1912, organisasi-organisasi perempuan Indonesia semerbak bermunculan. Mereka berbicara tentang hak dan kewajiban yang sama dalam mempertahankan dan membangun negeri ini di masa depan yang lebih cemerlang, bersama-sama dengan kaum laki-laki.
Tak cuma dalam bentuk ide, bicara, lalu berlalu. Keberadaan organisasi perempuan ini kemudian disatukan dalam “Kongres Perempuan Indonesia”. Kongres pertama digelar tahun 1928 di Yogyakarta, dan mendeklarasikan “Tuntutan terhadap upaya peningkatan kondisi perempuan dan persyaratan perkawinan berdasarkan emansipasi dan penghapusan penindasan”. Setahun kemudian diselenggarakan kongres kedua di Jakarta. Bandung menjadi tempat ketiga digelarnya kongres.
Ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, yang kemudian dikukuhkan pemerintah sebagai hari nasional, adalah buah karya para peserta kongres ketiga. Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pun lahir pada 1946, setahun setelah Kemerdekaan. Kaum perempuan Indonesia terwadahi sudah. Sejak itu bermunculan organisasi kewanitaan lainnya, hingga pada 1978 pemerintah menilai penting membentuk Kantor Menteri Muda Peranan Wanita, embrio Kementerian Pemberdayaan Perempuan saat ini. (sara)
SIAPA SAJA BERHAK MELINDUNGI DAN LAPOR POLISI
Sejak UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga terbit, siapa saja dapat melindungi korban dan melaporkan kasus itu ke polisi. Kelak, tak ada lagi ketidak pedulian masyarakat terhadap korban tindak kekersan dalam rumah tangga.
Manjelis Umum PBB di tahun 1993 mendeklarasikan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Deklarasi itu meliputi penghapusan terhadap kekerasan fisik, psikologis, ekonomi dan seksual. Sejalan dengan itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kekerasan sudah tidak lagi memadai untuk mengatur kekerasan yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga secara umum dapat diartikan sebagai segala bentuk perilaku yang menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis dan seksual pada seseorang yang berada dalam lingkup rumah tangga. Termasuk tindakan pemaksaan kehendak atau perampasan hak kemerdekaan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hubungan kekuasaan dengan korban.
Sejak deklarasi PBB itu dikeluarkan, berbagai konvensi internasional untuk penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan diterbitkan. Di Indonesia, pada November 1999 pernah ditandatangani Deklarasi Kesepakatan Bersama Antar Negara dan Masyarakat untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Belakangan, kalangan akademisi, aktivis perempuan dan masyarakat mendesak pemerintah agar segera menerbitkan UU yang berkaitan dengan itu.
Bertolak dari sana, UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau disingkat KDRT, diterbitkan pemerintah bersama DPR-RI (UU ini merupakan inisiasi DPR) beberapa waktu lalu. Salah satu hal yang “menarik” dalam UU ini, adalah pengaturan tata cara melaporkan dan pengajuan perkara KDRT, yang selama ini tidak diatur dalam UU manapun.
Pihak-pihak yang dapat melaporkan terjadinya peristiwa KDRT adalah korban, masyarakat, petugas pelayanan kesehatan. Korban, dengan segala tingkat usia, adalah seorang perempuan atau pihak lain yang tersubordinasi dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Selain berhak melaporkan secara langsung, korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga, atau orang lain, untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
UU KDRT memberikan peran lebih besar kepada masyarakat, di mana antara lain mereka memiliki hak untuk memberikan perlindungan kepada korban, mendampinginya untuk mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan lainnya, melapor ke polisi dan membantu proses permohonan dikeluarkannnya perintah perlindungan dari pengadilan.
Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban tanpa diskriminasi. Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga social atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perlindungan dari pengadilan. Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian bekerjasama dengan lembaga penyedia layanan pendampingan korban.
Perlindungan sementara itu diberikan dalam tenggang waktu tujuh hari. Selanjutnya dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan itu, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perintah perlindungan tersebut wajib disampaikan dalam waktu 1 x 24 jam kepada korban dan pendampingnya.
Dalam hal kepolisian melakukan penyelidikan atau penyidikan KDRT sedang berlangsung, kepolisian harus mendahulukan penyelesaian perkara KDRT tersebut., walaupun ada tuntutan balik yang diajukan pelaku. Tuntutan balik adalah pelaporan balik pelaku yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya, karena korban tidak mempunyai saksi atau alat bukti yang lain.
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Polisi wajib memberikan surat perintah penangkapan dan penahahan setelah 1 x 24 jam. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan dimaksud.
Korban KDRT dapat mengajukan gugatan ganti rugi, jika kasus KDRT menimbulkan kerugian bagi korban. Hakim dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi bersama perkara KDRT.
Salah satu pasal dalam UU KDRT juga menyebutkan, bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap kasus KDRT dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU KDRT. Jerat hukum sudah dipasang. (sara)
PEREMPUAN DAN PERGUMULANNYA
Bersinergi dengan Kesehatan
Dewasa ini, kondisi perempuan Indonesia secara umum memprihatinkan. Betapa tidak, sedikitnya 50 persen perempuan masih mengalami anemia, dan 18 persen kekurangan energi kalori. Parahnya lagi, aborsi masih terjadi dan dilakukan lebih dari 2 juta perempuan. HIV/AIDS juga menjadi ancaman perempuan dengan jumlah penderita terus meninkat.
Kondisi buruk ini diperparah lagi oleh tingginya angka kematian ibu (AKI) akibat hamil dan melahirkan. Bahkan di tingkat ASEAN, kasus AKI di Indonesia tertinggi. Simak saja hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997, maka akan didapat angka 340 per 100.000 kelahiran hidup.
Celakanya, AKI bersinergi dengan usaha-usaha peningkatan status perempuan, kesetaraan dan keseimbangan gender serta kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana. Berarti, di banyak sektor kehidupan, perempuan Indonesia belum benar-benar menghirup udara segar kehidupan.
Bersinergi dengan Pendidikan
Kemauan memajukan perempuan memang membutuhkan sebuah proses panjang. Karenanya, sejak adanya kementerian perempuan tahun 1978 hingga kini, persoalan perempuan di sektor pendidikan masih terus menuntut perhatian. Tidak saja dari kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki, karena perempuan yang tidak/belum pernah mencicipi bangku SD, misalnya tahun 2001, ada sebanyak 13,5 persen, dan sebesar 32,1 persen adalah perempuan yang tidak tamat SD.
Di tingkat SLTP, persentase perempuan yang tamat SLTP hanya sebesar 13,7 persen. Ketika menginjak jenjang pndidikan SMU/SMK, perempuan yang menamatkan pendidikannya masih terbilang rendah, hanya 14,9 persen. Jumlah ini semakin mengerucut untuk perempuan yang lulus Diploma (DII dan DIII) yang hanya 1,42 persen, sedangkan yang lulus Sarjana (S1-S3) hanya 1,40 persen. Selebihnya adalah perempuan-perempuan yang hanya mengantongi ijazah SD, SLTP atau sama sekali tak memiliki ijazah, alias putus sekolah di tingkat sekolah dasar atau sama sekali tak bersekolah.
Bersinergi dengan Ekonomi
Di bidang ekonomi, perempuan selalu menjadi korban, yaitu korban dari setiap perubahan ekonomi. Keterpurukan ekonomi telah membawa perempuan dalam perjuangan untuk terus menghidupi keluarga. Pekerjaan apapun dilakukannya, semisal pembantu rumah tangga, atau menjadi pekerja seks komersial. Bahkan, mengadu nasib di negeri lain sebagai Tenaga Kerja Wanita banyak menjadi pilihan perempuan, terutama mereka yang berpendidikan rendah.
Tingginya angka partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 51 persen, ternyata tidak menjadikan mereka terposisikan dengan baik. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal. Dalam pengupahan, kebanyakan perempuan menerima upah setengah kali lebih rendah dari laki-laki.
Proses marginalisasi yang mengakibatkan pengambilalihan bidang garapan, misalnya pada rentang 1985-1990, ikut memberi kontribusi tergusurnya perempuan dari sektor pertanian. Persentase perempuan pedesaan yang mengerjakan lahan sendiri menjadi turun dari 20,6 persen ke 0,3 persen. Sedangkan yang menjadi buruh tani turun dari 23,9 persen menjadi 22,5 persen. Marginalisasi itu sebaliknya meningkatkan jumlah kaum perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga dari 42,4 persen menjadi 47,7 persen (Kantor UPW, Indikator Sosial Indonesia tahun 1991).
Keadaan tersebut tidak banyak berubah pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan hasil Survey Sosial dan Ekonomi (BPS, 1995), hampir 50 persen perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tak dibayar. Angka dan fakta tersebut menunjukkan, bahwa perempuan hanya dimanfaatkan sebagai sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasar demi kepentingan ekonomi negara, dan bukan untuk kepentingan perempuan. Padahal, di masa krisis, perempuan telah memberikan kontribusi besar melalui usaha kecil, menengah dan sektor informal. Walau kontribusinya besar, perhatian untuk mereka tetap saja terbatas.
Bersinergi dengan Trafficking
Perdagangan perempuan dan anak atau dikenal sebagai trafficking, adalah perbuatan yang perlu diperangi. Pemerintah selalu berusaha untuk memerangi masalah ini. Pasalnya, Indonesia telah mendapat stempel dunia internasional sebagai salah satu negara terburuk dalam menangani trafficking.
Data tentang trafficking memang sangat sulit diperoleh. Namun ibarat fenomena gunung es, diyakini kasus trafficking yang tidak terungkap di Indonesia jumlahnya jauh lebih besar. Berikut adalah data yang terpantau.
Jumlah perempuan dan anak yang diperdagangkan diperkirakan mencapai· 700 ribu – 1 juta orang per tahun (Global Watch Against Child Labour, 2002).
Pada 1999 terdapat 1.712 kasus perdagangan perempuan di delapan kota,· yaitu Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Manado.
Sejumlah 1.390 kasus di antaranya telah diajukan ke pengadilan. Pada· tahun 2000-2001, jumlahhya menurun tapi kasusnya telah meluas ke 18 provinsi di Sumatera, Jawa, Bali, kalimantan, Sulawesi, NTB, bahkan Papua. (Data Mabes Polri).
Diperkirakan ada 40.000 – 150.000 pelacur anak, atau sekitar 30· persen dari jumlah pelacur secara keseluruhan (Unicef Indonesia)
Sedikitnya 2 persen dari lima juta pekerja migran indonesia adalah· hasil traggicking (US Dept. of State, Trafficking in Person Report, 12 Juli 2001).
ILO/IPEC memperkirakan, tahun 2000 ada sekitar 6-8 juta anak di bawah· 15 tahun dieksploitasi untuk bekerja, ribuan di antaranya dipaksa bekerja di jermal di Sumatera Utara. Anak-anak tersebut harus hidup terisolir di laut dan bekerja selama 12-20 jam per hari (US Dept. of State, Human Rights Report, 1998, 2001).
Terdapat sekitar 13.000 anakan jalanan di Jakarta. Kota-kota lain· seperti Medan, bandung, Surabaya, Makassar dan Yogyakarta adalah kota dengan anak jalanan yang cukup besar (US Dept. of State, Human Rights Report 2001).
Sebagian besar pembantu rumah tangga berusia di bawah 15 tahun, dan· diperkirakan berjumlah 1,5 juta anak-anak adalah pembantu rumah tangga. Pada 1998 jumlah itu semakin bertambah sebagai dampak krisis ekonomi. ILO memperkirakan jumlahnya sekitar lima juta anak-naka PRT.
Korban trafficking untuk pengantin pesanan (mail order bride) banyak· terjadi di Kalimantan Barat. Dari 1987-2001 telah terjadi 20.000 perkawinan pria Taiwan dengan pengantin pesanan dari Kalimantan Barat. Meski disebut “pengantin”, pada kenyataannya banyak yang dipaksa bekerja seperti pembantu rumah tangga dan kerja paksa. Mereka dijadikan “pengantin” agar majikan tidak perlu membayar pajak.
Korban trafficking untuk tujuan adopsi (bayi dan anak-anak)· belakangan semakin meningkat. Menurut Polda Kalbar, sudah puluhan bayi di bawah satu tahun dari Pontianak dijual ke Malaysia Timur. Bayi tersebut dijual dengan harga Rp 32 –35 juta per bayi.
Bersinergi dengan Politik
Dalam politik, posisi tawar perempuan juga lemah. Telusuri saja anggota legislatif, eksekutif, yudikatif dan perwira tinggi TNI/Polri di tingkat pusat, sangatlah minim perempuan. Di tingkat daerah, apalagi. Perempuan masih jauh dari jabatan politis (gubernur/wagub, bupati, walikota/wakil), dan jabatan karir (sekda/asisten selaku eselon I, biro selaku eselon II, camat/lurah).
Saat ini perempuan anggota DPR-RI hanya 42 orang (8,3%), MPR 60 orang (9,1%), DPA 1 orang (2,5%), MA 7 orang (14,8%), KPU 2 orang (18,1%), wakil gubernur 2 orang, bupati/wakil 7 orang, duta besar 4 orang dan ketua umum partai politik 1 orang. Tak seorang pun perempuan menjabat gubernur atau eselon I BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Perempuan yang menduduki jabatan eselon I hingga III di lembaga eksekutif pada jabatan struktural pegawai negeri sipil di tahun 1995 ternyata hanya 1.211 orang atau 7,2 persen. Di tahun 1997, secara proporsional justru menurun menjadi 6,98 persen dari 7,2 persen pada 1995, meski secara absolut jumlahnya meningkat menjadi 1.883 orang dari sebelumnya 1.211 orang.
Kondisi yang sama juga terlihat di lembaga yudikatif. Tahun 1996, jumlah hakim perempuan sebanyak 536 orang atau 16,19 persen dari jumlah seluruh hakim 3.311 orang. Di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hanya 35 orang atau 23,35 persen dari 150 orang hakim adalah perempuan.
Keterwakilan perempuan di DPRD Tk.I dan DPRD Tk.II periode 2000-2004, menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan sampai dengan 8 Januari 2003, sebesar 10 - 13 persen berada di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara; 6 – 10 persen Banten, Sulawesi tenggara, Bengkulu, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan; 4 – 6 persen Babel, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan, Maluku Utara, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Papua; lebih kecil dari 4% adalah NTB, kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nanggro Aceh Darussalam, Bali, NTT dan Kalimantan Tengah.
Minim perempuan, itulah anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif negeri ini. Sunguh ironis karena kesertaan perempuan dalam pemilu, misalnya tahun 1999 lalu, melebihi pria, mencapai sekitar 57 persen. Lebih ironis lagi, justru keterwakilan perempuan di legislatif periode pemilihan 2000-2004 rata-rata tidak melebihi 5 persen.
Kesenjangan yang cukup besar antara kaum perempuan dan laki-laki di tiga lembaga negara itu menunjukkan, bahwa kebijakan pemberdayaan perempuan di Indonesia masih dipegang oleh kaum laki-laki, yang bisa jadi buta gender. Akibatnya, aspirasi dan kepentingan perempuan dalam pembangunan bangsa kerap kurang terakomodasi. Kondisi “miskin” perempuan juga terlihat di hampir seluruh partai politik saat ini. Baru satu partai politik memiliki ketua umum dari kalangan perempuan.
Patriarki, sub-ordinasi perempuan, persepsi bahwa public domain telah melekat pada laki-laki dan bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara laki-laki dan pemerintahan dan bukan warga negara dengan pemerintahan, telah menyingkirkan kalangan perempuan – meskipun hak-haknya dijamin oleh hukum, demokrasi partisipatori, dan retorika politik pemerintahan yang baik. (sara)
PEKERJAAN RUMAH YANG MENUMPUK
Perempuan dan Isu Sentral
Perempuan Indonesia memang tiada lelah mencatatkan kiprahnya di bumi Indonesia. Tahun 2002, misalnya, boleh dibilang sebagai tahunnya perempuan. Betapa tidak, sepanjang tahun itu banyak isu perempuan diangkat kepermukaan dan dibahas di kalangan pemerintah, legislatif maupun masyarakat luas, sebagai salah satu isu sentral nasional. Kalangan DPR dan MPR, misalnya, lebih banyak membahas isu perempuan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Hasil Sidang Tahunan MPR 2002 mencatat beberapa hal yang memberikan kecerahan bagi perjuangan kaum perempuan. Tap MPR No II Tahun 2002 tentang rekomendasi untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, dan Tap MPR No. VI Tahun 2002, telah mencantumkan gender sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi, penyelesaian masalah TKI di luar negeri, dan penyelesaian masalah perdagangan perempuan dan anak.
Dukungan dana pembangunan untuk pemberdayaan perempuan juga diusulkan ditingkatkan. DPR-RI menyambut positif usulan itu, dan telah memberikan dukungan dalam RAPBN 2003 untuk program pemberdayaan perempuan. Disamping itu, telah pula dibangun komitmen bersama antara Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan sembilan sektor terkait terhadap 32 program pembangunan untuk Repeta 2003 yang direformulasikan dan dinyatakan responsif gender.
Pada dasarnya, semua setuju untuk memajukan perempuan, merupakan hal baik jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya yang lebih banyak mempertanyakan: mengapa perempuan harus dibicarakan panjang lebar. Hasil jajak pendapat Media Indonesia (22 Desember 2002), misalnya, menunjukkan 66 persen responden menyatakan setuju dengan prinsip kesetaraan gender. Di sisi lain, 65 persen menyatakan yakin prinsip kesetaraan gender berpengaruh terhadap pengembangan kualitas perempuan.
Perempuan dan Regulasi
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum 2004 yang responsif perempuan boleh disebut sebagai kemenangan kaum perempuan Indonesia. UU baru ini memang berpihak kepada perempuan. Pasal 65 Ayat 1 mencantumkan bahwa: “Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”.
Momentum “kemenangan” perempuan dalam UU Pemilu 2004 menandai kebangkitan kaum perempuan Indonesia. UU ini telah membuka kesempatan secara hukum bagi perempuan dalam kehidupan politik. UU ini juga merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Tap MPR/2002, hasil perjuangan panjang perempuan, sebuah upaya menumbuhkan budaya demokratik, dan hak perempuan yang jumlahnya separuh dari jumlah pemilih pada Pemilu.
Ada catatan penting lainnya di sepanjang 2002, yakni disahkannya UU tentang Perlindungan Anak menjadi UU. UU ini memberikan lebih besar kepastian hukum dalam melindungi generasi penerus yang tingkat kesejahteraannya harus dibangun menjadi SDM yang mumpuni , dan mampu bersaing dalam ekonomi global.
Saat ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan tengah mencoba menyusun satu rancangan UU anti trafficking. Kelak UU tersebut diproyeksikan akan mampu membatasi perdagangan tenaga kerja perempuan. Sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah membentuk Komite Anti Trafficking Nasional. Dalam wadah ini berkumpul berbagai stakeholder.
Sejauh ini, baru ada Keppres No 88/2002 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Anti Trafficking. Perundang-undangan ini nantinya akan semakin memperkuat keberadaan UU No.7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Anak.
Ada hal lain lagi yang kini tengah dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Yakni, mengidentifikasi perundang-undangan yang diperkirakan bias gender. Maklum, di negara yang masih memegang nilai-nilai patriarki atau “machismo”, banyak UU yang menempatkan perempuan pada situasi sub-ordinasi dan marjinal. Sedikitnya 11 UU telah dikaji dan dilihat bagian-bagiannya yang masih bias gender. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan mitra kerjanya instansi pemerintah dan organisasi masyarakat, telah mngusulkan perbaikan pada UU tersebut. Sayangnya, proses perubahannya tidak mudah. Masih perlu perjuangan untuk mewujudkannya.
UU yang telah dikaji adalah UU No 62/1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No 9/1995 tentang Usaha Kecil, UU No 9/1992 tentang Keimigrasian, UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 2/1999 tentang Partai Politik, UU No 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU No 25/1997 tentang Ketenagakerjaan, UU No 8/1981 tentang Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana.
Dua UU yang sudah dikaji adalah UU No 3/1999 jo UU No 4/2000 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2/1989. Kedua UU ini telah direvisi dan menjadi UU tentang Pemilihan Umum 2004 dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. Nuansa mengedepankan perempuan tergambar dalam kedua UU tersebut.
Kekerasan terhadap perempuan adalah bagian lain yang juga mendapat perhatian ekstra Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kasus kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di mana saja, namun terbanyak ada di dalam keluarga. Pada 2001, misalnya, terdapat 471 kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam keluarga, dan pada 1996 terjadi 34 kasus pembunuhan terhadap istri oleh suami yang dilaporkan kepada polisi (kalyanamitra, dalam surat kabar).
Perempuan dan Pendidikan
Kemauan untuk memajukan kaum perempuan Indonesia terlihat demikian besar beberapa tahun belakangan ini. Angka melek huruf penduduk perempuan, misalnya, diproyeksilkan akan meningkat dari 84,1 persen pada tahun 1999 menjadi 95 persen pada tahun 2004. Menurut proyeksi data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan angka melek huruf lebih besar terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.
Program wajib belajar 6 tahun yang mulai dicanangkan pemerintah tahun 1984, adalah salah satu program yang telah memberikan kontribusi signifikan pada kenaikan angka melek huruf kaum perempuan Indonesia dari tahun ke tahun. Program wajib belajar 9 tahun yang diluncurkan pada 1994 -- selain ikut pula mempertajam peningkatan angka melek huruf perempuan -- telah berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah (APS) anak usia SD (7-12 tahun) menjadi sekitar 92 persen pada 1999.
Partisipasi perempuan pada jenjang pendidikan 10 tahun ke atas mengalami kemajuan luar biasa. Data pada tahun 2001 menunjukkan, semua perempuan telah ikut program wajib belajar 9 tahun. Bahkan, perempuan yang tidak tamat SD lebih sedikit dibanding laki-laki, dengan perbandingan 32,1 persen perempuan, dan laki-laki 32,9 persen laki-laki.
Demikian halnya untuk perbandingan perempuan dan laki-laki yang tamat SLTA mulai seimbang, yakni 52:48. Keseimbangan yang sama juga terjadi untuk perempuan yang lulus Diploma (DII dan DIII), dengan perbandingan perempuan 1,42 persen dan laki-laki 1,53 persen.
Kecenderungan semakin berdayanya perempuan di sektor pendidikan juga terpantau indikator lamanya perempuan di sekolah, yang rata-rata terus naik dan menjadi 6,1 tahun pada tahun 1999, untuk kemudian diproyeksikan naik lagi menjadi 9 tahun pada tahun 2004.
Indikasi keberhasilan lainnya tentang perempuan di sektor pendidikan, adalah lebih dari 25 persen kepala sekolah SD diduduki kaum perempuan, lebih dari 10 persen kepala sekolah SLTP dijabat kaum perempuan, dan lebih dari 7 persen kepala sekolah SLTA adalah kaum perempuan. Indikasi keberhasilan lainnya adalah lebih dari 50 persen guru SD hingga SLTA telah mendapat pengetahuan KKG dan KPA.
Perempuan dan Kesehatan
Kondisi hidup dan kehidupan perempuan Indonesia makin hari terus membaik, seiring perjuangan kaum perempuan untuk lebih banyak lagi mendapat ruang bernafas di negeri 2005 jiwa ini. Di bidang kesehatan, untuk menekan angka kematian ibu karena hamil, nifas dan melahirkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan menerapkan Gerakan Sayang Ibu (GSI). GSI merupakan kegiatan bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Gerakan Sayang Ibu juga bertujuan menaikkan gizi dan menurunkan angka kematian bayi, telah mampu menggerakkan masyarakat untuk aktif terlibat dalam berbagai kegiatan GSI serta mampu menggali ide-ide baru dalam pelaksanaannya dengan inisiatif masyarakar. Satu di antaranya adalah membuat Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), membuat pemetaan ibu hamil dan donor darah, dan menyediakan Ambulan Desa.
Untuk mendukung GSI dikembangkan program pendukung Suami Siaga (Suami Siap Antar Jaga), di mana suami sudah menyiapkan biaya pemeriksaan dan persalinan, siap mengantar istri ke pemeriksaan dan tempat melahirkan serta siap menjaga dan menunggui saat istri melahirkan.
Seiring dengan intervensi yang dilakukan pemerintah, NGO, dan institusi lain, angka kematian ibu melahirkan (AKI) diproyeksikan turun dari 334/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2000 menjadi 399/100.000 pada tahun 2004. Angka kematian ibu memang bersinergi dengan usaha-usaha peningkatan status perempuan, kesetaran dan keseimbangan gender serta kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.
Trend menggembirakan ini juga diikuti oleh menurunnya angka aborsi. Bila pada tahun 1999 jumlah aborsi di Indonesia sebanyak 2 juta kasus, maka pada tahun 2004 diproyeksikan turun menjadi hanya 1 juta kasus. Satu pencapaian yang terus diupayakan melalui berbagai intervensi program, seperti Gerakan Sayang Ibu, keluarga berencana, konseling remaja dan perkawinan tentang bahaya aborsi, dan meningkatkan pendidikan kaum perempuan.
Keberhasilan pemberdayaan perempuan di sektor kesehatan juga terlihat pada indikator persalinan yang ditolong tenaga medis. Dari data yang ada, menunjukkan adanya kenaikan dari 58 persen persalinan ditolong tenaga medis pada 1999, akan menjadi 70 persen pada 2004. Intervensi yang dilakukan adalah menggiatkan penyuluhan ke tengah masyarakat, khususnya di pedesaan, dan menyediakan lebih banyak lagi pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat, bersama tenaga medisnya.
Pemberdayaan perempuan di sektor kesehatan telah berhasil meningkatkan usia harapan hidup perempuan. Jika pada tahun 1999 usia harapan hidup perempuan adalah 66 tahun, maka pada tahun 2004 diproyeksikan meningkat menjadi 70 tahun.
Kegiatan pemberdayaan perempuan di sektor kesehatan di Indonesia juga terkait dengan upaya-upaya membangun secara utuh hidup sehat seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah pula menyusun pedoman pemberdayaan perempuan dalam memerangi penyalahgunaan NAPZA. Juga memfasilitasi peningkatan peran perempuan anti NAPZA di empat provinsi, yakni Riau, Jateng, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Perempuan dan Ekonomi
Upaya memperjuangkan agar perempuan mendapat lebih banyak ruang terus dijalankan pemerintah dan berbagai kalangan masyarakat. Di bidang ekonomi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah melakukan pengarusutamaan peningkatan produktifitas ekonomi perempuan secara khusus dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, terutama dalam pelaksanaan pilot project Buton dan Sampang.
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah pula meluncurkan program peningkatan kepekaaan dan kesadaran perusahaan. Dengan Perumtel dan Pos Indonesia, telah dilaksanakan program pemberdayaan ekonomi di Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat. Termasuk pula melakukan perintisan Model Desa Prima di Desa Sangkan Hurip, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dalam bentuk model pengurangan biaya pendidikan dan kesehatan keluarga miskin.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan proyek percontohan P3EL di lima provinsi: Sumsel, Kalbar, Jatim, NTB, dan Sulsel. Tujuan proyek ini untuk memberikan pilihan dan alternatif kepada masyarakat dalam peningkatan pemberdayaan perempuan melalui kegiatan ekonomi produktif dalam upaya pengembangan ekonomi lokal.
Dari modal awal di tahun 2001 sebesar Rp 4 miliar, hingga Agustus 2002 modal yang bergulir pada proyek P3EL telah berkembang menjadi Rp 5,6 miliar atau meningkat 40,77 persen. Kegiatan ekonomi produktif ini berhasil menumbuh-kembangkan sebanyak 612 kelompok ekonomi produktif perempuan.
Berkaitan dengan itu, telah pula dicapai kesepakatan antara Gubernur Bank Indonesia dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan tentang pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah. Salah satu butir penting kesepakatan itu adalah dibentuknya Service Provider Management Unit dan Business Development Service (BDS).
Kesepakatan pembentukan BDS dituangkan dalam piagam kerjasama yang ditandatangani antara kedua pejabat pemerintah itu dan para pihak pada 23 Desember 2002, yakni Himbara, Perbanas, Perbarindo, PT PNM, BKKBN, Kadin dan Iwapi.
Service Provider Management Unit dan Business Development Service menyediakan jasa perbankan dan jasa lain untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam usaha ekonomi produktif. Lembaga yang untuk kali pertama dibentuk ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kecil dalam bidang ekonomi, terutama kaum perempuan yang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, meningkatkan kualitas anak-anak mereka.
Sejalan dengan pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi, pemerintah juga memperhatikan para nasib para pengungsi perempuan (dan anak). Dalam upaya mengurangi penderitaan perempuan, telah disusun pedoman penanggulangan pengungsi, serta memfasilitasi penanggulangan di lima provinsi: Jatim, NTB, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
Pembentukan “trauma center” adalah upaya nyata Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam penanganan pengungsi. Wadah ini dibentuk bekerjasama dengan LSM, dan tugasnya memberikan bantuan psikologis, fisik maupun psikis terhadap perempuan dan anak korban konflik.
Saat ini telah dibangun tiga “trauma center” di daerah konflik Maluku Utara, dan satu di Ambon. Dibangun pula di Belu dan Kupang (perbatasan Timor Leste dan NTT), termasuk masing-masing satu di Pidie maupun Lhokseumawe. Rencananya di daerah rawan GAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga akan membentuk wadah serupa. Karena status Aceh masih darurat militer, sementara ini kementerian tersebut tidak terlibat langsung di daerah rawan itu.
Selepas masa krisis di daerah-daerah krisis, Kementerian Pemberdayaan Perempuan akan “membumikan” program pemberdayaan perempuan di sektor usaha ekonomi keluarga. Bantuan dalam bentuk kredit permodalan akan mengucur pasca krisis. Dalam menggulirkan program ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan LSM.
Perempuan dan Lingkungan
Pembangunan yang berlangsung selama ini selain menghasilkan peningkatan ekonomi, juga telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Hal ini disebabkan oleh pencemaran lingkungan. Pola pembangunan yang keliru tersebut ditandai oleh menipisnya sumber daya alam, kerusakan ekosistem dan peningkatan secara berarti bahan-bahan yang menyebabkan pencemaran lingungan, seperti limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Keadaan ini telah menggeser kelompok-kelompok manusia, utamanya perempuan, dari kegiatan produktif. Sehingga menyebabkan kehidupan mereka terampas dan terbuang ke dalam kemiskinan. Kemiskinan dan kemerosotan lingkungan memang sangat berkaitan erat. Karena kemiskinan dapat menimbulkan berbagai tekanan terhadap lingkungan, dan kerusakan lingkungan akan menyebabkan kemiskinan yang makin parah.
Sesungguhnya, perempuan mempunyai potensi sangat besar dalam pemeliharaan, pelestarian dan pencegahan pencemaran lingkungan. Karena selain jumlah perempuan sangat banyak, juga telah banyak bukti bahwa perempuan telah mampu mengatasi masalah lingkungan di sekitarnya.
Sayangnya, selama ini perempuan jarang diikutsertakan dalam pengelolaan lingkungan Perempuan juga kurang diberi pengetahuan tentang cara pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan limbah dan pencegahan pencemaran lingkungan. Selama ini, perempuan hanya dijadikan obyek, sebagai pemakai bahan-bahan konsumsi rumah tangga, tanpa diberi pengetahuan tentang bahaya dari bahan-bahan itu terhadap diri, keluarga dan lingkungannya. Karenanya, perempuan perlu diberdayakan agar dapat berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan, khususnya pencegahan pencemaran lingkungan.
Perempuan dan Media
Media massa mempunyai peran sangat signifikan dalam proses sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender, adalah hal yang tak dapat diabaikan. Signifikansi peran media massa juga terletak pada eksistensinya sebagai salah satu tonggak demokrasi, yang sekarang menjadi mainstream. Salah satu pilar demokrasi adalah adanya ruang publik yang bebas (a free public share) dan penghargaan terhadap hak azasi manusia. Salah satu perwujudannya adalah penghargaan terhadap hak-hak perempuan dan persamaan (equality).
Ironisnya, potret diri perempuan di media massa, seperti surat kabar, majalah, film, televisi, iklan dan buku, masih memperlihatkan stereotype yang merugikan. Perempuan masih digambarkan sebagai sosok yang pasif, tergantung pada laki-laki, didominasi, menerima keputusan yang dibuat laki-laki, dan terutama melihat dirinya sebagai simbol seks.
Pada umunya media massa sedikit sekali memunculkan isu tentang perempuan, adalah kenyataan yang benar terjadi. Jika pun ada, media cenderung memberi ruang hanya bagi hal-hal yang bersifat tradisional atau urusan perempuan, seperti rumah tangga, mode, mengurus keluarga dan anak. Jarang media menampilkan wanita karier yang sukses di sektor publik.
Media massa yang diharapkan bisa mensosialisasikan masalah gender kepada masyarakat luas, ternyata masih kurang sensitif terhadap masalah tersebut. Malah, ada sebagian media massa melalui pemberitaannya ikut mengukuhkan bias gender yang sangat merugikan perempuan. (sara)
*** Industri televisi masih menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi. Penggunaan objek eksploitasi ini sangat terasa ketika kita menyaksikan tayangan sinetron di televisi.
Demikian rangkuman wawancara Media dengan pengamat media Veven SP Wardhana, psikolog Tika Bisono, serta aktor sekaligus sutradara film Slamet Rahardjo di Jakarta, kemarin. Mereka dimintai komentarnya secara terpisah mengenai wajah perempuan Indonesia di televisi, terkait Hari Kartini 21 April.
Veven menegaskan, sebagai pihak yang selalu intensif mengamati tayangan televisi, ia belum pernah menemui tokoh perempuan yang digambarkan secara ideal. Padahal, para pemodal serta pekerja seni televisi selalu menjadikan perempuan sebagai tokoh sentral yang dipastikan dapat menyedot perhatian penonton.
"Intinya, gambarannya sangat gurem. Penokohan yang diberikan tidak jauh dari peran antagonis, yang kejahatannya sangat tidak mendidik. Mereka berbuat buruk tanpa sebab yang jelas serta dengan tingkah laku yang sangat tidak cerdas pula. Begitu pula dengan perempuan sebagai protagonis, mereka selalu digambarkan lemah serta dependen. Jika tidak begitu, peran sentral perempuan diberikan pada tokoh psedo manusia, arwah-arwah, atau jagoan silat," kata Veven.
Senada dengan Veven, Tika juga menyoroti sejumlah sinetron drama yang umumnya mempertontonkan persekongkolan kejahatan, antara ibu mertua serta anak-anaknya sebagai tokoh antagonis. Mereka menganiaya tokoh protagonis yang umumnya digambarkan sebagai figur yang rapuh, lemah, sendu, serta bergantung pada bantuan dari orang-orang di sekelilingnya.
Pola penokohan tersebut, kata Tika, dianut oleh hampir seluruh tayangan sinetron drama. Selain jelas kurang kreatif, penokohan peran seperti itu jelas jauh dari kesan perempuan cerdas yang patut diteladani.
"Mana mungkin bisa diteladani jika yang satu selalu berbuat jahat tanpa henti. Tokoh lainnya, hanya bisa menangis menanti bantuan dari lelaki. Belum lagi dengan tampilan seronok kaum perempuan tanpa konteks jelas, sehingga sangat kentara bahwa itu hanya dipicu oleh keinginan untuk mengeksploitasi," ungkap Tika.
Kondisi itu, kata Veven, jelas sangat jauh dari gambaran figur perempuan Indonesia yang sebenarnya. Baik di kalangan masyarakat modern maupun tradisional, eksistensi perempuan Indonesia sangat diakui. Bahkan, tak jarang mereka menjadi kepala keluarga, serta harus berjuang keras memadukan karier mereka dengan kehidupan rumah tangga.
"Kendati harus diakui bahwa memang sebagian perempuan juga tengah terpuruk, menjadi korban kekerasan rumah tangga. Namun, jenis penderitaan yang digambarkan di televisi ternyata jauh dari kondisi realitas tersebut. Benar-benar membodohi sehingga nyaris tak ada pesan moral yang dapat dipetik," tandas Veven.
Gambaran buruk:
Di sisi lain, Slamet menegaskan, buruknya penggambaran tokoh perempuan sangat berpengaruh pada konstruksi nilai-nilai masyarakat. Pasalnya, tayangan televisi, terutama sinetron masih menjadi sarana hiburan utama bagi masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah ke bawah.
"Gambaran perempuan yang buruk, jahat, lemah, dan mengandalkan pesona fisik akan dengan mudah diserap oleh publik. Inilah yang membuat pandangan masyarakat kita terhadap perempuan kita belum membaik. Ingat, tontonan akan jadi tuntutan. Jika yang dilihat selalu buruk, bagaimana masyarakat kita bisa lebih baik," tegas Slamet.
Veven dan Slamet menyarankan agar publik tidak berhenti menyuarakan kritiknya pada televisi, termasuk industri sinetron. Produser sinetron selaku pemilik modal harus terus didesak untuk tidak terus-menerus mengedepankan keuntungan namun justru mengabaikan misi edukasi.
Idealnya, kata Veven, baik pemodal maupun pelaku seni televisi memiliki perspektif gender yang jelas. Pemahaman tepat pada posisi perempuan sangatlah vital bagi mereka sebagai pihak yang memiliki akses langsung ke ruang keluarga setiap rumah di Indonesia.
Pentingnya pemahaman itu, lanjut Veven, seharusnya juga disadari oleh para petinggi industri televisi yang umumnya adalah perempuan. Ia menengarai paham emansipasi kalangan eksekutif industri televisi itu hanya diterapkan untuk diri mereka sendiri, bukan untuk kaumnya.
"Sudah seharusnya para petinggi industri televisi, yang mayoritas perempuan, memiliki kepedulian yang lebih tinggi terhadap realitas perempuan dalam bingkai televisi. Pada siapa lagi kita berharap, selain kepada mereka. Karena berharap pada kaum laki-laki yang bergerak di industri televisi, jelas sulit," tukas Veven. (miol)
PERJUANGAN PEREMPUAN INDONESIA
Nafas Perjuangan
Nafas perempuan Indonesia adalah nafas perjuangan. Sejarah mencatat andil kaum perempuan dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak terbilang besarnya. Sebut saja Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika. Atau jauh di seberang Tanah Jawa ada Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Nanggroe Aceh Darussalam dan Martha Tiahahu dari Maluku. Ada juga Rasuna Said, Nyi Ageng Serang, Maria Walanda Maramis, Nyai Achmad Dahlan, para pejuang di dunia pendidikan. Atau SK Murti di bidang politik dan Fatmawati di bidang sosial dan budaya.
Raden Ajeng Kartini, misalnya, adalah salah satu pelopor kebangkitan kaum perempuan Indonesia terkemuka. Dia membungkus idealisme-nasionalisnya dalam bentuk keprihatinannya melihat kaumnya yang tertindas. Dengan penekanan pada faktor emansipasi perempuan, pada abad XIX Kartini muda menulis sebuah buku terkenal berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Dalam buku tersebut di antaranya Kartini menulis untuk memperjuangkan emansipasi kaumnya, cuplikannya:
“… Kami di sini meminta, ya memohon, meminta dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki …”
Semerbak Bermunculan
Benih yang ditanam Kartini menuai hasil. Berpuluh tahun kemudian, sekitar tahun 1912, organisasi-organisasi perempuan Indonesia semerbak bermunculan. Mereka berbicara tentang hak dan kewajiban yang sama dalam mempertahankan dan membangun negeri ini di masa depan yang lebih cemerlang, bersama-sama dengan kaum laki-laki.
Tak cuma dalam bentuk ide, bicara, lalu berlalu. Keberadaan organisasi perempuan ini kemudian disatukan dalam “Kongres Perempuan Indonesia”. Kongres pertama digelar tahun 1928 di Yogyakarta, dan mendeklarasikan “Tuntutan terhadap upaya peningkatan kondisi perempuan dan persyaratan perkawinan berdasarkan emansipasi dan penghapusan penindasan”. Setahun kemudian diselenggarakan kongres kedua di Jakarta. Bandung menjadi tempat ketiga digelarnya kongres.
Ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, yang kemudian dikukuhkan pemerintah sebagai hari nasional, adalah buah karya para peserta kongres ketiga. Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pun lahir pada 1946, setahun setelah Kemerdekaan. Kaum perempuan Indonesia terwadahi sudah. Sejak itu bermunculan organisasi kewanitaan lainnya, hingga pada 1978 pemerintah menilai penting membentuk Kantor Menteri Muda Peranan Wanita, embrio Kementerian Pemberdayaan Perempuan saat ini. (sara)
Sejak UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga terbit, siapa saja dapat melindungi korban dan melaporkan kasus itu ke polisi. Kelak, tak ada lagi ketidak pedulian masyarakat terhadap korban tindak kekersan dalam rumah tangga.
Manjelis Umum PBB di tahun 1993 mendeklarasikan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Deklarasi itu meliputi penghapusan terhadap kekerasan fisik, psikologis, ekonomi dan seksual. Sejalan dengan itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kekerasan sudah tidak lagi memadai untuk mengatur kekerasan yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga secara umum dapat diartikan sebagai segala bentuk perilaku yang menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis dan seksual pada seseorang yang berada dalam lingkup rumah tangga. Termasuk tindakan pemaksaan kehendak atau perampasan hak kemerdekaan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hubungan kekuasaan dengan korban.
Sejak deklarasi PBB itu dikeluarkan, berbagai konvensi internasional untuk penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan diterbitkan. Di Indonesia, pada November 1999 pernah ditandatangani Deklarasi Kesepakatan Bersama Antar Negara dan Masyarakat untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Belakangan, kalangan akademisi, aktivis perempuan dan masyarakat mendesak pemerintah agar segera menerbitkan UU yang berkaitan dengan itu.
Bertolak dari sana, UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau disingkat KDRT, diterbitkan pemerintah bersama DPR-RI (UU ini merupakan inisiasi DPR) beberapa waktu lalu. Salah satu hal yang “menarik” dalam UU ini, adalah pengaturan tata cara melaporkan dan pengajuan perkara KDRT, yang selama ini tidak diatur dalam UU manapun.
Pihak-pihak yang dapat melaporkan terjadinya peristiwa KDRT adalah korban, masyarakat, petugas pelayanan kesehatan. Korban, dengan segala tingkat usia, adalah seorang perempuan atau pihak lain yang tersubordinasi dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Selain berhak melaporkan secara langsung, korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga, atau orang lain, untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
UU KDRT memberikan peran lebih besar kepada masyarakat, di mana antara lain mereka memiliki hak untuk memberikan perlindungan kepada korban, mendampinginya untuk mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan lainnya, melapor ke polisi dan membantu proses permohonan dikeluarkannnya perintah perlindungan dari pengadilan.
Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban tanpa diskriminasi. Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga social atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan perlindungan dari pengadilan. Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian bekerjasama dengan lembaga penyedia layanan pendampingan korban.
Perlindungan sementara itu diberikan dalam tenggang waktu tujuh hari. Selanjutnya dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan itu, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perintah perlindungan tersebut wajib disampaikan dalam waktu 1 x 24 jam kepada korban dan pendampingnya.
Dalam hal kepolisian melakukan penyelidikan atau penyidikan KDRT sedang berlangsung, kepolisian harus mendahulukan penyelesaian perkara KDRT tersebut., walaupun ada tuntutan balik yang diajukan pelaku. Tuntutan balik adalah pelaporan balik pelaku yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya, karena korban tidak mempunyai saksi atau alat bukti yang lain.
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Polisi wajib memberikan surat perintah penangkapan dan penahahan setelah 1 x 24 jam. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan dimaksud.
Korban KDRT dapat mengajukan gugatan ganti rugi, jika kasus KDRT menimbulkan kerugian bagi korban. Hakim dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi bersama perkara KDRT.
Salah satu pasal dalam UU KDRT juga menyebutkan, bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap kasus KDRT dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU KDRT. Jerat hukum sudah dipasang. (sara)
Bersinergi dengan Kesehatan
Dewasa ini, kondisi perempuan Indonesia secara umum memprihatinkan. Betapa tidak, sedikitnya 50 persen perempuan masih mengalami anemia, dan 18 persen kekurangan energi kalori. Parahnya lagi, aborsi masih terjadi dan dilakukan lebih dari 2 juta perempuan. HIV/AIDS juga menjadi ancaman perempuan dengan jumlah penderita terus meninkat.
Kondisi buruk ini diperparah lagi oleh tingginya angka kematian ibu (AKI) akibat hamil dan melahirkan. Bahkan di tingkat ASEAN, kasus AKI di Indonesia tertinggi. Simak saja hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997, maka akan didapat angka 340 per 100.000 kelahiran hidup.
Celakanya, AKI bersinergi dengan usaha-usaha peningkatan status perempuan, kesetaraan dan keseimbangan gender serta kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana. Berarti, di banyak sektor kehidupan, perempuan Indonesia belum benar-benar menghirup udara segar kehidupan.
Bersinergi dengan Pendidikan
Kemauan memajukan perempuan memang membutuhkan sebuah proses panjang. Karenanya, sejak adanya kementerian perempuan tahun 1978 hingga kini, persoalan perempuan di sektor pendidikan masih terus menuntut perhatian. Tidak saja dari kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki, karena perempuan yang tidak/belum pernah mencicipi bangku SD, misalnya tahun 2001, ada sebanyak 13,5 persen, dan sebesar 32,1 persen adalah perempuan yang tidak tamat SD.
Di tingkat SLTP, persentase perempuan yang tamat SLTP hanya sebesar 13,7 persen. Ketika menginjak jenjang pndidikan SMU/SMK, perempuan yang menamatkan pendidikannya masih terbilang rendah, hanya 14,9 persen. Jumlah ini semakin mengerucut untuk perempuan yang lulus Diploma (DII dan DIII) yang hanya 1,42 persen, sedangkan yang lulus Sarjana (S1-S3) hanya 1,40 persen. Selebihnya adalah perempuan-perempuan yang hanya mengantongi ijazah SD, SLTP atau sama sekali tak memiliki ijazah, alias putus sekolah di tingkat sekolah dasar atau sama sekali tak bersekolah.
Bersinergi dengan Ekonomi
Di bidang ekonomi, perempuan selalu menjadi korban, yaitu korban dari setiap perubahan ekonomi. Keterpurukan ekonomi telah membawa perempuan dalam perjuangan untuk terus menghidupi keluarga. Pekerjaan apapun dilakukannya, semisal pembantu rumah tangga, atau menjadi pekerja seks komersial. Bahkan, mengadu nasib di negeri lain sebagai Tenaga Kerja Wanita banyak menjadi pilihan perempuan, terutama mereka yang berpendidikan rendah.
Tingginya angka partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 51 persen, ternyata tidak menjadikan mereka terposisikan dengan baik. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal. Dalam pengupahan, kebanyakan perempuan menerima upah setengah kali lebih rendah dari laki-laki.
Proses marginalisasi yang mengakibatkan pengambilalihan bidang garapan, misalnya pada rentang 1985-1990, ikut memberi kontribusi tergusurnya perempuan dari sektor pertanian. Persentase perempuan pedesaan yang mengerjakan lahan sendiri menjadi turun dari 20,6 persen ke 0,3 persen. Sedangkan yang menjadi buruh tani turun dari 23,9 persen menjadi 22,5 persen. Marginalisasi itu sebaliknya meningkatkan jumlah kaum perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga dari 42,4 persen menjadi 47,7 persen (Kantor UPW, Indikator Sosial Indonesia tahun 1991).
Keadaan tersebut tidak banyak berubah pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan hasil Survey Sosial dan Ekonomi (BPS, 1995), hampir 50 persen perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tak dibayar. Angka dan fakta tersebut menunjukkan, bahwa perempuan hanya dimanfaatkan sebagai sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasar demi kepentingan ekonomi negara, dan bukan untuk kepentingan perempuan. Padahal, di masa krisis, perempuan telah memberikan kontribusi besar melalui usaha kecil, menengah dan sektor informal. Walau kontribusinya besar, perhatian untuk mereka tetap saja terbatas.
Bersinergi dengan Trafficking
Perdagangan perempuan dan anak atau dikenal sebagai trafficking, adalah perbuatan yang perlu diperangi. Pemerintah selalu berusaha untuk memerangi masalah ini. Pasalnya, Indonesia telah mendapat stempel dunia internasional sebagai salah satu negara terburuk dalam menangani trafficking.
Data tentang trafficking memang sangat sulit diperoleh. Namun ibarat fenomena gunung es, diyakini kasus trafficking yang tidak terungkap di Indonesia jumlahnya jauh lebih besar. Berikut adalah data yang terpantau.
Jumlah perempuan dan anak yang diperdagangkan diperkirakan mencapai· 700 ribu – 1 juta orang per tahun (Global Watch Against Child Labour, 2002).
Pada 1999 terdapat 1.712 kasus perdagangan perempuan di delapan kota,· yaitu Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Manado.
Sejumlah 1.390 kasus di antaranya telah diajukan ke pengadilan. Pada· tahun 2000-2001, jumlahhya menurun tapi kasusnya telah meluas ke 18 provinsi di Sumatera, Jawa, Bali, kalimantan, Sulawesi, NTB, bahkan Papua. (Data Mabes Polri).
Diperkirakan ada 40.000 – 150.000 pelacur anak, atau sekitar 30· persen dari jumlah pelacur secara keseluruhan (Unicef Indonesia)
Sedikitnya 2 persen dari lima juta pekerja migran indonesia adalah· hasil traggicking (US Dept. of State, Trafficking in Person Report, 12 Juli 2001).
ILO/IPEC memperkirakan, tahun 2000 ada sekitar 6-8 juta anak di bawah· 15 tahun dieksploitasi untuk bekerja, ribuan di antaranya dipaksa bekerja di jermal di Sumatera Utara. Anak-anak tersebut harus hidup terisolir di laut dan bekerja selama 12-20 jam per hari (US Dept. of State, Human Rights Report, 1998, 2001).
Terdapat sekitar 13.000 anakan jalanan di Jakarta. Kota-kota lain· seperti Medan, bandung, Surabaya, Makassar dan Yogyakarta adalah kota dengan anak jalanan yang cukup besar (US Dept. of State, Human Rights Report 2001).
Sebagian besar pembantu rumah tangga berusia di bawah 15 tahun, dan· diperkirakan berjumlah 1,5 juta anak-anak adalah pembantu rumah tangga. Pada 1998 jumlah itu semakin bertambah sebagai dampak krisis ekonomi. ILO memperkirakan jumlahnya sekitar lima juta anak-naka PRT.
Korban trafficking untuk pengantin pesanan (mail order bride) banyak· terjadi di Kalimantan Barat. Dari 1987-2001 telah terjadi 20.000 perkawinan pria Taiwan dengan pengantin pesanan dari Kalimantan Barat. Meski disebut “pengantin”, pada kenyataannya banyak yang dipaksa bekerja seperti pembantu rumah tangga dan kerja paksa. Mereka dijadikan “pengantin” agar majikan tidak perlu membayar pajak.
Korban trafficking untuk tujuan adopsi (bayi dan anak-anak)· belakangan semakin meningkat. Menurut Polda Kalbar, sudah puluhan bayi di bawah satu tahun dari Pontianak dijual ke Malaysia Timur. Bayi tersebut dijual dengan harga Rp 32 –35 juta per bayi.
Bersinergi dengan Politik
Dalam politik, posisi tawar perempuan juga lemah. Telusuri saja anggota legislatif, eksekutif, yudikatif dan perwira tinggi TNI/Polri di tingkat pusat, sangatlah minim perempuan. Di tingkat daerah, apalagi. Perempuan masih jauh dari jabatan politis (gubernur/wagub, bupati, walikota/wakil), dan jabatan karir (sekda/asisten selaku eselon I, biro selaku eselon II, camat/lurah).
Saat ini perempuan anggota DPR-RI hanya 42 orang (8,3%), MPR 60 orang (9,1%), DPA 1 orang (2,5%), MA 7 orang (14,8%), KPU 2 orang (18,1%), wakil gubernur 2 orang, bupati/wakil 7 orang, duta besar 4 orang dan ketua umum partai politik 1 orang. Tak seorang pun perempuan menjabat gubernur atau eselon I BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Perempuan yang menduduki jabatan eselon I hingga III di lembaga eksekutif pada jabatan struktural pegawai negeri sipil di tahun 1995 ternyata hanya 1.211 orang atau 7,2 persen. Di tahun 1997, secara proporsional justru menurun menjadi 6,98 persen dari 7,2 persen pada 1995, meski secara absolut jumlahnya meningkat menjadi 1.883 orang dari sebelumnya 1.211 orang.
Kondisi yang sama juga terlihat di lembaga yudikatif. Tahun 1996, jumlah hakim perempuan sebanyak 536 orang atau 16,19 persen dari jumlah seluruh hakim 3.311 orang. Di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hanya 35 orang atau 23,35 persen dari 150 orang hakim adalah perempuan.
Keterwakilan perempuan di DPRD Tk.I dan DPRD Tk.II periode 2000-2004, menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan sampai dengan 8 Januari 2003, sebesar 10 - 13 persen berada di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara; 6 – 10 persen Banten, Sulawesi tenggara, Bengkulu, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan; 4 – 6 persen Babel, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan, Maluku Utara, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Papua; lebih kecil dari 4% adalah NTB, kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nanggro Aceh Darussalam, Bali, NTT dan Kalimantan Tengah.
Minim perempuan, itulah anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif negeri ini. Sunguh ironis karena kesertaan perempuan dalam pemilu, misalnya tahun 1999 lalu, melebihi pria, mencapai sekitar 57 persen. Lebih ironis lagi, justru keterwakilan perempuan di legislatif periode pemilihan 2000-2004 rata-rata tidak melebihi 5 persen.
Kesenjangan yang cukup besar antara kaum perempuan dan laki-laki di tiga lembaga negara itu menunjukkan, bahwa kebijakan pemberdayaan perempuan di Indonesia masih dipegang oleh kaum laki-laki, yang bisa jadi buta gender. Akibatnya, aspirasi dan kepentingan perempuan dalam pembangunan bangsa kerap kurang terakomodasi. Kondisi “miskin” perempuan juga terlihat di hampir seluruh partai politik saat ini. Baru satu partai politik memiliki ketua umum dari kalangan perempuan.
Patriarki, sub-ordinasi perempuan, persepsi bahwa public domain telah melekat pada laki-laki dan bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara laki-laki dan pemerintahan dan bukan warga negara dengan pemerintahan, telah menyingkirkan kalangan perempuan – meskipun hak-haknya dijamin oleh hukum, demokrasi partisipatori, dan retorika politik pemerintahan yang baik. (sara)
| |
KASUS PENJUALAN MANUSIA DI JAWA TIMUR MASIH TERJADI
*** Perdagangan manusia seperti terjadi di Afrika ini juga terjadi di Indonesia
Di Jawa Timur, menurut organisasi buruh internasional, ILO terdapat sekitar empat ribu anak yang dilacurkan di berbagai tempat. Pihak keamanan masih melacak hal ini, dan selama tiga bulan pertama tahun 2005 ini saja kepolisian di Jawa Timur menangani 6 kasus traffiking yang melibatkan 19 orang menjadi korban.
Menurut laporan pembantu BBC Donny Maulana dari Surabaya, salah satu korban adalah Lina anak berusia 13 tahun dari Pamekasan, Madura yang dilacurkan di Batam.
Di desa pelosok Waru Timur, Pamekasan, Madura inilah Lina kini tinggal. Ia kembali pulang setelah selama 8 bulan di jual di jadikan Pekerja Seks Komersial sebuah lokalisasi di Batam.
Lina gadis berusia 13 tahun putus sekolah sampai kelas 3 SD ini mengenang, pergi kebatam bersama 4 teman seusianya atas tawaran tetangganya bekerja di pabrik roti.
Tapi sesampainya di Batam hanya bohong belaka." Kerjaannya di Batam katanya gajinya 500 ribu jualan kue.Ternyata saya dimasukkan ke tempat perkosaan
"Kerjaan di Batam satu bulan dapat gaji 500 ratus ribu jual kue. Sampai di Batam, saya dimasukkan ke dalam tempat perkosaanlah." tutur Lina.
Tempat perkosaan begitulah Lina menyebut tempatnya kerja di sebuah bar, Bunga Malam, lokalisasi di kawasan Tanjung Kuncang Batam.
Terbelit hutang:
Ia dipaksa melayani laki laki dengan bayaran 100 ribu rupiah per malam. Lina seringkali mendapat ancaman jika tak mau melayani tamu. karena ia harus membayar hutang yang tak pernah ia sadari.
"Utang pesawat, utang baju, dua bulan punya utang 3 juta. Semua itu, sama air, makan. Aku lari lari waktu pertama, kaget, karena aku tidak pernah."
" Tetapi setelah satu minggu karena dimarahin terus, aku mau, takut dibuang. Karena katanya, kalau melawan akan dibuang ke laut." lanjut Lina.
Lina begitu ia dipanggil selama di Batam. Panggilan itu bukan nama aslinya. Bahkan juga dipaksa menanggalkan pakaian jilbabnya.
Ia pernah mencoba melarikan diri saat saat akan diberangkatkan ke Batam tapi gagal dilakukan. Atas bantuan perhimpunan rekan anak Indonesia, sebuah LSM di Batam, Lina bersama seorang temannya dijemput keluaga agar pulang tanpa tebusan. Tapi dua temannya masih berada di Batam yang hilang entah ke mana.
Ramses Merdeka Ketua Perhimpunan Rekan Anak indonesia mengaku mencoba membebaskan 10 anak usia belasan asal Madura yang dilacurkan di Batam.
Meski sudah pulang Lina masih mencapat cap negatif bahkan ia menjadi topik pembicaraan di desanya.
Dikucilkan masyarakat:
Ahmad Fauzi tokoh masyarakat Waru Timur di Pemekasan, Madura. "Bagaimanapun ini sudah menjadi perbincangan. Lebih lagi perbincangan itu mengandung unsur negatif, pada diri anak. Kalau saya perkirakan lebih 50 persen tidak bisa menerima dia kembali." kata Fauzi.
Pihak keluarga tentu tak terima dengan kejadian penipuan yang menimpa Lina. Kini kepolisian pamekasan madura menyelidiki kasus penjualan Lina ke Batam. Beberapa nama sudah dikantongi untuk dikejar.
Polda Jawa Timur selama tiga bulan pertama tahun 2005 ini 6 kasus traffiking yang melibatkan 19 orang menjadi korban. Dan masih dikembangkan apakah ada jaringan sindikat kasus penjualan anak.
Lembaga perlindungan anak LPA Jawa Timur meyebutkan selama kemiskinan belum terangkat dan masih banyak anak anak putus sekolah maka kasus trafficking, masih banyak.
Siswa putus sekolah menjadi awal penjualan manusia. Karena putus sekolah dan orang tua kurang mampu mereka mudah dibujuk dengan janji muluk
Menurut Cici Sri rejeki pelaksana program untuk trafficking LPA Jawa Timur mengemukakan, "Siswa yang DO sebenarnya bagian dari awal traffciking terjadi. Ketika mereka putus sekolah dan kondisi ekonomi orang tua tidak begitu baik, mereka dengan mudah tergiur untuk dibujuk ke tempat lain dengan tawaran muluk." katanya.
Lina adalah contoh atau bagian dari fenomena gunung es dari berbagai kasus trafficking atau jual beli anak untuk di jadikan pekerja seks komersial.
Dari data ILO IPEC tahun 2004 menyebutkan di Jawa Timur ada lebih dari 4000 anak anak dilacurkan di berbagai lokalisasi. Saat ini masih ditunggu seberapa jauh pengusutan kepolisian terhadap kasus kasus serup
*** Perdagangan manusia seperti terjadi di Afrika ini juga terjadi di Indonesia
Di Jawa Timur, menurut organisasi buruh internasional, ILO terdapat sekitar empat ribu anak yang dilacurkan di berbagai tempat. Pihak keamanan masih melacak hal ini, dan selama tiga bulan pertama tahun 2005 ini saja kepolisian di Jawa Timur menangani 6 kasus traffiking yang melibatkan 19 orang menjadi korban.
Menurut laporan pembantu BBC Donny Maulana dari Surabaya, salah satu korban adalah Lina anak berusia 13 tahun dari Pamekasan, Madura yang dilacurkan di Batam.
Di desa pelosok Waru Timur, Pamekasan, Madura inilah Lina kini tinggal. Ia kembali pulang setelah selama 8 bulan di jual di jadikan Pekerja Seks Komersial sebuah lokalisasi di Batam.
Lina gadis berusia 13 tahun putus sekolah sampai kelas 3 SD ini mengenang, pergi kebatam bersama 4 teman seusianya atas tawaran tetangganya bekerja di pabrik roti.
Tapi sesampainya di Batam hanya bohong belaka." Kerjaannya di Batam katanya gajinya 500 ribu jualan kue.Ternyata saya dimasukkan ke tempat perkosaan
"Kerjaan di Batam satu bulan dapat gaji 500 ratus ribu jual kue. Sampai di Batam, saya dimasukkan ke dalam tempat perkosaanlah." tutur Lina.
Tempat perkosaan begitulah Lina menyebut tempatnya kerja di sebuah bar, Bunga Malam, lokalisasi di kawasan Tanjung Kuncang Batam.
Terbelit hutang:
Ia dipaksa melayani laki laki dengan bayaran 100 ribu rupiah per malam. Lina seringkali mendapat ancaman jika tak mau melayani tamu. karena ia harus membayar hutang yang tak pernah ia sadari.
"Utang pesawat, utang baju, dua bulan punya utang 3 juta. Semua itu, sama air, makan. Aku lari lari waktu pertama, kaget, karena aku tidak pernah."
" Tetapi setelah satu minggu karena dimarahin terus, aku mau, takut dibuang. Karena katanya, kalau melawan akan dibuang ke laut." lanjut Lina.
Lina begitu ia dipanggil selama di Batam. Panggilan itu bukan nama aslinya. Bahkan juga dipaksa menanggalkan pakaian jilbabnya.
Ia pernah mencoba melarikan diri saat saat akan diberangkatkan ke Batam tapi gagal dilakukan. Atas bantuan perhimpunan rekan anak Indonesia, sebuah LSM di Batam, Lina bersama seorang temannya dijemput keluaga agar pulang tanpa tebusan. Tapi dua temannya masih berada di Batam yang hilang entah ke mana.
Ramses Merdeka Ketua Perhimpunan Rekan Anak indonesia mengaku mencoba membebaskan 10 anak usia belasan asal Madura yang dilacurkan di Batam.
Meski sudah pulang Lina masih mencapat cap negatif bahkan ia menjadi topik pembicaraan di desanya.
Dikucilkan masyarakat:
Ahmad Fauzi tokoh masyarakat Waru Timur di Pemekasan, Madura. "Bagaimanapun ini sudah menjadi perbincangan. Lebih lagi perbincangan itu mengandung unsur negatif, pada diri anak. Kalau saya perkirakan lebih 50 persen tidak bisa menerima dia kembali." kata Fauzi.
Pihak keluarga tentu tak terima dengan kejadian penipuan yang menimpa Lina. Kini kepolisian pamekasan madura menyelidiki kasus penjualan Lina ke Batam. Beberapa nama sudah dikantongi untuk dikejar.
Polda Jawa Timur selama tiga bulan pertama tahun 2005 ini 6 kasus traffiking yang melibatkan 19 orang menjadi korban. Dan masih dikembangkan apakah ada jaringan sindikat kasus penjualan anak.
Lembaga perlindungan anak LPA Jawa Timur meyebutkan selama kemiskinan belum terangkat dan masih banyak anak anak putus sekolah maka kasus trafficking, masih banyak.
Siswa putus sekolah menjadi awal penjualan manusia. Karena putus sekolah dan orang tua kurang mampu mereka mudah dibujuk dengan janji muluk
Menurut Cici Sri rejeki pelaksana program untuk trafficking LPA Jawa Timur mengemukakan, "Siswa yang DO sebenarnya bagian dari awal traffciking terjadi. Ketika mereka putus sekolah dan kondisi ekonomi orang tua tidak begitu baik, mereka dengan mudah tergiur untuk dibujuk ke tempat lain dengan tawaran muluk." katanya.
Lina adalah contoh atau bagian dari fenomena gunung es dari berbagai kasus trafficking atau jual beli anak untuk di jadikan pekerja seks komersial.
Dari data ILO IPEC tahun 2004 menyebutkan di Jawa Timur ada lebih dari 4000 anak anak dilacurkan di berbagai lokalisasi. Saat ini masih ditunggu seberapa jauh pengusutan kepolisian terhadap kasus kasus serup
PEMBERDAYAAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA MASIH ASAL
KETERLIBATAN BKKBN DKI Jakarta dalam program kerja OKK di DKI Jakarta merupakan satu upaya memperbaiki kualitas organisasi. Karena disadari selama ini program pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga di DKI Jakarta di jalankan asal saja, tanpa perencanaan program yang menyeluruh.
"Tim penggerak PKK DKI Jakarta sudah lama menjalankan program pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga. Tetpai masih sekedar program yang asal saja. Misalnya ibu-ibu di satu wilayah kita beri keterampilan menjahit, memasak atau kerajinan tangan lainnya. Setelah itu sudah tidak ada evaluasi atau perencanaan program berkelanjutan. Memang ada hasilnya, tetapi rasanya kok tidak optimal," kata istri Sekda Pemrov DKI Jakarta, dr Ritola Tasmaya.
Itulah sebabnya saat kantor BKKBN Jakarta mengajukan usulan program pendampingan pada Program Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, Wien Ritola merasa seakan mendapat jawaban atas problema yang dihadapi oraginasisinya.
Tak ada salahnya mencoba program pendampingan ini. Karena kita tahu, BKKBN telah memiliki pengalaman dalam program pemberdayaam ekonomi keluarga. Sehingga BKKBN bisa membanti anggota PKK -- yang sebagian besar ibu-ibu dengan latar belakang yang berbeda-beda-- meningkatkan ekonomi keluarga di sekitarnya.
Kerjasama yang dirasakan Wien Ritola seperti tumbu nemu tutup akan dijalankan selama 3 tahun. Setelah itu, anggota PKK diharapkan sudah mahir dalam membuat perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program. Sehingga tidak memerlukan pendampingan dari para petugas lapangan KB di lapangan.
"Yang menarik dari dari program ini adalah kita tidak mengeluarkan duit sepeserpun. Biaya pelatihan maupun pendapingan sepenuhnya ditanggung BKKBN DKI Jakarta. Maklum PKK hanya lah organisasi nirlaba yang tidak punya dana banyak untuk itu," ujarnya.
Wien mengungkapkan sebelumnya memang ada beberapa perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat [LSM] yang mengajukan program pendampingan serupa, dalam program pemberdayaan ekonomi keluarga.
KETERLIBATAN BKKBN DKI Jakarta dalam program kerja OKK di DKI Jakarta merupakan satu upaya memperbaiki kualitas organisasi. Karena disadari selama ini program pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga di DKI Jakarta di jalankan asal saja, tanpa perencanaan program yang menyeluruh.
"Tim penggerak PKK DKI Jakarta sudah lama menjalankan program pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga. Tetpai masih sekedar program yang asal saja. Misalnya ibu-ibu di satu wilayah kita beri keterampilan menjahit, memasak atau kerajinan tangan lainnya. Setelah itu sudah tidak ada evaluasi atau perencanaan program berkelanjutan. Memang ada hasilnya, tetapi rasanya kok tidak optimal," kata istri Sekda Pemrov DKI Jakarta, dr Ritola Tasmaya.
Itulah sebabnya saat kantor BKKBN Jakarta mengajukan usulan program pendampingan pada Program Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, Wien Ritola merasa seakan mendapat jawaban atas problema yang dihadapi oraginasisinya.
Tak ada salahnya mencoba program pendampingan ini. Karena kita tahu, BKKBN telah memiliki pengalaman dalam program pemberdayaam ekonomi keluarga. Sehingga BKKBN bisa membanti anggota PKK -- yang sebagian besar ibu-ibu dengan latar belakang yang berbeda-beda-- meningkatkan ekonomi keluarga di sekitarnya.
Kerjasama yang dirasakan Wien Ritola seperti tumbu nemu tutup akan dijalankan selama 3 tahun. Setelah itu, anggota PKK diharapkan sudah mahir dalam membuat perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program. Sehingga tidak memerlukan pendampingan dari para petugas lapangan KB di lapangan.
"Yang menarik dari dari program ini adalah kita tidak mengeluarkan duit sepeserpun. Biaya pelatihan maupun pendapingan sepenuhnya ditanggung BKKBN DKI Jakarta. Maklum PKK hanya lah organisasi nirlaba yang tidak punya dana banyak untuk itu," ujarnya.
Wien mengungkapkan sebelumnya memang ada beberapa perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat [LSM] yang mengajukan program pendampingan serupa, dalam program pemberdayaan ekonomi keluarga.
KISAH PEDIH ANAK-ANAK PEREMPUAN DI ARENA PEPERANGAN
*** Kaum perempuan secara diam-diam dipaksa untuk terlibat dalam konflik bersenjata di berbagai belahan dunia, demikian sebuah yayasan amal menyebutkan.
Sebuah laporan dari Save The Children menyebutkan lebih dari 120 ribu anak perempuan dan perempuan muda diculik dan dilibatkan dalam konflik.
Yayasan amal itu mengatakan kaum perempuan sering menjadi tentara atau melakukan pekerjaan domestik, tetapi kebanyakan dipaksa menjadi pekerja seks.
Save The Children seperti dilansir BBC menyerukan agar para pemimpin dunia berbuat lebih banyak untuk menghentikan perang melibatkan anak-anak.
Angka yang dikeluarkan oleh Save The Children memperlihatkan bahwa sekitar 6.500 anak perempuan ditangkap oleh pemberontak yang menamakan diri Tentara Perlawanan Tuhan di Uganda.
Di Republik Demokratik Kongosekitar 12 ribu lainnya diperkirakan terlibat dalam organisasi bersenjata sementara 21500 lainnya diperkirakan mempunyai keterlibatan dalam konflik di Sri Lanka.
Jurubicara yayasan itu mengatakan hasil penelitian itu bukanlah penemuan yang unik merujuk pada satu negara atau benua, serta menunjukkan sebuah kecenderungan global yang memprihatinkan.
Hentikan melibatkan anak-anak:
Laporan itu juga mengritik para pemimpin dunia dan negara donor karena tidak melakukan upaya penanggulangan dan mengatakan program rehabilitasi yang didirikan oleh komunitas internasional kekurangan dana.
Dikatakan dalam program pasca perang untuk pelucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi, pengumpulan senjata sering kali menjadi prioritas di atas rehabilitasi.
Hawa disulik dua kali dan dipaksa menjadi budak seks.
Banyak anak perempuan ini sering kali hanya mendapat sedikit makanan, air minum, minyak, alas plastik dan tumpangan transport untuk pulang, demikian isi laporan tersebut.
''Mereka yang pulang seringkali terpinggirkan dan diasingkan dari komunitas mereka.''
''Mereka sering dilihat sebagai suka berkelahi, tak bisa diatur, kotor dan pembuat masalah yang tak menjaga kehormatan seksualnya.''
''Dan yang pulang hamil atau membawa bayi menghadapi persoalan tambahan harus melingdungi bayi dan memberi makan mereka tanpa dukungan sama sekali dari lingkungan mereka.''
''kalau sudah seperti ini, banyak yang kemudian menjadi pekerja seks komersial, membuat mereka semakin tersingkir dan terisolasi.''
Save The Children menceritakan kisah Hawa, seorang anak perempuan berumur 16 tahun, yang dua kali diculik ketika desanya di Sierra Leone terlanda perang dan ia dipaksa menjadi budak seks.
''Sangat menyedihkan ketika saya pulang dan bertemu dengan saudara-saudara perempuanku karena bagaimanapun saya merasa dibedakan karena pernah di perkosa,'' katanya.
Direktur Jenderal Save The Children Mike Aaronson mengatakan: ''Pelecehan dan pelanggaran hak kaum perempuan memerlukan langkah secepatnya.'' (miol)
*** Kaum perempuan secara diam-diam dipaksa untuk terlibat dalam konflik bersenjata di berbagai belahan dunia, demikian sebuah yayasan amal menyebutkan.
Sebuah laporan dari Save The Children menyebutkan lebih dari 120 ribu anak perempuan dan perempuan muda diculik dan dilibatkan dalam konflik.
Yayasan amal itu mengatakan kaum perempuan sering menjadi tentara atau melakukan pekerjaan domestik, tetapi kebanyakan dipaksa menjadi pekerja seks.
Save The Children seperti dilansir BBC menyerukan agar para pemimpin dunia berbuat lebih banyak untuk menghentikan perang melibatkan anak-anak.
Angka yang dikeluarkan oleh Save The Children memperlihatkan bahwa sekitar 6.500 anak perempuan ditangkap oleh pemberontak yang menamakan diri Tentara Perlawanan Tuhan di Uganda.
Di Republik Demokratik Kongosekitar 12 ribu lainnya diperkirakan terlibat dalam organisasi bersenjata sementara 21500 lainnya diperkirakan mempunyai keterlibatan dalam konflik di Sri Lanka.
Jurubicara yayasan itu mengatakan hasil penelitian itu bukanlah penemuan yang unik merujuk pada satu negara atau benua, serta menunjukkan sebuah kecenderungan global yang memprihatinkan.
Hentikan melibatkan anak-anak:
Laporan itu juga mengritik para pemimpin dunia dan negara donor karena tidak melakukan upaya penanggulangan dan mengatakan program rehabilitasi yang didirikan oleh komunitas internasional kekurangan dana.
Dikatakan dalam program pasca perang untuk pelucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi, pengumpulan senjata sering kali menjadi prioritas di atas rehabilitasi.
Hawa disulik dua kali dan dipaksa menjadi budak seks.
Banyak anak perempuan ini sering kali hanya mendapat sedikit makanan, air minum, minyak, alas plastik dan tumpangan transport untuk pulang, demikian isi laporan tersebut.
''Mereka yang pulang seringkali terpinggirkan dan diasingkan dari komunitas mereka.''
''Mereka sering dilihat sebagai suka berkelahi, tak bisa diatur, kotor dan pembuat masalah yang tak menjaga kehormatan seksualnya.''
''Dan yang pulang hamil atau membawa bayi menghadapi persoalan tambahan harus melingdungi bayi dan memberi makan mereka tanpa dukungan sama sekali dari lingkungan mereka.''
''kalau sudah seperti ini, banyak yang kemudian menjadi pekerja seks komersial, membuat mereka semakin tersingkir dan terisolasi.''
Save The Children menceritakan kisah Hawa, seorang anak perempuan berumur 16 tahun, yang dua kali diculik ketika desanya di Sierra Leone terlanda perang dan ia dipaksa menjadi budak seks.
''Sangat menyedihkan ketika saya pulang dan bertemu dengan saudara-saudara perempuanku karena bagaimanapun saya merasa dibedakan karena pernah di perkosa,'' katanya.
Direktur Jenderal Save The Children Mike Aaronson mengatakan: ''Pelecehan dan pelanggaran hak kaum perempuan memerlukan langkah secepatnya.'' (miol)
WANITA 'BERISI' CENDERUNG LEBIH SUBUR
Tak bisa diingkari jika pria selalu menyukai wanita dengan bentuk tubuh seksi berisi, berdada montok, pinggang ramping dan pinggul besar bak gitar spanyol. Menurut para peneliti, hal tersebut bukan hanya sebatas penilaian superfisial semata, karena dibalik semua itu ada landasan ilmiah pendukungnya.
Wanita dengan bentuk tubuh 'berisi' dinilai lebih subur atau bisa dibilang tak mengalami kesulitan untuk hamil dan menghasilkan keturunan.
Seperti yang disebutkan dalam jurnal Royal Society - jurnal Proceedings B, yang dilakukan pada 119 responden wanita Polandia, para peneliti menyebutkan jika wanita dengan payudara besar dan pinggang ramping memiliki kadar hormon lebih tinggi dibanding wanita lainnya.
Para peneliti menimbang dan mengukur bobot tubuh mereka yang meliputi pengukuran lingkar pinggang, pinggul, dada dan daerah di bawah payudara. Mereka digolongkan berdasarkan empat kategori, yaitu: Berdada besar-pinggang ramping; berdada besar-pinggang besar; berdada kecil-pinggang ramping dan berdada kecil-pinggang besar.
Para peneliti juga mengambil sample air liur responden saat mereka mengalami siklus datang bulan untuk mengukur kadar hormon 17-b oestradial (E2) dan progesteron. Tingginya kadar dua jenis hormon tersebut merupakan indikator wanita akan mudah hamil.
Dari penelitian tersebut menyebutkan wanita dengan payudara besar dan berpinggang ramping memilki tingkat hormon lebih tinggi.
Pada masyarakat barat, wanita dengan ikon boneka Barbie selain menjadi simbol kecantikan juga memilki dasar biologis, jelas Dr Grazyna Jasienska, dari Harvard University.
Wanita yang memiliki bentuk tubuh kategori pertama (payudara besar-pinggang ramping) memiliki kadar hormon E2 lebih tinggi 26 persen dan naik sekitar 37 persen lebih tinggi saat menstruasi dibanding wanita pada tiga kategori lainnya, begitu juga kadar progesteronnya.
Jasienska yang mengepalai riset jurnal Proceedings B mengatakan jika bentuk tubuh hourglass figure (bentuk tubuh kategori pertama) sangat populer dalam kultur masyarakat Barat, ternyata juga memiliki dasar ilmiah.
Jasienska juga menyebutkan pria non-Western cenderung tak begitu menyukai wanita hourglass figures dan wanita berbadan tegap, yang mengindikasikan wanita tersebut memiliki nilai gizi baik dan dianggap lebih menarik.
Sementara Dr. Martin Tovee dari the University of Newcastle yang membidani penelitian: "Apa yang membuat seseorang menarik bagi orang lain?" mengatakan pada BBC News bahwa ukuran tubuh seseorang bukanlah faktor utama daya tarik seseorang.
Hasil penelitian Jasienska yang dimuat dalam jurnal Royal Society lebih cenderung pada perbandingan ukuran dada ke pinggang yang memprediksi tingkat hormon. Dimana wanita menjadi lebih 'menarik' hanya dilihat dari tinggi, ukuran payudara, dan pinggang, jelas Tovee menyinggung penelitian Jasienska.
Tovee menambahkan sebuah studi apakah wanita kelihatan 'menarik' hanya dilihat dari image proporsi tubuhnya, namun melihat dari pandangan bahwa tinggi tubuh, ukuran payudara, pinggang atau pinggul seorang wanita sebenarnya dianggap kurang begitu penting. (dian)
Tak bisa diingkari jika pria selalu menyukai wanita dengan bentuk tubuh seksi berisi, berdada montok, pinggang ramping dan pinggul besar bak gitar spanyol. Menurut para peneliti, hal tersebut bukan hanya sebatas penilaian superfisial semata, karena dibalik semua itu ada landasan ilmiah pendukungnya.
Wanita dengan bentuk tubuh 'berisi' dinilai lebih subur atau bisa dibilang tak mengalami kesulitan untuk hamil dan menghasilkan keturunan.
Seperti yang disebutkan dalam jurnal Royal Society - jurnal Proceedings B, yang dilakukan pada 119 responden wanita Polandia, para peneliti menyebutkan jika wanita dengan payudara besar dan pinggang ramping memiliki kadar hormon lebih tinggi dibanding wanita lainnya.
Para peneliti menimbang dan mengukur bobot tubuh mereka yang meliputi pengukuran lingkar pinggang, pinggul, dada dan daerah di bawah payudara. Mereka digolongkan berdasarkan empat kategori, yaitu: Berdada besar-pinggang ramping; berdada besar-pinggang besar; berdada kecil-pinggang ramping dan berdada kecil-pinggang besar.
Para peneliti juga mengambil sample air liur responden saat mereka mengalami siklus datang bulan untuk mengukur kadar hormon 17-b oestradial (E2) dan progesteron. Tingginya kadar dua jenis hormon tersebut merupakan indikator wanita akan mudah hamil.
Dari penelitian tersebut menyebutkan wanita dengan payudara besar dan berpinggang ramping memilki tingkat hormon lebih tinggi.
Pada masyarakat barat, wanita dengan ikon boneka Barbie selain menjadi simbol kecantikan juga memilki dasar biologis, jelas Dr Grazyna Jasienska, dari Harvard University.
Wanita yang memiliki bentuk tubuh kategori pertama (payudara besar-pinggang ramping) memiliki kadar hormon E2 lebih tinggi 26 persen dan naik sekitar 37 persen lebih tinggi saat menstruasi dibanding wanita pada tiga kategori lainnya, begitu juga kadar progesteronnya.
Jasienska yang mengepalai riset jurnal Proceedings B mengatakan jika bentuk tubuh hourglass figure (bentuk tubuh kategori pertama) sangat populer dalam kultur masyarakat Barat, ternyata juga memiliki dasar ilmiah.
Jasienska juga menyebutkan pria non-Western cenderung tak begitu menyukai wanita hourglass figures dan wanita berbadan tegap, yang mengindikasikan wanita tersebut memiliki nilai gizi baik dan dianggap lebih menarik.
Sementara Dr. Martin Tovee dari the University of Newcastle yang membidani penelitian: "Apa yang membuat seseorang menarik bagi orang lain?" mengatakan pada BBC News bahwa ukuran tubuh seseorang bukanlah faktor utama daya tarik seseorang.
Hasil penelitian Jasienska yang dimuat dalam jurnal Royal Society lebih cenderung pada perbandingan ukuran dada ke pinggang yang memprediksi tingkat hormon. Dimana wanita menjadi lebih 'menarik' hanya dilihat dari tinggi, ukuran payudara, dan pinggang, jelas Tovee menyinggung penelitian Jasienska.
Tovee menambahkan sebuah studi apakah wanita kelihatan 'menarik' hanya dilihat dari image proporsi tubuhnya, namun melihat dari pandangan bahwa tinggi tubuh, ukuran payudara, pinggang atau pinggul seorang wanita sebenarnya dianggap kurang begitu penting. (dian)
0 komentar "HARI KARTINI: PEREMPUAN MASIH DIJADIKAN OBJEK EKSPLOITASI", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment