KONVERSI SAWAH DAN NASIB PETANI

9.KONVERSI SAWAH DAN NASIB PETANI
Pembangunan pertanian sawah sungguh ironis. Di satu pihak, tahun 2007 pemerintah ingin meningkatkan produksi beras sebesar 32,92  juta ton dari sasaran luas panen sawah lebih kurang 11,8 juta hektar di 33 propinsi di Indonesia.
Namun, di lain pihak berdasarkan data Badan Pertahanan Nasional dari total luas sawah 8,9 juta hektar, sekitar  3,099  juta hektar di antaranya akan dikonversikan secara terencana melalui rencana umum tata ruang wilayah (RUTW) kabupaten/kota untuk permukiman, pusat bisnis, perkantoran, infrastruktur jalan dan keperluan lainnya (Kompas, 5/5/2007)
Lebih ironis lagi,konversi lahan tersebut sebagian besar sudah disetujui DPRD dalam bentuk peraturan daerah. jadi para anggota DPRD yang semestinya mewakili dan membela kepentingna nasib rakyat banyak, khususnya nasib petani sawah, justru mendukung konversi lahan sawah menjadi peruntukan lain. Hal itu tentu saja merugikan kepentingna petani dan juga tidak mendukung peningkatan produksi beras nasional. Dalam RUTW tersebut, areal sawah dan petani yang telah tergusur pun tidak pernah direncanakan untuk direlokasi.
Konversi lahan-lahan sawah itu tak terkecuali telah terjadi dan cenderung akan terus berlangsung di kawasan cekungan Bandung. Berdasarkan sejarang lingkungan , pembentukan sawah di Bandung relatif baru dibandingkan dengan pembentukan sawah di Jawa Tengah . Menurut Terra (1958:161), awal pembentukan sawah di kawasan pegunungan Bandung terjadi sekitar kira-kira 1750.
Sebelum itu, usaha budidaya tanam padi yang utama di Priangan adalah berladang/ngahuma (bandingkan Haan,1921). Pertama kali penetrsi sistem sawah dari Jawa Tengah ke wilayah pegunungan Bandung diawali dari Sumedang dan Tasikmalaya (Sukaputra), dan kemudian juga dari kampung  jawa di Bandung dan dari Bogor.
Lantas, dalam perkembangannya, di awal abad ke -20  usaha tani sawah di Cekungna Bandung pernah mengalami kejataan.Misalnya, menurut Sctheltema (1929), beberapa kawasan di Priangan tengah, termasuk Bandung Timut, telah dikenal sebagai salah satu pusat penghasil produksi beras utama dan telah menjadi gudang beras di Jawa Barat.
Konversi Sawah
Konversi lahan-lahan sawah di Cekungna Bandung telah berjalan cukup lama. Misalnya perluasan kawasan kotamadya telah mengakibatkan banyak kawasan sawah di wilayah Ujungberung diubah menjadi peruntukan lain, misalnya perumahan,pabrik,pertokoan,kantor-kantor,depot Pertamina dan pasar induk.
Dewasa ini perubahan alih lahan atau konversi sawan terus berlangsung dan cenderung kian meningkat. Bahkan sesuai program Pemerintah Kota Bandung dengan restu DPRD, pengembangan Kota Bandung di masa mendatang telah diarahkan ke kawasan Bandung Timut, Khususnya kawasan Gedebage dan sekitarnya.
menutut rencana,di daerah-daerah tersebut akan di bangun jalan tol, terminal terpadu, fasilitas olah raga) bahkan kini Saran OlaH Raga –SOR Gedebage untuk lapang sepak bola hampir rampung dibangun, kawasan pemukiman baru juga sedang marak dibangunan). dan lain-lain. Akibatnya, dewasa ini harga tanah didaerah tersebut mahal dan telah menjadi obyek bisnis bagi para spekulan tanah.
Kasus serupa, rencana pengembangan kota baru di Tegal Baru yang mencakup empat kecamatan, yaitu Rancaekek, Bojongsoang, Solokan Jeruk dan Cileunyi dengan luas 3.500 hektar telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Bandung. Di kawasan dominan sawah tersebut, rencananya akan dibangun kawasan industri, hotel/aparteman, perumahan, pusat perdagangan, arena wisata, lapangan gof dan jalan Tol Gedebage-Majalaya.
Bahkan, tahap pembangunan jalan lingkar utara Majalaya sepanjang 15 kilometer melewati hamparan sawah di daerah Paseh, Majalaya, Cidawolong , Ssask Eurih Ibun, Ranca Jiga, Jongaor, Ciparay , dan Laswi Baleendah dtelah mulai direalisasikan tahun 2007. Tahap berikutnya direncanakan dimulai pada pertengahan tahun 2008.
Nasib Petani
Bagaimana dengan nasib petani sawah akibat pesatnya konversi lahan di Cekungna Bandung ? Akibat konversi lahan-lahan sawah tersebut, banyak petani sawah di kawasan Ujungberung tidak dapat bertahan melanjutkan usaha taninya dan akhirnya menjual sawah-sawah mereka kepada pihak luar.
Namun, ditemukan banyak kasus bahwa sebagian petani tersebut tidka dapat memanfaatkan uang tunai hasi penjualan sawah-sawah mereka.Akibatnya, kehidupan mereka kian termarjinalkan dengan mencari kehidupan baru di daerah-daerah pinggiran  Ujungberung.
Maka, hilangnya lahan-lahan sawah tersebut berakibat pada hilangnya produksi padi sawah didaerah tersebut, hilangnya pendapatan petani pemilik sawah, penyewa,pemaro dan buruh tani, hilangnya budaya petani dalam berinteraksi dengan lingkungannya , dan hilangnya kawasan bagi penampung air larian.
Sementara itu, lahan sawah milik sebagian petani yang tetap tidak mau menjual sawahnya masih dapat digarap, tetapi banyak saluran irigasi pada lahan-lahan sawah mereka menjadi terputus-putus karena pendirian berbagai bangunan. Demikian pula,Kualiatas air saluran-saluran yang masih berfungsi telah tercemar berbagai limbah industri.
konsekuaensinya, menutut penuturan para petani lokal di Ujungberung, pada tahun 1980-an produksi padi telah mencapai 5000 kologram per hektar. Namun , setelah banyak gangguan dalam produksi padi sawah, hasil produksi padi tersebut menutun menjadi 1.250 kilogram perhektar. Adapun kualitas padi pun tidak lagi sebagus masa silam, yaitu warna bulir-bulir beras menjadi putih kotor akibat perubahan lingkunan yang telah tercemar berbagai limbah pabrik.
Demikian pula sejak maraknya pembangunan pabrik-pabrik tekstil di Majalaya, sebagian besar sawah petani di daerah tersebut bantak yang telah tergusur. kini penggusuran sawah tersebut juga terus berjalan dengan adanya bergbagai program pengembangan kota. sayangnya, keberadaan pabrik-pabrik tersebut kurang memberi keuntungan bagi petani sawah.
Ironisnya lagi. dalam perkembangan nya produktivitas pabrik-pabrik tekstil hasil mengorabankan para petani sawah tersebut banyak yang telah tergusur, kini penggusuran sawah tersebut juga terus berjalan dengan adanya berbagai program pengembangan kota. Sayangnya, keberadaan pabrik-pabrik tersebutr kurang memberi keuntungan bagi petani sawah.
Ironisnya lagi. dalam perkembangan nya produktivitas pabrik-pabrik tekstil hasil mengorbankan para petani sawah tersebut tidak menggembirakan . Misalnya, menutut Camat Majalaya, dari sekitar 350 pabrik tekstilyang telah dibangun di Majalaya, yang masih tetap bertahan pada tahun 2007 hanya sekitar 250 pabrik. Dari sejumlah pabrik tersebut, 41 pabrik diantaranya telah beralih dari menggunakan BBM ke batu bara yang bersifat B3 (Bahan ,Beracun,Berbahaya) untuk menghemat biaya produksi. Perubahan bahan bakar itu memiliki risiko pencemaran tinggi bagi penduduk lokal. 

Kelompok penduduk yang paling rentan mendapat gangguan pencemaran tersebut adalah petani sawah, sebab, dalam kesehariannya mereka bercocok tanaman padi swah disekitar kawasn pabrik-pabrik tersebut. Sayang nya , relokasi petani dan kawasan sawah yang telah lebih dulu eksisi dibandingkan dengan berbagai tata guna lainnya kurang mendapat perhatian dalam RUTW Kabupaten/Kota.
buku prof johan iskandar

0 komentar "KONVERSI SAWAH DAN NASIB PETANI", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment

Bantu dengan klik

Please Click Here!!