Menyambut Ramadhan


Menyambut Ramadhan
 
Agustus ini kita telah memasuki bulan Rajab. "Ya Allah
berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban dan
sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan."]
 
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu, agar kamu bertaqwa (QS 2:183)
 
Beberapa bulan lagi kita akan kedatangan bulan
Ramadhan. Kedatangan Ramadhan tahun ini tentu kita
sambut dengan penuh kegembiraan karena insya Allah,
kesempatan menikmati ibadah Ramadhan kembali kita
peroleh. Target utama dari ibadah Ramadhan sebagaimana
yang disebutkan pada ayat diatas adalah semakin
mantapnya ketaqwaan kepada Allah Swt. Sebagai wujud
dari rasa gembira itulah, Ramadhan tahun ini tidak
boleh kita lewatkan begitu saja tanpa aktivitas yang
dapat meningkatkan ketaqwaan diri, keluarga dan
masyarakat kita kepada Allah Swt. Maka,
persiapan-persiapan kearah itu sudah harus kita
lakukan, baik secara pribadi maupun bersama-sama.
 
Ramadhan yang penuh berkah harus kita jadikan sebagai
momentum untuk menyelamatkan masyarakat dengan
melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada
Allah), baik dengan taubat, munajat dan menjalankan
sejumlah peribadatan maupun dengan khidmat yakni
memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat
agar kehidupan kita betul-betul dapat dirasakan
manfaatnya bagi orang lain dan perbaikan masyarakat
dapat kita wujudkan dari waktu ke waktu, baik
perbaikan diri, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan
negara.
 
Persiapan Menjelang Ramadhan
 
1-Memperbanyak doa, jika telah memasuki bulan Rajab,
maka Rasulullah saw berdoa,
 
"Ya Allah berkahilah kami dalam bulan Rajab dan
Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan."
"Ya Allah bulan Ramadhan telah menaungi kami dan telah
hadir, serahkanlah ia pada kami dan serahkanlah kami
padanya, karunikanlah kami kesanggupan untuk berpuasa,
dan menegakkan malam-malamnya. Dan karuniakanlah kami
kesungguhan kekuatan dan semangat serta jauhkanlah
kami dari fitnah didalamnya." "Ya Allah sampaikanlah
kami pada Ramadhan dengan aman, keimanan, keselamatan,
Islam, kesehatan dan terhindar dari penyakit serta
bantulah kami untuk melaksanakan shalat, puasa dan
tilawah al-Quran padanya."
 
2- Memperbanyak aktivitas puasa di bulan Sya’ban,
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam hadis
Bukhari-Muslim, Aisyah ra. berkata : Tidaklah aku
lihat Rasul menyempurnakan puasanya sebulan penuh
kecuali pada Ramadhan dan tidak juga aku lihat beliau
memperbanyak puasa sunnatnya kecuali di bulan Sya’ban.
 
3- Memperbanyak aktivitas tilawah Quran, sebagaimana
yang diungkapkan Anas bin Malik bahwa para sahabat
jika memasuki bulan Sya’ban, mereka segera mengambil
mushaf dan membacanya.
 
4- Segera mengqodho’ puasa. Aisyah ra. berkata : Dulu
aku pernah punya hutang puasa Ramadhan, dan aku tidak
dapat membayar qodho’nya kecuali pada bulan Sya’ban.
 
5- Saling maaf memaafkan sesama muslim, sehingga dalam
memasuki Ramadhan dosa kita dengan sesama sudah
terhapuskan sehingga pada bulan Ramadhan hanya
menyelesaikan dosa kepada Allah swt saja, dan pada
saat hari raya Idul Fitri tiba , kita benar-benar
berada dalam keadaan fitrah.
 
6- Mengkaji fiqih yang berkaitan dengan ibadah
Ramadhan, sehingga pelaksanaannya berjalan dengan baik
berdasarkan pemahaman yang benar.
 
Pada Saat Ramadhan
 
Ihya Ramadhan atau menghidupkan Ramadhan dengan
berbagai aktivitas yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah.Bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan ini
hendaknya diisi dengan memperbanyak ibadah kepada
Allah swt, memperpanjang ruku’, sujud, shalat tarawih,
bermunajat kepada Allah, memperbanyak sholat nawafil,
senantiasa berzikit, tilawah dan tadabbur al-Quran,
I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan,
mengurangi waktu tidur pada siang hari (sementara
Rasulullah dan Ummahatul Mu’minin selama Ramadhan
begitu aktifnya beramal). Disamping itu aktivitas
Ramadhan juga harus dapat memperkokoh hubungan dengan
sesama, seperti memberikan zakat, infaq dan shodaqoh,
ifthor (buka puasa bersama) dll. Menjauhkan diri dari
perbuatan laghwu (sia-sia) Bulan Ramadhan adalah
fursoh untuk memperbanyak ibadah sehingga kita dapat
menjauhi hal-hal yang mempersempit waktu ibadah,
seperti menghabiskan waktu hampir seharian di dapur
untuk menyiapkan makanan berbuka, karena saat yang
terbaik untuk pengisian ruh dan pensucian jiwa akan
hilang begitu saja dengan pengisian perut dan
pengotoran jiwa, menghabiskan waktu di depan televisi
dan perbuatan lainnya yang cenderung tidak ada
gunanya.
 
Menahan anggota tubuh dan hati dari perbuatan yang
diharamkan menjadi suatu keniscayaan dalam bulan
Ramadhan ini. Seperti misalnya menahan pandangan mata
dari pandangan yang dimakruhkan, Menahan pendengaran
dari namimah, ghibah dan kemungkaran, menjaga Lisan
dan hati dari perbuatan yang dapat mengotorinya.
Rasulullah saw Bersabda : bukanlah shaum itu sekedar
meninggalkan makan dan minum, Melainkan meninggalkan
pekerjaan sia-sia (tak bernilai) dan kata-kata Sombong
(HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah). Rasulullah saw
juga Bersabda : Barangsiapa yang selama berpuasa tidak
juga meninggalkan kata-kata bohong, bahkan
mempraktekkannya, maka tidak ada nilainya bagi Allah
apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekedar
meninggalkan makan dan minum (HR.Bukhari-Muslim).
 
Dalam Ramadhan ini kita bertekad akan menyelami
rahasia kehidupan, dari mana, di mana dan hendak
kemana kita ? Sehingga kita akan menghayati bahwa
dunia ini adalah tempat berusaha untuk mematuhi
perintah Allah dan akhirat adalah untuk menerima
balasan dariNya.
 
Pada bulan Ramadhan ini, kita akan berusaha untuk
mendapatkan rahmat dan ampunan Allah, karena
sesungguhnya kecelakaanlah bagi orang-orang yang tidak
mendapatkan rahmat Allah pada bulan yang penuh dengan
rahmat ini.
 
Selamat datang Wahai Ramadhan, bulan yang agung, bulan
yang penuh berkah, bulan yang menghapuskan dosa dan
mengabulkan doa bagi orang-orang yang
bersungguh-sungguh beribadah di dalamnya.
 
Ya Ilahi, Engkaulah tujuan kami dan KeridhoanMulah
dambaan kami.
 
Ustadzah Dra Herlini Amran. MA
2005-08-11 
 
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 
 
 
 
 
------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 
 
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.

Optimalisasi Ramadhan
Edisi/ Tanggal : 30/ 07-Nop-2000


"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
 sebagimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
 kamu bertaqwa." (Al-Baqarah:183)

Setiap tahun, Ramadhan hadir maenjumpai kita, namun tak setiap
kita dapat meraih taqwa yang dijanjikan oleh-Nya. Hanya insan-insan
tertentu, yang mendapatkan keberuntungan dibulan Ramadhan. Mereka
yang berhasil, yakni orang-orang yang pro aktif (melakukan pengejaran)
terhadap Ramadhan.

Untuk melakukan pengejaran agar berhasil dengan baik, tentu memerlukan
persiapan. Adapun bekal dan persipaan yang dilakukan Rasulullah dan para
sahabatnya adalah:

1. Menyambut Ramadhan dengan gembira, karena pada bulan ini pintu-pintu
   surga dibuka Allah seluas-luasnya, dan pintu-pintu neraka ditutup
   serapat-rapatnya. Betapa bahagianya manusia dengan kedatangan bulan
   Agung yang penuh berkah.

2. Berdo'a kepada Allah, sebelum datang Ramadhan : "Allahumma baarikli
   fii Sya'ban wa balighna fii Ramadhan" artinya "Ya Allah berkahilah
   di bulan Sya'ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan".

3. Merindui dan mencintai Ramadhan.
   Rasulullah bersabda bahwa seseorang itu bersama dengan sesuatu yang
   dicintainya. Bila kita rindu dan cinta pada Ramadhan, insya Allah kita
   akan bersama dengannya (memperoleh keuntungannya).

4. Membuat program Ramadhan
  
Ramadhan tanpa program akan berlalu begitu saja dan menjadi tidak
   bermakna. Sebaiknya dengan program yang jelas, kita akan menjadi lebih
   bersemangat untuk mencapainya, contohnya:
 - Menghatamkan tilawatih Qur'an minimal sekali
 - Menghapal Qur'an mulai jus 27 sampai 30
 - Berinfaq setiap hari
 - I'tikaf pada sepuluh hari terakhir.

5. Mengobati penyakit fisik, Jauh sebelum Ramadhan kita harus mempersiapkan
    kesehatan fisik, salah satunya dengan mengobati penyakit sedini mungkin,
    dan menjaga makanan yang kita konsumsi, insya Allah tubuh menjadi sehat.

6. Mengobati penyakit hati, Setiap kita dituntut untuk bermuhasabah 
    (intropeksi hati). Intropeksi dalam bentuk memaafkan kesalahan orang lain
   dan meminta maaf atas segala kesalahan pada orang lain. Hingga hati kita
   menjadi hati yang lapang dan bersih.
   "Ya Allah, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
    lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
    hati kami terhadap orang-orang yang beriman." (QS. Al-Hasyir : 10)

7. Ketika bulan yang dinanti dan diridhoi telah hadir bersama kita, maka hal-hal
   yang baik yang dilakukan adalah :
 - Memelihara saum dari segala yang membatalkan. Baik yang membatalkan
   shaum secara dzahir (dapat dilihat langsung), seperti makan dan minum
   maupun secara ma'nawi, yakni ghibah (gosip / termasuk membaca majah
   gosip), marah, dusta,  atau mendengar sesuatu yang haram. Rasulullah
   bersabda, "Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang
   sia-sia, maka Allah tidak butuh puasanya." (HR. Ahmad, Bukhari)
   Dalam hadits lain :
   "Apabila kamu berpuasa maka hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu,
     dan lidahmupun berpuasa dari hal-hal yang haram. Dan jauhilah menyakiti
    tetangga. Hendaklah kamu tenang dan berwibawa serta jangan sampai hari
    berbuka dan berpuasamu sama saja"

 - Mesra dengan Al-Qur'an, seseorang dikatakan mesra dengan Al-Qur'an
   manakala senantiasa tilawah (membacanya), mentadaburkan, menghapal, dan
   mengamalkannya. Semboyan hidupnya tiada hari tanpa bersama Al-Qur'an.
   Usahakan menghatam kan Al-Qur'an minimal satu kali saja

 - Mengurangi tidur. Tidur pada bulan Ramadhan telah menjadi suatu kebiasaan,
   maksudnya agar tidak terlalu merasakan lapar dan dahaga. Padahal berapa
   banyak  waktu dan umur menjadi sia-sia karena tidur. Kita jangan mengunakan
   hadits "Tidurnya orang puasa adalah ibadah". Sebagai hujjah atau argumen
   untuk membolehkan banyak tidur. Rosulullah, umahatul mukminin dan para
   sahabat begitu aktif melakukan kegiatan beribadah, bukan kegiatan tidur.

 - Itikaf. Rasulullah bersabda. "Bahwa amal itu tergantung pada akhirnya,"
   Dengan demikian untuk memperoleh keberuntungan di bulan Ramadhan kita
   harus menjaga sepuluh hari terakhir. Lebih-lebih pada saat terakhir bulan
   Ramadhan, Allah berjanji menutup pintu-pintu neraka dan mengharamkan
   jasad orang-orang bertaqwa tercebur kedalamnya.

Sudah kita ketahui bersama, pada sepuluh terakhir Ramadhan, terdapat satu malam yang
lebih baik dari seribu bulan. Malam itu hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang
mencarinya (yang beri'tikaf). Bagi muslimah (yang wanita) melakukan I'tikaf tidak
menjadi kendala, karena istri-istri Rasulullah selalu melakukan ibadah tersebut
setiap Ramadhan. Kalaupun tidak sampai sepuluh hari, usahakan I'tikaf pada
malam-malam yang ganjil saja. Bila  ini pun belum mampu kita laksanakan coba
I'tikaf pada salah satu malam yang ganjil saja . Insya Allah akan terasa berbeda
Ramadhan yang disertai I'tikaf dan tanpa I'tikaf.
Wallahu a'lam

Ummu Naufal : Sumber, Bagaimana muslimah menyambut Ramadhan

Ramadhan: Momentum Perbaikan Prestasi Indonesia
Rabu, 29 Oktober 2003 - Sorotan
Oleh Wuriawan Saputra*
Tidak terasa Ramadhan datang kembali mengunjungi kita. Padahal sepertinya baru saja kemarin kita melakukan sahur, buka bersama keluarga dan teman, sholat taraweh berjama’ah dan juga I’tikaf di mesjid-mesjid. Memang waktu berjalan terus tanpa pernah mau berhenti sejenakpun untuk istirahat.
Ramadhan merupakan bulan yang dipenuhi dengan berbagai kebaikan. Bahkan seandainya umat Islam menyadari akan banyaknya kebaikan yang bisa diperoleh dalam bulan ini, tentu mereka akan meminta seluruh bulan untuk dijadikan bulan Ramadhan. Namun, banyak sekali ironi yang terjadi di bulan suci ini. Ironi yang seharusnya tidak perlu terjadi pada umat Islam, lebih khusus pada bangsa Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim.
Ironi pertama adalah kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok, menjelang dan selama bulan Ramadhan. Dengan puasa, umat Islam (seharusnya) akan mengurangi konsumsinya, misalnya dari makan tiga kali sehari menjadi hanya dua kali saja, yaitu pada saat sahur dan berbuka. Ini berarti akan mengurangi jumlah permintaan terhadap kebutuhan pokok.  Dalam ilmu ekonomi, apabila permintaan terhadap suatu barang berkurang, dengan asumsi penawaran (supply) barang tersebut tetap, maka harga akan turun. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Harga-harga kebutuhan pokok, mulai dari cabai sampai daging, justru mengalami kenaikan. Ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap barang kebutuhan pokok justru meningkat selama Ramadhan. Bahkan banyak sekali jenis makanan yang hanya ditemukan pada bulan Ramadhan, seolah-olah Ramadhan menjadi bulan dengan penuh makanan.
Ironi kedua adalah menjadikan alasan puasa di bulan Ramadhan untuk bermalas-malasan. Memang dengan berpuasa tubuh kita akan lebih lemah, dibandingkan jika kita tidak berpuasa. Tapi ini biasanya hanya dua atau tiga hari puasa saja, setelah itu tubuh kita akan secara perlahan menyesuaikan dengan jumlah kalori yang diterimanya. Ramadhan merupakan bulan latihan, dimana kita dilatih untuk tetap bekerja dengan tetap bersemangat dalam kondisi yang lapar. Ini tentu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Rasulullah dan para sahabatnya yang justru melakukan perang jihad, yaitu perang Badar, pada saat bulan Ramadhan.
Ironi ketiga adalah makin mengendurnya semangat umat Islam (Indonesia) menjelang akhir Ramadhan. Kalau kita melihat mesjid dan mushola di negeri kita, pada awal Ramadhan sangat penuh bahkan terkadang jama’ah memadati sampai keluar mesjid dan mushola. Namun seiring dengan berlalunya hari-hari di bulan Ramadhan, mesjid dan mushola makin ditinggalkan oleh umat Islam. Mereka lebih memilih untuk pergi ke mal ataupun department store untuk membeli baju lebaran. Padahal justru di akhir Ramadhan inilah ada suatu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan (83 tahun, 4 bulan). Bahkan Rasulullah dan para sahabatnya lebih meningkatkan ibadah mereka justru pada akhir Ramadhan ini. Mereka juga mengajak keluarga mereka untuk beri’tikaf di mesjid.
Ramadhan sudah seharusnya kita jadikan momentum untuk lebih instropeksi terhadap kondisi bangsa kita. Tentu ini harus dimulai dari masing-masing individu, lebih khusus para pemimpin bangsa ini. Dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib ataupun kondisi suatu bangsa jika individu-individu dalam bangsa tersebut tidak mau untuk berubah.
Kita tentu sangat prihatin dengan berbagai prestasi yang disandang oleh Indonesia. Dari 133 negara yang disurvei pada 2003 oleh Transparency International yang berbasis di Berlin, Jerman, Indonesia menjadi negara keenam terkorup di dunia (Media Indonesia, 25 Oktober 2003). Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa pada 1998, sampai saat ini tidak membawa perubahan yang berarti terhadap pemberantasan korupsi. Bahkan justru pada jaman reformasi ini korupsi tidak hanya menjadi dominasi para eksekutif, tetapi juga telah melebar ke para anggota legislatif, bahkan juga ke jajaran yudikatif.
Kita memiliki banyak lembaga pengawasan di Indonesia. Mulai dari Inspektorat Jenderal pada tiap departemen, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Belum lagi berbagai komisi yang dibentuk pada jaman reformasi, seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun sepertinya lembaga-lembaga tersebut tidak berdaya dalam membendung, apalagi memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Prestasi lainnya yang disandang oleh Indonesia adalah negara kedua dalam urusan pornografi setelah Rusia. Khususnya di Jakarta, memang sangat mudah sekali untuk memperoleh VCD porno. Kalau kita lewat di daerah Kota (jalan Gajahmada), maka di pinggir jalan akan banyak sekali para penjual VCD, yang menjual VCD porno (bajakan). Bahkan harga yang ditawarkan juga sangat murah, mungkin hanya Rp 2.500 per kepingnya. Belum lagi kasus Inul dan artis lain yang mengikutinya dengan goyang ngebornya, yang justru makin marak diputar oleh hampir semua statiun televisi.
Menyedihkan memang nasib bangsa ini. Mayoritas umat Islam yang seharusnya memberikan rahmat kepada bangsa Indonesia, tapi seolah-olah tidak memiliki makna selain jumlahnya yang banyak.
Pada bulan Ramadhan ini, paling tidak ada dua nilai yang bisa kita pelajari yaitu kejujuran dan mengendalikan hawa nafsu. Orang yang berpuasa tentu haruslah berkata jujur dan bisa mengendalikan hawa nafsunya, karena bila tidak, maka yang akan didapat olehnya hanyalah lapar dan dahaga. Seandainya nilai kejujuran dan pengendalian hawa nafsu berhasil kita raih selama Ramadhan, tentu ini akan menjadi bekal bagi kita untuk memerangi korupsi dan pornografi.
Marilah kita jadikan Ramadhan kali ini sebagai sarana untuk melatih diri kita dalam mengendalikan hawa nafsu yang terus dan akan selalu menggoda kita. Jadikan Ramadhan kali ini seolah-olah sebagai Ramadhan terakhir dalam hidup kita, karena kita tidak mengetahui apakah tahun depan kita masih akan berjumpa dengannya. Sehingga selesai Ramadhan nanti kita akan menjadi manusia yang bertakwa sebagaimana dijanjikan dalam Alquran. Kita menjadi suci lagi laksana bayi yang baru dilahirkan ke muka bumi. Dengan makin meningkatnya ketakwaan dari masing-masing individu di negeri ini, tentu akan makin memperbaiki nasib bangsa kita, sehingga prestasi-prestasi yang memalukan tidak lagi disandang oleh bangsa Indonesia.
* Penulis adalah mahasiswa S2 di Yokohama National University. Saat ini sebagai bendahara KAMMI Jepang
Saatnya Mencuci Diri
Oleh KH Hasyim Muzadi
Ramadhan kali ini datang di saat masyarakat Muslim di Indonesia masih meneriakkan banyak masalah - antara lain soal ketidakbecusan aparat berwenang mengurusi penegakan supremasi hukum, penggusuran di mana-mana, soal tenaga kerja Indonesia (TKI), dan masih berlanjutnya kecamuk perang di Aceh serta teror keamanan di Poso.
Perlu kita renungkan, faktor dasar yang menyebabkan negeri kita terus dihadapkan pada posisi sulit, kemudian kita pikirkan terapinya. Ramadhan kali ini bisa dijadikan momentum memecahkan beragamnya masalah tersebut, sehingga pencerahan nasib bangsa segera terlihat.
Sebenarnya, kalau kita jujur pada diri sendiri, beragamnya masalah tersebut lebih banyak karena ketidakjujuran kita dalam berperilaku. Dalam memerlakukan norma-norma agama pun sering keliru. Begitu juga dalam memerlakukan ukuran-ukuran nasionalisme dan humanisme. Karena itu, beragamnya penyimpangan tak kunjung selesai.
Coba lihat soal penegakan supremasi hukum. Semestinya dalam memandang hukum kita berada dalam bingkai hukum. Kenyataannya, dewasa ini banyak terlihat hukum berada dalam bingkai kepentingan kita yang notabene sering dipengaruhi nafsu. Hukum di negara kita sering menjadi justifikasi nafsu. Karena itu tak heran jika banyak yang geleng-geleng kepala, heran, bingung: negara kita yang mempunyai segudang pakar hukum, tetapi supremasi hukum yang sudah didengung-dengungkan sejak lama akan ditegakkan, toh hingga kini baru sebatas konsep.
Di bidang politik, semestinya pelakunya menjadikan politik sebagai amanat umat dan dikembalikan lagi ke umat. Namun kini banyak politisi memerlakukan politik sebagai kendaraan. Kita sedih melihat banyak pelaku politik sekarang ini. Semua itu karena dominannya faktor-faktor endogen manusia yang kemudian berkembang secara komfrehensif menuju ke problema berkepanjangan.
Sekarang kita berada di bulan yang penuh berkah. Di bulan Ramadhan ini hendaknya kita bisa melakukan pencucian diri. Mari kita jadikan bulan yang penuh ampunan ini untuk pengendapan pikiran-pikiran kita. Sejujurnya, saat mencuci diri, kita akan melihat dua faktor dasar yang bisa menjadi kunci pemecahan beragam masalah bangsa dan negara kita ini. Yakni pendekatan terapi dan substansial. Pendekatan substansial adalah bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengubah tingkah laku kita yang salah agar benar kembali. Dalam Islam, tindakan itu lazim disebut taubatan muasabbah.
Taubatan adalah tobat. Insyaf dari segala bentuk praktek kekeliruan. Muasabbah adalah koreksi diri terhadap kekeliruan. Mari kita berpuasa dalam kebeningan hati, pelurusan niat secara penuh ikhlas untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Puasa merupakan fenomena yang relevan untuk memerbaiki rasio dan rohani.
Selanjutnya pendekatan terapi. Maksudnya adalah bagaimana kita memahami kekuatan doa. Ini sangat penting. Kalau kita jujur, beragamnya masalah ini sudah melampaui kekuatan pemimpin dan Indonesianya sendiri. Masalah ekonomi, sosial-politik begitu rumit. Secara rasio sudah berada di atas optimasi kekuatan. Kalau kekuatan kita cuma 10 Kg, lalu semrawutnya keadaan Indonesia sekarang sudah 1 kwintal, ke mana yang 90 kg itu? Ikut siapa dia? Dalam teori agama, kita harus memohon pertolongan Allah. Sistem bisa diperbaiki, keputusan MPR bisa dibikin, tapi hati manusia yang melakukan kesalahan-kesalahan selama ini siapa yang bisa perbaiki? Hanya Allah SWT yang bisa menolong.
Kita harus yakin bahwa dalam teori agama, sepanjang umat ini mau kembali ke jalan yang benar, maka akan ada maunnah atau pertolongan. Jadi pertolongan akan hadir setelah kesadaran diperlihatkan dan dibuktikan. Kalau itu dilaksanakan dengan benar dan penuh kesungguhan, pelan-pelan bangsa Indonesia yang selama ini terpuruk di berbagai sisi, bisa bangkit kembali. Cepat atau lambat pencerahan nasib bangsa akan tergantung pada sejauh mana tingkat pertobatan umat terhadap kekeliruannya selama ini.
Makanya, mari kita lakukan pendekatan substansial dan terapi dengan meluruskan kembali langkah kita yang salah. Keserakahan, ketidakjujuran, kepalsuan, meninggalkan amanah, jelas akhlak yang tidak terpuji. Di bulan Ramadhan inilah saatnya kita bercermin, saatnya mencuci diri. Saatnya kita memerbaiki diri. ***
KH Hasyim Muzadi Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Puasa Bukan Sekadar Selebrasi Ibadah
  Oleh: Zaenal Abidin EP

Memasuki bulan puasa tahun ini (1424 Hijriah) tak ubahnya seperti menjalani puasa tahun sebelumnya. Merebak di mana-mana, umat Islam sibuk menyambut datangnya bulan suci dan menjalankan ibadah yang menjadi rukun Islam keempat itu.
Hampir di setiap masjid dan mushala disemarakkan berbagai kegiatan keagamaan. Tadarus Al Quran dan Shalat Tarawih tak lepas diselenggarakan setiap malam, dihiasi dengan ceramah sang dai. Tampilan fisik juga dipercantik. Warna cat yang kusam diganti yang baru. Lampu warna-warni dipajang di depan mengelilingi pintu dan seterusnya.
GAIRAH "kesadaran ilahiyyah"" umat Islam merambat naik, seperti mencapai titik kulminasinya sebagai hamba Tuhan. Mendadak banyak sosok kian alim dan rajin ke tempat ibadah. Sesuatu yang tidak hanya jarang dijumpai, tetapi juga jarang terjadi di luar bulan Ramadhan. Ramadhan seperti titian untuk mencapai garis tepi sehingga tak ayal harus dibuat banyak perbedaan dengan bulan sebelumnya dengan asumsi lebih baik.
Perubahan juga melanda di sektor kehidupan lain yang tidak ada kaitannya secara praksis atau langsung dengan hal-hal berbau agama (nonreligius). Mari kita perhatikan perubahan apa yang terjadi di mal-mal, di sekolah, di kantor, dan di tempat lain di bulan Ramadhan ini. Tentu berbeda dengan bulan sebelumnya. Beragam cara dilakukan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Seperti pada waktu puasa sebelumnya, di tingkat elite politik, ketegangan, polemik, dan kontestasi atau rivalitas antarkubu yang sebelumnya bertikai juga seperti tidak kelihatan atau menurun tensinya. Simak kiprah politisi dan elite pemerintahan. Laksana ada hukum konvensional yang harus ditaati bersama bahwa memasuki bulan puasa, semua kegiatan yang berbau ketegangan dan persaingan harus dikurangi. Kira-kira, "tunggulah barang sebulan, setelah itu kita bersaing lagi", yang bergaung di benak mereka. Lantas, para politisi dan elite pemerintahan sibuk menggelar dan terlibat acara religius di berbagai arena.
Puncak perubahan paling mencolok ketimbang yang lain dan paling radikal menjalar serta menghinggap di sektor saluran hiburan, terutama televisi. Semua stasiun televisi melakukan perubahan sajian. Stasiun televisi sebagai produk kapitalisme global senantiasa dituntut bebenah agar tidak kalah dalam menjaring kue iklan yang jumlahnya tidak seberapa. Para artis sinetron (selebriti) berganti busana. Baju muslim bertengger di tubuh mereka, seakan bermetamorfosis menjadi hamba-hamba religius yang menganjurkan segala kebaikan kepada pemirsa.
Itulah gambaran singkat betapa bulan Ramadhan kini menjadi gejala selebrasi bagi sebagian kalangan. Ramadhan juga menjadi ajang mengeruk keuntungan dengan menjual berbagai paket ibadah. Hakikat dan makna Ramadhan kian bergeser menjadi hamparan pesta yang dilabeli simbol religius di sana-sini. Semua itu menuju satu arah; selebrasi ibadah.
PATUT dicermati, pelaksanaan ibadah puasa kian terjebak lingkaran formal ritualistik. Puasa hanya sebatas dimaknai sebagai paket ibadah yang harus dijalani berdasar produk fiqh yang telah baku. Puasa dimaknai sebatas ibadah; menahan makan, minum, dan bersebadan di siang hari. Selain itu, ibadah yang bersifat sunah dianjurkan dijalankan untuk mengisi kemuliaan utamanya di malam hari.
Padahal, mengutip George Antonio (1965) dalam Muslim Civilization, ibadah tidak semestinya jika hanya disikapi secara formal ritualistik. Bagian terpenting dalam ibadah adalah pada sejauh mana manusia mampu mengimplementasi pesan yang ada dalam tindakan ibadah ke dalam kehidupan sosial praksis. Dalam konteks ini perlu kesesuaian antara rutinitas amal ibadah seseorang dengan kesalehan dalam perbuatan keseharian.
Karena itu, amat sayang jika ibadah puasa tidak dapat dikaitkan dengan problem sosial seperti yang mendera bangsa akibat krisis berkepanjangan. Momentum puasa seharusnya menjadi titik awal dan pendorong perombakan total guna memberesi aneka penyakit yang diidap bangsa ini. Puasa selayaknya menjadi spirit pembebasan terkait praktik ketidakadilan dewasa ini. Berbagai penyakit sosial seperti korupsi, suap, dan kolusi yang kian subur seharusnya menjadi isu utama untuk segera dilenyapkan. Demikian pula, bagaimana puasa menjangkau penderitaan kaum perempuan yang menjadi TKW di luar negeri dan kelompok marjinal yang tersia-siakan akibat kebijakan pemerintah, seperti penggusuran, hak-hak sipil warga minoritas, dan sebagainya.
Sebab, pada sektor ini sebenarnya peran agama dipertaruhkan. Agama dipertanyakan fungsinya sebagai penggerak perubahan sosial. Ritual-ritual keagamaan tidak menemukan tempatnya jika hanya melulu berorientasi formal ritualistik. Praktik keagamaan juga kian hambar jika hanya terkungkung selebrasi ibadah. Pada titik ini, makna ibadah tidak lebih dari sekadar rutinitas yang mekanistik tanpa menyentuh substansi persoalan mengapa ibadah itu diwajibkan.
Meminjam teori Max Weber (1958), agamalah yang sebenarnya mempunyai andil dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sejarahnya, agama dengan kekuatan pembebas yang dimilikinya mampu melakukan pembebasan dari jerat ketertindasan yang menimpa manusia. Etik keagamaan serta nilai yang dikandungnya menjadi palu godam perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih baik. Nilai etis agama yang antiketidakadilan dan kecurangan menemukan élan vital-nya bila berhadapan dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat.
Dalam hubungan inilah signifikansi kehadiran ibadah puasa mampu menjadi semacam eleksir dari penyakit sosial yang menimpa masyarakat.
TANPA mengaitkan ibadah puasa dengan masalah keduniawian, sejatinya puasa hanya sebatas menahan haus dan lapar. Puasa tidak berarti apa-apa jika hanya dimaknai ritual. Puasa seharusnya menjadi momentum perubahan sosial untuk capaian kehidupan duniawi yang lebih adil dan beradab.
Sayang jika puasa hanya sekadar dijadikan ritual tahunan untuk menyucikan dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Jika menyitir hadis, "Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan sungguh-sungguh, maka diampunilah semua dosa yang telah diperbuat maupun yang akan datang" (HR Ahmad) semestinya tidak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja, apalagi untuk mengafirmasi perbuatan dosa selanjutnya. Sebab, perbuatan dosa yang dilakukan seseorang itu sebenarnya hanya lebih menguntungkan dirinya sendiri dan menyengsarakan orang lain.
Akhirnya, puasa harus dilepaskan dari sifat formal ritualistiknya dan bukan sekadar selebrasi ibadah belaka. Ia harus ditarik sebagai momentum bersama guna menyadari akar penyebab keterpurukan bangsa ini. Nasib bangsa yang sudah di "bibir jurang" ini harus segera diselamatkan melalui kesadaran kolektif, terutama melalui momentum puasa ini.
Zaenal Abidin EP Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Aktif di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Generasi Muda Antar-Iman (Gemari)
URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0310/31/opini/651126.htm


<

0 komentar "Menyambut Ramadhan", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment

Bantu dengan klik

Please Click Here!!